“Dimana sarangnya korupsi,
disitu kumpul pejabat tinggi,
yang tak punya nurani tak punya harga diri
yang dipikir Cuma materi”
Petikan bait
lagu di atas menggambarkan potret nyata korupsi yang selalu identik dan tumbuh
subur di wilayah kekuasaan. Kekuasaan
merupakan wilayah strategis sebagai otoritas pemegang segala macam kebijakan
dan aturan penyelenggaran pemerintahan. Belumlah hilang berita terkait kasus korupsi
Hambalang yang melibatkan beberapa oknum Anggota DPR dan Menteri Negara yang
merugikan Negara ratusan Milyar yang sampai saat ini proses hukumnya samar dan
di”lupa”kan dengan munculnya kasus-kasus korupsi baru.
Kemudian kasus Korupsi
Simulator SIM yang melibatkan Perwira tinggi POLRI, kasus Suap Impor daging, dan
kasus-kasus korupsi lain yang sampai saat ini proses hukumnya kabur dan semakin
di”lupa”kan seiring munculnya kasus-kasus korupsi baru. Belum lama ini
masyarakat Tanah Air kembali dikejutkan dengan ditangkapnya Ketua dari Lembaga Super
Power Negara Mahkamah Konstitusi yakni Akil Mochtar atas dugaan suap
sebesar 1 Milyar atas perkara Pilkada Kabupaten Lebak dan 3 Milyar atas perkara
Pilkada Kabupaten Gunung Mas.
Ironisnya kasus ini membawa nama MK yang
sebelumnya dinilai sebagai lembaga Negara yang berpredikat bersih dan punya track
record cemerlang dibandingkan Lembaga Negara lain semisal ; POLRI, DPR, dan
Kejagung serta beberapa Kementrian Negara.
Kasus-kasus
diatas adalah serpihan kecil dari segudang penyakit akut Negara yang berkaitan
dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang nyata menjadi tradisi jamak
(budaya) di Negeri ini, Korupsi adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari
NKRI, karena Indonesia menjadi salah satu Negara terkorup di Dunia . Sungguh sebuah
prestasi ironis bukan?. Kenapa kita mengatakan Korupsi yang ada di NKRI ini
adalah Korupsi jamak, jawabanya adalah setiap sendi kehidupan bernegara pasti
ada koruptor, kleptokrat, maling, garong atau tikus berdasi dan persetan dengan
istilah lain. Kesemua istilah itu merujuk pada satu muara, perampok kekayaan
rakyat.
Ketika kita
kembali menengok cita-cita besar adanya pembagian kekuasaan Negara dengan
konsep Trias Politica yang berisi pembagian antara wilayah Eksekutif,
Legislatif dan Yudikatif. Konsep Trias Politica inilah yang dipakai dalam
penyelenggaran Negara Indonesia dengan memisahkan wewenang antara wilayah
Eksekutif (Presiden dan Menteri-menteri serta Kepala Daerah), Legislatif (DPR,
DPRD dan DPD), dan Yudikatif (MA dan MK). Garis besar Trias Politica
adalah Legislatif (pembuat Undang-Undang), Eksekutif (Pelaksana Undang-Undang)
dan Yudikatif (Pengawas pelaksanaan Undang-Undang).
Akan tetapi realita yang
ada sekarang ini justru kontradiktif dengan konsep ideal diatas. Pemisahan
kekuasaan hanya dijadikan legitimasi untuk mengeruk dan menguras aset Negara
dengan beragam cara, mulai dari jual-beli Undang-Undang, Mark Up anggaran,
Jual-beli perkara dan beragam modus korupsi lain. Pemisahan dan pembagian domain
sebenarnya adalah untuk menyelenggarakan pemerintahan seideal mungkin
sesuai harapan rakyat. Kepercayaan dan mandat rakyat malah dirampas dan
dikhianati.
Ada beberapa
hal ganjil dalam penerapan pembagian wilayah kekuasaan di Indonesia. Misal,
lembaga yudikatif ternyata dipilih oleh lembaga legislatif dalam hal ini DPR
RI. KPK dipilih oleh DPR RI tetapi berhak memeriksa anggota DPR yang terkait
kasus korupsi. Dalam pelaksanaan trias politica masih banyak tumpang tindih
peran dan juga keganjilan-keganjilan dalam penerapan fungsi, tugas dan wewenang
masing-masing lembaga. Banyak Oknum Lembaga Negara mengaku sebagai penyalur
aspirasi tapi akhirnya malah korupsi, mengaku membela rakyat tapi ternyata
bejat, mengaku amanat ternyata pengkhianat.
Beginilah
wajah suram Republik yang telah sekian kali dirampok maling-maling bejat.
Lantas kepada siapa lagi rakyat harus percaya? Lembaga penegak hukum juga tak
lagi mendapak kepercayaan rakyat karena beberapa hal berikut; proses peradilan
koruptor yang lamban, vonis ringan koruptor, tebang pilih kasus dan pembiaran kasus-kasus
korupsi besar. Hukum masih bisa dibeli, ibarat istilah “maju tak gentar membela
yang bayar” hukum tunduk pada kuasa dan uang.
Melihat
fakta miris, ironis dan tragis diatas, sudah seharusnya dilakukan evaluasi
sekaligus pembenahan secara menyeluruh dalam tata penyelenggaraan Negara.
Pembenahan besar-besar mulai dari tingkatan Pemerintahan Desa atau Kelurahan,
Pemerintah Kecamatan, Pemkab, Pemkot, Pemda hingga pemerintah Pusat. Perlu ada
kajian ulang tentang tugas, fungsi dan wewenang masing-masing wilayah
kekuasaan.
Oleh : Goffar Arsanata
0 Komentar