pmiigusdur.com - Pesta demokrasi warga Ibu Kota Jakarta dengan
agenda khusus pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017
telah berakhir. Dari lima pasangan yang bersaing, muncullah 2 pasangan yaitu
Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli serta pasangan
Joko Widodo-Basuki Tjahaya Purnama yang maju sebagai kontestan pada putaran
kedua. Pada akhirnya babak final yang dihelat 20 September lalu dimenangkan
oleh duet Cagub/Cawagub Jokowi-Ahok yang diusung partai politik PDIP dan
Gerindra.
Ada hal-hal menarik dari proses pemilihan kepala
daerah ibu kota ini, bukan hanya soal pasangan yang menjadi kontestan berjumlah
banyak. Akan tetapi proses pilkada DKI juga diwarnai berbagai kampanye yang
bernuansa SARA yang ditujukan kepada calon tertentu. Adanya kasus SARA dalam
pilkada DKI menunjukkan bahwa proses perpolitikan di negeri ini memang akan
bertambah greget bila dibalut dengan
nuansa SARA.
Bukan
itu saja, akhir-akhir ini istilah “SARA” juga sering muncul dan dianggap sebagai
salah satu penyebab terjadinya berbagai gejolak sosial di negeri ini. Misalnya;
perkelahian suku Madura dan suku Dayak di Kalimantan Barat, perselisihan antara
suku Makasar dan penduduk asli Timor yang kemudian berkembang menjadi gesekan
antaragama Katolik dan Islam. Di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah beberapa tahun
lalu terjadi gesekan antara Islam dan Kristen, atau gesekan umat Islam dan Kristen di Bogor beberapa waktu yang lalu adalah
contoh kecil peristiwa yang bernuansa SARA.
Lalu
bagaimana sesungguhnya pengertian SARA itu sendiri, kenapa berbicara tentang SARA
dilarang? Serta bagaimana seharusnya kita memandang adanya SARA?. Secara
sederhana SARA bisa diartikan sebagai pandangan dan atau tindakan yang
didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan
atau kesukuan dan golongan. Dalam konteks ini, kata “sentimen” dalam pengertian
di atas cenderung memilikii stigma negatif, sehingga sangat wajar jika pada
akhirnya istilah SARA selalu identik dengan hal-hal yang bersifat negatif serta
dianggap menjadi biang perpecahan, kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang
didasarkan pada identitas diri maupun golongan.
Dalam pengertian
lain SARA lebih cenderung disebut sebagai proses diskriminasi. Diskriminasi biasanya
diartikan sebagai suatu sikap yang memiliki kecenderungan untuk membeda-bedakan
satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan perilaku tidak
adil yang didasarkan karena adanya karakteristik suku, agama, ras, antargolongan,
jenis kelamin, warna kulit, kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau
karateristik lainnya yang cenderung memiliki perbedaan.
Berbicara tentang SARA (Suku, Agama,
Ras, dan Antar golongan) sejatinya berbicara tentang kehidupan masyarakat Indonesia
pada umumnya. Dimana masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk dengan
berbagai komunitas yang memiliki berbagai macam perbedaan. Mulai dari beda
suku, agama, etnis, ras, bahasa, kepercayaan, budaya, dan perbedaan-perbedaan
lainnya yang tak bisa disebutkan satu persatu. Bahkan kalau mau jujur, kita
harus mengakui jika SARA merupakan identitas dari kemajemukan masyarakat
Indonesia itu sendiri.
Bagaimanapun
juga SARA adalah bagian dari bangsa dan negara Indonesia. Kita tidak dapat mengingkari
bahwa SARA adalah bagian dari fakta sejarah atas berdirinya Republik
ini. Indonesia lahir dari rahim kebhinnekaan, dimana SARA merupakan salah satu
bagian terpenting dari komponen kemajemukan bangunan
bangsa Indonesia. Sehingga menjadi hal yang sangat lucu ketika
isu SARA muncul ditengah masyarakat, kemudian ditanggapi dengan emosional,
frontal bahkan cenderung anarkis. Jika semua orang mau memahami sejarah, serta
bisa arif dalam memandang apa itu SARA maka gejolak sosial tidak akan pernah
muncul.
POLITIK+SARA=DEMOKRASI
Sejarah
munculnya SARA sesungguhnya merupakan warisan dari kolonialisme Belanda, dimana
saat itu hubungan antara golongan pribumi (Jawa, Melayu) dan nonpribumi (Tionghoa/China)
coba dipecah belah oleh penguasa (Belanda) dengan maksud untuk memecah belah
persatuan rakyat Indonesia. Dan strategi yang dikenal dengan devide et impera saat itu berhasil, dimana
akhirnya etnis Tionghoa seakan dijadikan commond
enemy (musuh bersama) bukan saja oleh Belanda tetapi oleh masyarakat
pribumi sendiri. Sehingga mulai saat itulah isu-isu tentang SARA mulai sangat
sensitif jika menyangkut masalah perebutan kekuasaan (politik), apalagi jika
menyangkut hubungan antara suku pribumi dan nonpribumi (Tionghoa/Cina) maka hal
itu sering menjadi pemicu potensial timbulnya konflik sosial.
Sebagai penganut paham demokrasi,
Negara
ini seharusnya dapat memberikan ruang kokoh untuk berkembangnya
keragaman SARA secara sehat dan bersih. Rakyat, perlu diberikan proses pembelajaran
bagaimana mengelola masalah SARA secara sehat terutama dalam
kehidupan berpolitik. Dalam konteks inilah, para elit
politik seharusnya tidak melakukan eksploitasi SARA secara
berlebihan. SARA semestinya digunakan sebagai sarana untuk membangun kesetimbangan
baru dalam sistem demokrasi.
Untuk membangun kesetimbangan baru dalam
kehidupan berdemokrasi yang sehat, maka politik harus dijadikan sebagai sarana
untuk mengembalikan SARA sebagai entitas alami yang memang menjadi bagian yang
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan berdemokrasi. Bukan sebaliknya, SARA
justru dieksploitasi oleh sebagaian elit politik sebagai sarana untuk saling
menjatuhkan elit politik lain yang tidak memiliki sudut pandang yang sama
dengan mereka. Hal inilah yang akhirnya menjadikan proses berdemokrasi di
negeri ini menjadi kurang sehat dan sering menyebabkan timbulnya anarkisme
dalam berpolitik.
Dalam konteks masyarakat
Indonesia, datangnya angin demokrasi ternyata tidak membuat isu SARA menjadi
komponen untuk semakin memperkuat tali persatuan dan kesatuan bangsa. Sebaliknya, sentimen berbau SARA sering
dijadikan alat politik yang bertujuan untuk memecah belah golongan atau pihak
tertentu. Kajian Baladas Ghosal (2004) menunjukkan bahwa berlangsungnya
demokratisasi justru seperti membuka selebar-lebarnya pintu sentimen
primordialisme antar golongan satu dengan golongan yang lain. Dan yang lebih
mengerikan lagi, terbukanya era demokrasi justru membawa efek negatif bagi
perkembangan SARA di tanah air.
Dalam dunia perpolitikan tanah
air, masalah
SARA senantiasa dijadikan sebagai tumbal untuk memicu dan memancing
terjadinya ketegangan serta konflik sosial di tengah masyarakat. Bagi sebagian
orang SARA adalah salah satu isu paling seksis dan strategis untuk membangun
pencintraan dan atau untuk menguatkan identitas suatu golongan. Sehingga
sangatlah wajar, jika dalam suatu proses pemilihan pemimpin, baik itu Presiden,
DPR, maupun kepala daerah isu SARA selalu menjadi menu utama selama kampanye
berlangsung.
Isu SARA
sesungguhnya tak akan mampu memicu terjadinya suatu ketegangan serta konflik
sosial manakala masyarakat telah memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya
menghargai segala bentuk perbedaan. Dalam hal ini, Indonesia patut belajar
banyak kepada Negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura tentang bagaimana
mengelola suatu perbedaan. Kedua negara tersebut bisa dikatakan multietnik,
multibudaya, multigolongan, dan juga multiagama, namun hubungan kehidupan
masyarakatnya relatif harmonis. Semua itu bisa terjadi karena pemerintah
Malaysia dan Singapura mampu mengelola perbedaan yang ada menjadi satu
kekuatan.
Di Indonesia sendiri isu SARA sering hadir hanya untuk dijadikan stigma politik serta menjadi alat
manipulasi politik yang ujung-ujungnya bertujuan untuk mencapai
kepentingan kekuasaan politik pihak-pihak tertentu. SARA juga kerap menjadi bagian dari politik pencitraan suatu parpol tertentu untuk mendapatkan simpati dan dukungan
masyarakat.
Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu adalah
contoh konkrit pesta demokrasi pemilihan gubernur/wakil gubernur yang diwarnai dengan
berbagai kampanye yang mengangkat isu-isu SARA. Meskipun sejatinya dalam hal ini, tidak ada
masalah ketika warga DKI memiliki preferensi politik terhadap Cagub/Cawagub
berdasarkan sentimen
SARA. Akan tetapi hal itu harus dilakukan
dengan cara yang profesional dan proporsional. Artinya mengangkat isu SARA diperbolehkan
sepanjang bertujuan untuk mempererat tali persatuan dan kesatuan bangsa.
Diakhir tulisan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa
sesungguhnya SARA merupakan suatu keniscayaan dalam masyarakat yang menganut
paham demokrasi. Selain itu, SARA adalah bagian dari fakta dan kenyataan
sejarah berdirinya republik Indonesia. Yang terpenting dan
harus dilakukan terutama oleh pemerintah adalah bagaimana mengelola
keragaman dan perbedaan SARA dalam bingkai persatuan, sehingga dapat
menciptakan bangunan peradaban bangsa yang lebih maju. Semoga!
written by : Fauzul Andim
0 Komentar