pmiigusdur.com - KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berpesan agar di pusaranya dipahat sebuah tulisan, “Di Sini Dimakamkan seorang Humanis”. Artinya, dia ingin dikenang sebagai pejuang kemanusiaan. Dus, gelar tokoh humanis agaknya lebih tepat disematkan kepadanya. Sebab, humanisme Gus Dur benar-benar berangkat dari nilai-nilai Islam paling dalam, yang melampaui etnis, teritorial, hingga batas kenegaraan.

Sayangnya, hingga kini masih banyak pihak yang tak memahami Gus Dur dari sisi kemanusiaannya sehingga pemikirannya sering disalahtafsirkan. Buku berjudul“Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan” karya Syaiful Arif hendak memotret sisi paling subtil dari Gus Dur, yakni kemanusiaan.

Menurut Arif, buku ini memuat setidaknya tiga hal. Pertama, produk pemikiran Gus Dur. Berisi pemikiran lslam, meliputi pribumisasi lslam, lslam sebagai etika sosial, hubungan Islam dan negara, hubungan antar-agama, dan “negara kesejahteraan” lslam. Serta pemikiran demokrasi, kebudayaan, dan ke-NU-an.

Kedua, jalinan struktural pemikiran Gus Dur. Jalinan ini kemudian membentuk sistem pemikiran tersendiri. Nah, jalinan yang berisi prinsip dan tujuan itu secara mendasar mengacu pada pembelaan Gus Dur terhadap harkat tinggi kemanusiaan, yang pada satu titik ia dasarkan pada tradisi keislaman yang mendalam. Jadi, jika dirumuskan, corak atau “jenis kelamin” pemikiran Gus Dur ialah pertemuan antara keislaman dan kemanusiaan. (hlm. 61).

Dalam hal ini, Gus Dur berangkat dari tradisi maqashid as-syari'ah (tujuan utama syariat) yang menetapkan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pemuliaan kemanusiaan dalam bentuk perlindungan terhadap HAM inilah yang Gus Dur sebut sebagai nilai-nilai universal lslam. 

Demi penegakan nilai-nilai universal tersebut, Gus Dur mensyaratkan sikap kosmopolitan, yakni keterbukaan pandangan lslam kepada peradaban lain. Artinya, untuk menegakkan universalisme lslam, dibutuhkan keberislaman yang modern. Sebab, persoalan kemanusiaan kontemporer hanya bisa ditangani oleh sarana dan sistem sosial-politik modern.

Ketiga, tujuan utama dari semua pemikiran Gus Dur, yakni humanisme lslam. Jika ditelusuri lebih mendalam, humanisme Islam Gus Dur merujuk pada humanisme komunitarian yang mengarah pada pembentukan struktur masyarakat yang adil. Setidaknya ada tiga pilar yang membentuk struktur tersebut: 1) demokrasi (syura); 2) keadilan (‘adalah); dan 3) persamaan di depan hukum (musawah). Gus Dur menyebut ini sebagai Weltanschauung (pandangan-dunia) Islam.

Apa yang telah dilakukan Gus Dur untuk memperjuangkan humanisme komunitarian ini? Pada ranah historis, Gus Dur sejak pertengahan tahun 1970-an hingga akhir 1980-an mengupayakan keadilan sosial vis-a-vis developmentalisme Orde Baru. Gus Dur bahkan sempat menjadi pemimpin redaksi jurnal Wawasan yang memuat pemikiran pembangunan alternatif sebagai counterdiscourse atas pembangunanisme negara. (hlm. 68). Salah satu hasil rumusan Gus Dur adalah sebuah makalah bertajuk Development by Developing Ourselves (makalah seminar The Study Days on ASEAN Development, Malaysia, 1979) yang menetapkan garis-garis pembebasan sosial-politik dari lslam. (hlm. 28)

Selain itu, menciptakan pemberdayaan masyarakat untuk mengimbangi top down development dari negara melalui LSM nirlaba dan nonpemerintah yang disebut Gus Dur sebagai Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Salah satu hasil konkrit usaha Gus Dur tersebut adalah lahirnya ribuan Bank Perkreditan Rakyat hasil kerjasama antara PBNU dengan Bank Summa, bernama BPR Nusumma. Sampai di sini, tak berlebihan jika penulis buku ini menahbiskan Gus Dur sebagai “pemimpin besar masyarakat sipil Islam” di Indonesia.

Dalam wilayah politik, Gus Dur mengkritik demokrasi negara. Gus Dur dalam sebuah wawancara di koran menyebut demokrasi negeri ini sebagai "Demokrasi Seolah-olah", yakni seolah-olah demokrasi, padahal tidak demokratis. Gus Dur juga menyebutnya sebagai “demokrasi institusional” yang terbatas pada instutusi negara. Negara melarang kegiatan demokrasi berbasis sipil dengan alasan telah ada lembaga-lembaga demokrasi, semacam DPR, MPR, dan pemerintah.

Bagi Gus Dur, demokrasi harus menjadi kualitas kehidupan politik. Pada tahun 1992, Gus Dur bahkan telah menggagas lahirnya Mahkamah Konstitusi yang menjadi jembatan antara masyarakat dengan negara. Tugasnya antara lain melakukan judicial review atas UU yang menindas rakyat. Pasalnya, negara seringkali menggunakan tafsir tunggal atas konstitusi. Hebatnya, ide brilian ini lahir di saat banyak kalangan belum memikirkannya sama sekali.

Dalam hal persamaan di hadapan hukum (musawah), ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur lebih banyak tergerak dalam proyek membela minoritas. Sebut saja misalnya, memulihkan hak politik anak cucu PKI yang diberangus rezim Orba. Selain itu, Gus Dur juga memberikan suaka budaya kepada minoritas Tionghoa yang selama ini tidak diakui negara. Dibukanya kran kebebasan melaksanakan perayaan Imlek (tahun baru China) tak ayal membuat warga keturunan Tiongkok menyematkan gelar Bapak Tionghoa kepada Gus Dur.

Pada titik ini, Arif menolak gelar Bapak Pluralisme yang disematkan kepada Gus Dur oleh Presiden Yudhoyono. Pasalnya, pluralisme hanya merupakan salah satu “program” di bawah “bidang” persamaan hukum (al-musawah). Padahal selain “bidang persamaan hukum”, Gus Dur juga telah berjuang di “bidang” demokrasi politik dan keadilan sosial. Sementara itu, tiga “bidang perjuangan” ini berakar pada perjuangan kemanusiaan berbasis nilai-nilai lslam. Oleh karenanya, Gus Dur lebib tepat digelari “Bapak Kemanusiaan”, sebab gelar ini lebih luas dan mampu mewakili semua pemikiran dan perjuangan beliau.

Pertanyaannya kemudian, apa makna humanisme Islam menurut Gus Dur? Yakni nilai-nilai kemanusiaan yang berpijak dari nilai Islam. Setidaknya ada dua hal. Pertama, kemanusiaan yang ditetapkan oleh Allah (human dignity). Cara tuhan memuliakan manusia: 1) menjadikannya dalam bentuk yang paling sempurna, tidak terbatas fisik, namun juga psikis dan rohani; 2) mengangkat manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi untuk mewujudkan kesejahteraan bagi sesama.

Perlindungan atas lima hak dasar manusia (ushul al-khamsah): 1) hak hidup (hifdz al-nafs); 2) hak beragama (hifdz al-din); 3) hak berpikir (hifdz al-aql); 4) hak kepemilikan (hifdz al-mal); dan 5) hak berkeluarga (hifdzu al-nasl). (hlm. 65). Dari sinilah dibutuhkan pendirian “negara kesejahteraan” lslam, bukan negara lslam. Jika yang terakhir merujuk pada pendirian negara berdasarkan formalisme syariat lslam, maka yang pertama merujuk pada negara yang bertujuan menegakkan tujuan utama syariat, yang bermuara pada kesejahteraan rakyat. “Negara kesejahteraan” lslam ini bisa berbentuk negara-bangsa modern, yang diterangi oleh nilai-nilai etis lslam. Pada titik ini, dibutuhkanlah struktur masyarakat yang demokratis, adil, yang menganut equality before the law.

Karya kedua Arif tentang Gus Dur ini (pada tahun 2009 dia menelorkan buku Gus Dur dan llmu Sosial Transformatif, Sebuah Biografi lntelektual) didedikasikan untuk mengabdi kepada Gus Dur, guru sejatinya yang ia tahbiskan sebagai inspirator utama. Semula, buku ini merupakan elaborasi dari makalah-makalah untuk bahan ajar di Kelas Pemikiran Gus Dur yang dihelat di The WAHID Institute. Ke depan, kata Arif, buku tersebut akan dijadikan sebagai referensi utama mata kuliah Pemikiran Gus Dur di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta yang membuka program pascasarjana konsentrasi Islam Nusantara.

Judul       : Humanisme Gus Dur, Pergumulan Islam dan Kemanusiaan
Penulis    : Syaiful Arif
Penerbit   : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta
Tahun      : Cetakan I, Oktober 2013
Tebal       : 342 hlm
Peresensi :  A Musthofa Asrori, Peneliti Ciganjur Centre Jakarta

Sumber: nu.or.id