Ada pertanyaan besar tentang wanita, kenapa banyak wanita ingin terlihat seksi? Salah seorang penemu psikologi transpersonal, karrel jung, menyebutkan bahwa dorongan-dorongan dari luar diri manusia adalah factor terbesar yang mempengaruhi perilaku manusia itu sendiri. Dalam persepsi pria, seksi di reduksi sebagai bentuk tubuh yang bahenol, dada menonjol, dan aduhai. Karena persepsi pria yang demikian itu, kemudian seksi di yakini sebagai bentuk kecantikan yang paling sempurna, dan sudah barang tentu para wanita ingin berpenampilan seksi.

Seksi berasal dari akar kata sex yang berarti alat kelamin baik pria maupun wanita. Dalam perkembangan bahasa di inggris sex kemudian memiliki konotasi hubungan intim di atas ranjang berdasarkan fakta bahwa hubungan intim menggunakan alat kelamin, maka pengertian sex berkembang menjadi hubungan intim atau sering di sebut seksual. Kemudian makna sex semakin meluas kepada bentuk yang lebih abstrak yaitu rangsangan dari luar yang di picu oleh persepsi-persepsi dan pengalaman-pengalaman seksual yang berhubungan dengan bentuk tubuh. Persepsi itu meningkatkan hormon di dalam tubuh dan menjadi hasrat seksual yang terpendam, jika pria memandang wanita seksi maka hormon ini akan bekerja, dan terus seperti itu berulang-ulang sehingga menjadi akumulasi kekuatan seksual yang dahsyat. Oleh karena itu, pengertian sex tidak hanya sebatas hubungan intim saja, namun maknanya meluas menjadi persepsi seksual yang di rangsang oleh bentuk tubuh seksi.

Problem Paradigmatik
Wanita tentu saja berbeda dengan pria, wanita lebih deteil memperhatikan dirinya. Mereka sangat menomorsatukan penampilan, mereka akan kehilangan kepercayaan diri jika penampilannya tak maksimal. Untuk membangkitkan kepercayaan diri, kaum wanita menciptakan ramuan kecantikan (kosmetik) dan alat kecantikan (make-up).

Sudah kita singgung di atas bahwasanya makna cantik terbatas kepada seksi, seorang pakar linguistik asal perancis Paul Ricoueur mengatakan “makna muncul akibat wacana umum yang mafhum di pahami”. Lebih lanjut lagi bahwa sebuah kata yang di nisbatkan kepada suatu objek dengan atau tanpa di sadari menjadi parole (sesuatu yang di anggap benar karena sudah sangat biasa di sebutkan). Berbicara mengenai kecantikan, kaum pria memahaminya sebagai bentuk tubuh yang seksi, warna kulit cerah (belum tentu putih), berbadan tinggi, langsing, berdada kencang dan menonjol, ukuran hidung, mata, bentuk pipi, dan tekstur bibir lembut. Paradigma yang semacam ini sudah sangat mengakar di benak kaum pria dan sulit untuk di hapuskan.

Karena pemahaman cantik adalah seksi sudah sangat mafhum, maka paham itu kemudian menjadi sebuah paradigma yang tak tergoyahkan. Percaya atau tidak sebagian besar pria mendambakan wanita dengan penampilan seperti di atas.  Meminjam istilah F. Bacon, kecantikan sudah menjadi idola (pengaruh yang menggerakkan alam bawah sadar manjadi kesadaran). Dalam materialisme historis, Karl marx menyebutnya sebagai kesadaran palsu. Di sadari atau tidak, cinta pada pandangan pertama adalah ketika pria memandang wanita seksi. maka sebenarnya tak ada cinta sejati, yang ada kesadaran palsu yang di salah pahami sebagai cinta.

Disinilah problem paradigmatik muncul, dengan seksi sebagai persepsi umum kaum pria, maka wanita yang notabene membutuhkan belaian kasih sayang seorang pria berlomba-lomba mempercantik diri dengan berdandan seseksi mungkin agar mendapat perhatian pria. Tak akan jadi persoalan jika seorang wanita yang memang sejak lahir sudah memiliki peostur tubuh, bentuk tubuh bahenol, dada kencang dan sintal, hidung agak mancung, dan tekstur bibir lembut dia akan selalu di puja banyak pria. Yang jadi masalah adalah wanita yang gendut, berkulit hitam, postur tubuh tak memadai, dan kekurangan fisik yang lain dia akan mengorbankan waktu dan tenaganya berdandan ria demi memperindah tubuhnya, bahkan ada yang tak segan-segan melakukan oprasi plastik, sedot lemak, botox, bahkan oprasi kelamin.

Dengan paradigma semacam ini juga memunculkan perilaku ekonomis yang menjadikan wanita  sebagai alat sekaligus objek kapitalisasi. Kita bisa melihat fenomena kecantikan di sekitar kita, produk-produk perawatan tubuh lebih banyak di peruntukkan bagi kalangan wanita, pun demikian alat propaganda yang di pakai adalah para wanita. Dunia pertelevisian, radio, koran, majalah, dan media-media lainnya lebih banyak menggunakan jasa para wanita seksi, di banyak pameran dan promosi produk baru ada istilah SPG (sales promotion girls) yang artinya gadis penjual promosi, inilah bentuk kapitalisasi kecantikan.

Kapitalisasi Kecantikan
Dunia industri menangkap hal ini menjadi peluang ekonomi yang sangat besar. Sebaiknya kita harus bersyukur terlebih dahulu atas penemuan yang sangat canggih di abad milenium ini yaitu industri kecantikan mulai dari bedak, lipstik, dan beauty lotions. Bahkan tak hanya sebatas itu industri ini berkembang di antaranya menjadi rumah kecantikan semacam sauna, spa, dan salon, bahkan industri ini merambah ke dunia klenik dengan munculnya susuk. Jika boleh penulis menyebut fenomena ini sebagai aji mumpung. Kenapa demikian? Karena persepsi kaum pria terkait cantik sudah sedemikian reduktif yang mempengaruhi hasrat mempercantik diri bagi wanita. Namun sekali lagi hal ini harus kita syukuri bersama, karena dengan adanya industri ini maka membuka peluang bagi kita unjtuk berkreasi mengembangkan bakat dan usaha.

Industri kecantikan tak ingin kehilangan momentum ini, para pelaku industri ini terus melakukan propaganda bahwa cantik adalah kulit putih mulus, perut langsing, badan tinggi, dan bentuk tubuh sempurna. Pengaruhnya luar biasa, tak ada satupun manusia di dunia ini yang berdaya melawan propaganda semacam ini, bahkan kecantikan sudah menjadi hegemoni. Dengan makna cantik yang reduktif semacam itu kaum kapitalis telah menunggangi demi pundi-pundi uang.

Tidak hanya itu, jauh sebelum munculnya industri kosmetika seperti itu telah muncul dimana perhiasan-perhiasan yang berupa batu permata, emas, perak, berlian, dan batu mulia yang lain sebagai penanda kecantikan dan status sosial kewanitaan. Semakin banyak memakai perhiasan maka semakin tinggi derajatnya. Perkara ini jugalah yang menyebabkan nilai batu permata, emas sangat tinggi. Bahkan di era modern ini batu perhiasan telah menjadi komoditaas ekonomi yang bernilai tinggi (mewah). Semuanya di lakukan demi memuliakan kaum wanita.

Diskriminasi yang Tak Disadari
Disini kemudian terjadi diskriminasi, nilai-nilai kecantikan hanya milik wanita-wanita yang seksi saja. Wanita-wanita yang berbadan gemuk, berkulit hitam, dan hidung pesek tak mendapat tempat yang layak dalam persepsi kaum pria. Apalagi propaganda yang sangat menyudutkan wanita-wanita seperti itu. Dalam dunia hiburan, wanita jelek lebih banyak diperankan untuk peran-peran yang lucu, di penuhi olok-olokan dan lapsting, wanita jelek labih banyak di gunakan dalam acara-acara komedi. Wanita-wanita seksi banyak diperankan di acara sinetron atau FTV bergenre romantis. Di sadari atau tidak hal ini menunjukkan kepada kaum pria bahwa wanita jelek sangat pantas untuk di jelek-jelekkan dan yang pantas mendapat pujian dan romantisme hanyalah wanita seksi.

Fenomena ini menjadi PR besar buat para pejuang gender. Para pejuang gender harus beralih kearah ini untuk memperjuangkan keadilan perempuan. Perjuangan akan semakin rumit karena kita berhadapan dengan maindset umum bahwa cantik adalah seksi. Diskriminasi atas dasar seksi justeru lebih jahat ketimbang KDRT, karena diskriminasi ini bersifat paradigmatik dan tak mudah untuk mengusutnya, sedangkan KDRT bisa di selesaikan di ruang sidang. Paradigma masyarakat yang memandang seksi sedemikian rupa telah menenggelamkan mereka kedalam kesalahpahaman yang berkepanjangan. Tanpa di sadari paradigma itu telah mendiskriminasi sebagian wanita.

Wanita sejatinya adalah makhluk yang di ciptakan dengan berbagai macam keindahan dan keunggulan di banding pria. Namun, jadi perkara besar ketika salah dalam memahami keindahan dan keunggulan wanita itu sendiri. Kita sebagai kaum pria seharusnya menyadari bahwa kita akan menjadi pemimpin dan pelindung wanita nantinya, tak sepantasnya kita para pria membedakan wanita hanya karena perkara kecantikan fisiknya semata. Akan lebih bijaksana apabila kita mampu menjadi pendamping dan tambatan hidup bagi para wanita tanpa memandang fisiknya.


OLEH: Muhammad Husni Mushonifin