Di pagi hari pertama, tepatnya di hari minggu itu (18/01), kami awali dengan melangkahkan kaki menuju makam sesepuh atau orang sholih yang dulunya berjasa besar dalam pertumbuhan Islam disitu. Pertama kali kami berziarah di makam Mbah Umar, yang menurut cerita lokal warga sekitar, beliaulah orang pertama yang membabat alas desa itu. Makam yang berada di pertangahan sawah itu sudah di renovasi sedemikian rupa sehingga dapat dengan nyaman dikunjungi para peziarah. 

Setelah memanjatkan doa, kami lanjutkan ziarah ke makam Nur Dihya bin Sayyid. Sekitar kurang lebih 500 meter dari makam Mbah Umar. Menurut cerita, Mbah Nur adalah orang sholih di desa ini. Dulunya banyak orang yang sowan kepadanya (lihat cerita mbah Nur di Para Sholih di Desa Walang Sanga).  Keadaan makamnya pun sudah direnovasi dengan sebaik mungkin.

Perjalanan kami lanjutkan ke rumah sahabati Devi Atiek Afiani. Jalan yang kami tempuh bukan jalan beraspal seperti biasanya, jalan tersebut berupa pematang sawah yang kecil. Kami sengaja lewat sana untuk mengetahui aktivitas petani disitu. Ada salah satu yang menarik dari penglihatan kami, yaitu ketika ada seorang bapak-bapak yang membawa kayu dibentuk seperti sebuah kursi duduk. Setelah kami tanyakan ternyata itu digunakan untuk memanen padi  yang sudah siap panen, dengan cara memukul padi tersebut.

Perjalanan sejauh satu kilometer ini kami tempuh selama setengah jam. Sesampainya di rumah sahabati Devi, kami berbincang-bincang dengan bapaknya, Shofan. Dalam perbincangan tersebut banyak yang kami tanyakan, yaitu mengenai daerah terpencil disini, orang sholih yang menyebarkan Islam disini. Banyak cerita yang kami dapatkan dirumah ini. 

Setelah berbincang-bincang , kami bermaksud undur diri kembali ke rumah Sahabati Zilda. Sebelumnya kami meminta bapak shopan untuk menemani  kami menuju ketempat terpencil yang di tunjukan olehnya, yaitu  di Desa Plakaran, Dukuh Suka Tapa. Sekitar jam dua siang, dengan mengendarai sepeda motor kami bermaksud menuju ke Soka Tapa. Ditemani hujan rintik- rintik kami melanjutkan perjalanan yang sudah kami sepakati.  Jauh dukuh Krajan dan Suka Tapa sekitar empat kilometer, menjadi perjalanan jauh yang akan kami tempuh. 

Dalam perjalanan mengendarai motor ada yang menarik. Sahabat kami, Zakaria Ahmad  yang memboncengkan Sahabati Riska Oktaviani dikagetkan  dengan perkataan anak-anak  disini. Mereka heran dengan keadaan yang dilihat mereka. Karena seorang laki-laki memboncengkan seorang perempuan. Belum sampai ditempatnya kami memarkirkan sepeda motor di salah satu teman  pak shofan. Sekiar  1 Km kami tapaki dengan langkah kaki, karena jalan yang naik curam walaupun jalan sudah baik. Mungkin hanya orang dukuh tersebut saja yang bisa melewati jalan tersebut. (Lihat cerita tentang Dukuh Suka Tapa terpencil tapi tidak tertinggal).

Sesampainya di dukuh tersebut, kami bertamu ke Ustadz disitu. Setelah berbincang-bincang mengenai dukuh tersebut, kami pamit undur diri, karena tempatnya akan digunakan untuk mengaji anak-anak. Dengan melangkah kaki lagi, kami menyusuri jalan untuk kembali ke tempat parkiran motor. Ada hal yang menakjubkan dari perjalanan kembali ini. Anak-anak dengan semangat sore hari memakai payung berjalan dengan menenteng tas. Setelah kami tanyakan, mereka baru pulang dari desa Gintung untuk mengaji. Suatu hal yang sudah sangat jarang kami temui di daerah-daerah lain. Jarak 3 Kilometer dari Gintung ke Sukatapa dilalui dengan berjalan kaki. Senyum bahagia sore hari tak terlepas dari bibir-bibir mungil mereka.
 
Di perjalanan kembali, kami memikirkan oleh-oleh yang tak bisa dilupakan, yaitu tentang semangat dari anak-anak Suka Tapa. Pukul 17.00 WIB kami sampai di tempat kami berteduh, hingga malam kami hanya berbincang-bincang sedikit karena tubuh kami yang mulai lelah. Tidur malam ini adalah tidur terindah dengan mimpi di esok hari akan berjumpa lagi dengan warga Suka Tapa.  



Kontributor                 : Ahmad “Aam” Addien  
Ediror                          : Yulizar Farid Firdaus