Judul di atas
adalah hipotesis saya. Namanya dugaan, tentu ada kemungkinan salah, juga
sebaliknya. Bukan tak mungkin mengandung unsur kebenaran. Dugaan di atas
didasarkan atas dua pokok fondasi, pengalaman dan amatan. Saya pernah jadi
pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Semarang tahun
2005-2006. Tepatnya mungkin sekadar numpang nama, karena nyaris tak pernah
melakukan kerja-kerja laiknya seorang pengurus. Saya juga mengamati kinerja
sahabat-sahabat PMII di Cabang setidaknya dalam lima tahun terakhir. Jika
amatan saya kurang benar, baik jika ada counter opini atas tulisan ini.
Saya akan
menukik langsung ke jantung persoalan. Masuk di IAIN tahun 2001, gairah aktivis
PMII IAIN berdegup kencang. Tak hanya mewarnai aktivitas di poros Jerakah-Ngaliyan,
mereka juga menjadi ruh di Kota Semarang. Sahabat Bambang Setyobudi (Rayon
Tarbiyah) didapuk menjadi Ketua PMII Cabang di tahun 2001-2002. Tampuk
kepemimpinan kemudian beralih ke M. Ngainirrichadl (Syariah) di tahun 2002-2003
setelah sebelumnya dipercaya sebagai Ketua PMII Komisariat Walisongo.
Di era-era
tersebut, genderang kegiatan PMII di bawah kepemimpinan Sahabat Richadl
(panggilan M. Ngainirrichadl) begitu nyaring. Dan yang saya ingat, roda kabinet
sahabat Richardl tak hanya didominasi oleh aktivis IAIN. Dua yang saya ingat
begitu besar perannya mengawal era kepemimpinan Richardl adalah Sahabat Hadi
Imron dan Evi Nurmilasari. Keduanya dari Komisariat Diponegoro. Mungkin ada
yang lain, tapi saya yang saat itu menjadi mahasiswa baru, hanya mengenal dua
sosok itu. Pastinya karena mereka sering riwa-riwi. Richard dengan Sahabati
Hadi yang menjadi Sekjennya, dan Sahabati Evi bertandem dengan Ali Masykur.
Jika tak salah mereka mengurusi Lembaga Advokasi Masyarakat atau Lamas.
Momen yang
saya ingat adalah kala Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah
melaksanakan Konferensi Wilayah di Universitas Wahid Hasyim tahun 2003. Richardl
dan Hadi bahu membahu membuka lapak alias stand PMII Kota Semarang. Mereka
berjualan buku-buku terbitan LKiS Jogjakarta. Tak ada gengsi-gengsian.
Mahbub
Al-Junaidi, Kordinator Departemen Pengembangan Wacana PMII Cabang di era
Richardl menulis sebuah skripsi dengan objek PMII Cabang di era 2000-2002.
Skripsi setebal 80 halaman tersebut mengambil judul Pendidikan Pluralisme dalam Gerakan Mahasiswa: Analisis Pengkaderan
PMII Cabang Kota Semarang 2000-2002. Jika tidak ada sesuatu yang unik dan
menarik, tentunya tak mungkin Sahabat Mahbub menjadikan PMII Cabang sebagai
objek penelitian. Ini sekedar menunjukan bahwa di tahun-tahun itu, gaung PMII
Cabang begitu terdengar nyaring.
Setelah
Richardl menyelesaikan periode kepemimpinannya, PMII Cabang dipegang Sahabat
Mahbub Zaky, dari Komisariat Diponegoro. Nah, disini saya menyaksikan putaran
balik yang tajam dari aktivis IAIN yang digawangi eksponen 1999. Seperti ada
kegalauan disana. Tak terlihat ada gairah untuk beraktivitas di PMII Cabang.
Disorientasi? Bisa jadi. Tapi saya tak punya jawaban shahih kenapa angkatan
1999 mengalami turbulensi politik yang dahsyat. Padahal angkatan ini yang bisa
memegang kendali Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa
(DPM) dan Komisariat pada saat yang nyaris bersamaan.
Setelah itu,
cabang dibawah kendali Fery Nuryanto (Universitas Negeri Semarang/Unnes). Sahabat
Rofiuddin yang sempat dicalonkan oleh Komisariat kalah dalam head to head
(bukan home and away). Sahabat Rofi hanya didukung oleh 3 komisariat, sementara
4 (atau 5) komisariat lainnya mendukung Sahabat Ferry. Seperti wabah, aktivis IAIN juga tak banyak
yang berkarya di Cabang.
Harapan
kemudian tertambat pada Iman Fadhilah. Saya panggil Iman Fadhilah saja tanpa
pakai “sahabat.” Kalau saya tambahkan “sahabat” dia suka senyum-senyum sendiri.
Semua kolega di angkatan 2001 bulat, mengusung Iman untuk Cabang. Karena ada 7
hingga 8 komisariat, tentu Iman tak bisa jalan sendiri. Ia harus menawarkan
visi ke sana dan ke mari. Ke utara dan ke selatan. Barat dan timur. Harapannya,
kalau Iman (sebagai wakil IAIN) ada di cabang, jembatan aktualisasi aktivis IAIN
bisa dijangkarkan. Menghidupkan kembali “ruh” IAIN di Cabang adalah tawaran yang
hendak dilambungkan.
Tapi, apa
hendak dikata. Suara terbanyak tak ada di pihak Iman. “Iman kalah Ted,” kata
Wiwit Rizka Fatkhurrahman di ujung telpon.
Karena saya tak bisa menemani Iman hingga malam pemilihan, maka saya
hanya bisa memantau via telpon di rumah Pa Abu. Melalui pesawat (024) 7622707
(catat, barangkali perlu), saya mengikuti prosesi pemilihan hingga akhirnya
keputusan disahkan oleh presidium sidang.
Selepas
kekalahan tersebut, angkatan 2001 berkumpul. Menentukan sikap untuk gerak PMII
ke depan. Tanda-tanda kelesuan untuk “berkarir” tampak sangat jelas. Ada satu
kubu ekstrem yang membulatkan tekadnya untuk tak mau menjadi pengurus cabang.
Mereka diantaranya, Wiwit, Hadlirin dan Rusmadi. Yang lain masih mikir-mikir,
seperti Irvan Musthofa. Iman justru yang berpikir beda. “Kita masuk saja, untuk
nambahi curiculum vitae,” ajak Iman kepada saya. “Ini anak kok konyol banget,
masa jadi pengurus buat main-mainan,” batin saya.
Entah apa
yang dipikirkan Iman saat mengajak saya saat itu. Tapi ia benar-benar
melaksanakan niatannya tersebut. Saya dan Iman akhirnya bergabung di satu
departemen, kajian dan pengembangan wacana. Walhasil, karena setengah hati
terlibat di cabang, Iman tak maksimal memainkan peran di cabang. Apalagi saya.
Iman hanya menerbitkan dua buletin saat ia jadi pengurus cabang. Harus diakui
kesamaan visi yang lambat terbangun membuat saya gagap harus menjalankan tugas
sebagai pengurus di cabang. Apalagi dengan niatan yang “kurang baik” menjadikan
hasilnya juga tidak baik. Disinilah pentingnya mendalami hadits Innamal a’maalu
binniyyaat. Malah ndalil.
Pasca Iman,
IAIN mendapatkan kesempatan untuk menjadi Ketua Cabang melalui kader-kadernya;
M. Zuyyina Laili, Sugeng Hardiyanto dan Junaidi. Hanya saja suara Komisariat
IAIN di Cabang Semarang, parau. Lamat-lamat, bahkan sulit untuk dikatakan
menggarami Cabang. Boro-boro menerbitkan Jurnal sekelas Tradem (PMII Sleman),
menyelenggarakan Pelatihan Kader Lanjut (PKL) yang berkualitas pun nyaris tak
pernah terlaksana.
Saya
menyadari sepenuhnya bahwa IAIN hanyalah salah satu komisariat saja di Cabang.
Tak salah jika banyak yang mengatakan bahwa IAIN tak perlu jumawa seolah
aktivis IAIN adalah mesias bagi Cabang.
Tanpa
bermaksud menafikan komisariat-komisariat lain, hemat saya pasca kepengurusan
Sahabat Richardl darah IAIN tak lagi tersuntikan di Cabang. Mungkin tiap
angkatan punya alasannya masing-masing yang spesifik. Angkatan 2001 misalnya.
Saat berkumpul di Kantor IRCOS pengilon menyikapi masuk atau tidaknya di
Cabang, pernah mengutarakan satu pemikiran. Rusmadi yang mengusulkan agar
teman-teman 2001 “berdiaspora” terlebih dahulu. Jika satu waktu ada yang
menyatukan kembali di satu institusi maka sejarah yang akan menjawabnya.
Kalaupun tidak, setidaknya ada kesamaan benang-benang visi yang bisa ditenun. Saya
dan Iman akhirnya membesarkan eLSA sembari kuliah. Pujiyanto (Gepeng) “turun
gunung” ke Purwodadi dan menggagas terbentuknya PMII Cabang Grobogan. Rusmadi
juga kuliah. Ahmad Khoirul Umam menjadi wartawan dan lain-lain. Ini mungkin
yang disebut oleh Rusmadi sebagai “diaspora” itu.
Pertanyaan
tentang alasan lesunya aktivis PMII IAIN berkarir di Cabang, tentu
berbeda-beda. Ada alasan yang spesifik di masing-masing person atau mungkin
angkatan. Tapi setidaknya kita bisa berhitung dengan masa kuliah di IAIN dan
mengaitkannya dengan kegiatan di PMII. Semester 1-2 adalah masa di mana
kader-kader itu menjejakkan kaki di PMII via Mapaba dan PKD. Semester 3-6 mahasiwa
IAIN menjadi pengurus Rayon dan di semester 7-8 mereka ada di Komisariat.
Saat
berkarir di komisariat itulah, biasanya kepengurusan terbelah, karena di saat
yang sama PMII juga menguasai lembaga-lembaga politik di intra kampus. Di luar
itu, mahasiswa semester 8 IAIN ini lagi-lagi sudah dihadapkan pada kepentingan
yang realistis, segera memasuki tahap akhir studi. KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan
kemudian skripsi. Walhasil kesempatan untuk menjadi pengurus cabang menjadi
sangat kecil. Jika pun ada mahasiswa yang tersisa dan berkesempatan menjadi
pengurus cabang, jumlahnya sangat sedikit. Jumlah yang minim plus konsentrasi
yang terbelah (kebutuhan studi, bekerja dan lain-lain) menjadi alasan yang tak
terbantahkan bagi kelangsungan aktivitas karir di cabang. Dus, mereka tak
maksimal memainkan peran di cabang.
Dalam
situasi seperti ini, biasanya cabang melakukan pergantian besar-besaran di
tengah periode. Mereka yang menyelesaikan kepengurusan di Komisariat dan
“nganggur” karena menunggu Rapat Tahunan, kemudian ditarik ke cabang. Hasilnya
bisa ditebak, tidak maksimal. Semuanya serba prematur. Inilah alasan yang
“memaksa” saya harus menulis judul di atas. Ya, kepengurusan cabang seperti
menjadi kuburan bagi aktivis IAIN. Karena disinilah mereka “mengakhiri”
karirnya secara meyakinkan.
Jikapun ada
yang kemudian menjadi ketua, maka saya menduga mereka lebih bersolo karir.
Tidak mendapatkan mandat dari IAIN sebagai ladang tempat idealisme
berorganisasi disemai. Apalagi jika kita menyaksikan fakta bahwa ada beda
antara menjadi pengurus Rayon-Komisariat dan Cabang-Korcab. Jika yang pertama
begitu kental bangunan idealismenya, yang terakhir tidak dapat menghindar dari
tarikan-tarikan politik yang begitu kencang.
0 Komentar