pmiigusdur.com - Mental kita kembali diguncang oleh serangkaian aksi pembasmian etnis yang berjubahkan agama. Bukan baru kali ini saja truth claim yang berhujung maut dan kesengsaraan terjadi. Masih hangat ingatan kita tentang Ahmadiyah. Klaim “sesat” yang ditujukan pada kelompok Ahmadiyah menunjukkan betapa lemahnya kita memahami pluralitas agama.
Terhadap suatu agama atau aliran yang tak sejalan dengan agama pada umumnya semestinya ditolerir, bukan dimusnahkan. Sangat jelas, negara kita mengakui keberagaman agama dan menjamin kebebasan beribadah warga negaranya. Didalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan bahwa: berdasarkan Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”. Namun realitanya, keyakinan minoritas tak pernah bebas dari belenggu pencekalan. Bahkan, tak jarang perspektif hukum yang ada menggunakan perspektif mayoritas. Hal ini membuat penyelesaian kasus terkesan parsial. Misalnya, penangkapan yang dilakukan kepada Lia Eden dan ketua Ahmadiyah akibat tuduhan penistaan agama.
Tak jauh dengan kasus Ahmadiyah, konflik Sampang pun meledak akibat perbedaan identitas. Bila kaum Ahmadiyah dicap “sesat” karena messianisme. Lain halnya dengan kasus Sampang, inti persoalan terletak pada keyakinan soal imam atau pemimpin Islam yang muncul pasca politik kekhalifahan masa lalu. Kelompok mayoritas non-Syi’ah menyerang kelompok minoritas Syi’ah hingga warga Syi’ah akhirnya terpaksa mengungsi. Menurut laporan kompas.com, konflik Sampang telah menewaskan seorang penganut Syiah, yakni Muhammad Husin alias P. Hamamah (50), serta melukai penganut Syiah, Thohir (45), hingga dirawat di RSU Sampang karena kritis (01/09/12).
Selain menyerang dan melukai warga, kelompok penyerang juga membakar 37 rumah pengikut Syiah di dua desa, yaitu Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran, Kecamatan Omben, Sampang, Madura (kompas: 29/09/12). Diduga, pemicu kebakaran tersebut ialah bom molotov. Bila dugaan tersebut terbukti, benih kebencian yang tertanam di tanah yang notabene “cinta damai” ini sudah tumbuh subur. Mengingat, konflik Sampang 26 Agustus 2012 ini merupakan lanjutan dari konflik Desember 2011 lalu.


Hegomoni Mayoritas
            Dalam buku tulisan Sumanto Al Qurtuby, beliau mengutip kata-kata Martin E. Marty seorang editor buku Nations in Turmoil: Religion, Ethnicity and Self-Identity bahwa pemusnahan etnik oleh etnik lain yang dalam lapangan ilmu sosial disebut genocide tidak hanya dilatarbelakangi faktor sosial dan politik tetapi juga melibatkan sentimen keagamaan sebagai landasan pembenaran teologis.
            Menurut Lewis A. Coser, konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kekuasaan, sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi. Dalam hal ini dimana pihak yang berselisih tidak hanya bermaksud memperoleh barang-barang yang diinginkan, melainkan ingin memojokkan, merugikan dan menghancurkan lawan mereka. Dalam hal ini konflik sosial bertujuan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
           Begitu pula yang terjadi di Indonesia, konflik yang berbau SARA terjadi karena kaum mayoritas ingin mempertahankan eksistensinya di tanah pijakannya. Kebudayaan atau kebiasaan yang telah ada tak ingin digantikan oleh kebudayaan yang dibawa kaum minoritas. Wartawan SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman) merilis bahwa kasus Sampang bermula dari penghadangan pelajar syiah yang ingin pergi belajar ke luar Sampang. Kaum Sunni mayoritas takut jikalau ketika kembali ke kampung halaman mereka akan menebar ajaran Syiah. Tidak berbeda dengan kasus Ahmadiyah, Okezonenews.com menulis bahwa penyerangan kepada jamaah Ahmadiyah adalah penyerangan terorganisir. Dalam video penyerangan yang ditayangkan RCTI  terlihat para pelaku menggunakan tanda semacam kain yang diikatkan dileher. Kebiasaan-kebiasaan yang amat berbeda dengan kebiasaan orang pada umumnya akan membuat kaum minoritas dilabeli “sesat”. Hal seperti itu juga yang dialami Lia Eden dan umatnya.
Setiap manusia di dunia terlahir dengan karakter atau identitas yang berbeda. Mustahil bila antara manusia yang satu dengan yang lain “mutlak sama”. Selain membentuk identitas individu, manusia juga cenderung berkelompok dan membentuk identitas kelompok. Baik itu terbentuk karena persamaan fisik, suku, etnis, agama, ras, teritorial ataupun lainnya.

Repair Komunikasi
            Koordinator Jaringan Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid mengatakan jumlah konflik berbasis pertentangan identitas agama, yang menurut Wahid Institute terus mengalami peningkatan hingga 37 persen sejak 2009 hingga 2012, hal ini merupakan sinyal minimnya pemahaman masyarakat mengenai konstruksi kebangsaan Indonesia. “Masyarakat Indonesia punya Pancasila sebagai acuan tentang persatuan berdasar kebhinekaan. Ini bisa menjadi landasan untuk mendorong masyarakat memaklumi perbedaan,” kata putri mendiang Gus Dur ini kepada Tempo di sela seminar Mengakhiri Krisis Identitas dan Ancaman Kebangsaan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Senin, 24 September 2012. (Tempo.Co)

            Salah satu intelek yang dimiliki negri, Cak Nur, menyerukan perlunya kembali kepada konsistensi semangat motto negara kita, Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu harus ada penghargaan pola-pola budaya daerah dan harus menerima kebhinnekaan sebagai kekayaan, dan serentak dengan itu kita memelihara berdasarkan kepentingan bersama secara nasional. Kita harus memandang budaya daerah berjalan yang sejalan dengan nila-nilai kemanusiaan sebagai perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya. Keanekaragaman budaya itu harus dijadikan pijakan untuk berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Perlombaan itu akan menciptakan suasana penuburan silang budaya yang akan memperkaya dan menguatkan budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul dan tangguh. Dalam hal ini, tidak ada satu pun budaya daerah yang terkecualikan (Jarikmataram.com). oleh karena itu, sebagai homo religius atau “manusia beragama”, semestinya kita memandang perbedaan itu suatu sebagai suatu keniscayaan. Sebab, sangat mustahil konflik hilang dari muka bumi ini karena manusia dikodratkan berbeda, baik itu perbedaan fisik, suku, etnis, agama, ras, teritorial dan lainnya.