Oleh : Riadhotul Liana*

Antusiasme umat Islam dalam menyambut bulan Ramadhan menjadi suatu hal yang unik di setiap tahunnya. Selama bulan Ramadhan seluruh umat Islam di dunia diwajibkan untuk berpuasa dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Pengertian umum dari puasa adalah menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Namun dalam konteks sosio-religius, puasa bukanlah sekadar ekspresi ritual verbalistik berupa penghentian sementara segala bentuk kebutuhan biologis itu, akan tetapi  puasa juga merupakan upaya pengendalian diri. Bahkan lebih dari itu, puasa Ramadhan juga merupakan sarana pendidikan dan latihan dalam mengawal sebelas bulan lain. Uniknya, tak jarang nilai-nilai yang ditanamkan bulan suci Ramadhan ini tidak terimplementasi dengan baik dalam jiwa umat Islam sendiri. Karena seringkali keindahan Ramadhan hanya berhenti pada ritual yang bersifat seremonial serta euforia di media sosial semata.
Implementasi yang cenderung Paradoksal

Puasa dalam perspektif Islam merupakan aktivitas spiritual yang mengandung ajaran perilaku dalam dimensi ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat luar biasa. Uniknya, dari waktu ke waktu esensi dari ajaran tersebut masih sering tidak diimplementasikan secara signifikan bahkan cenderung paradoksal. Sebagai contoh dalam dimensi sosial, dengan berpuasa sesungguhnya kita tengah digiring untuk hanyut dalam suasana keseharian kehidupan kaum dha’if. Akan tetapi ajaran luhur puasa ini tidak begitu nampak dalam manifestasi kehidupan sosial secara riil dan kepekaan sosial yang diajarkan dalam puasa lebih sering diekspresikan sebagai formalitas semata. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa orang yang mapan secara ekonomi lebih menyibukkan diri untuk tampak semakin berkelas dan elit di bulan Ramadhan ini daripada menyantuni kaum fakir miskin.
Hal serupa juga dapat ditemui dalam sektor ekonomi. Dengan berpuasa kita hanya butuh makan di saat buka dan sahur saja. Dari premis tersebut, silogisme awal yang dapat ditarik tentu dengan berpuasa kita akan dapat berhemat karena jika menu makanan kita tetap seperti biasanya, tentu akan meminimalisasikan pengeluaran. Namun, realita yang terjadi menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat –dengan berpuasa Ramadhan- justru mengalami peningkatan pengeluaran karena bias makna dan apresiasi terutama pada momentum buka dan sahur. Mereka beranggapan bahwa pemenuhan gizi sangat diperlukan sehingga harus makan makanan yang enak-enak dan sesuai selera. Di sini, esensi puasa untuk membentuk pribadi muslim yang ekonomis tidak terwujud. Bahkan yang terjadi adalah pemborosan karena pemenuhan tuntunan di atas standar.
Titik bias yang paling krusial terjadi pada aspek pembentukan sikap dan perilaku. Dalam posisi menahan haus juga lapar, tak sedikit orang yang justru menyibukkan diri untuk menggosip, berbohong, bahkan masih ada yang sanggup melalukan korupsi. Sulit diterima logika memang, ketika pelaku korupsi maupun tindakan destruktif lain itu adalah juga pelaksana ibadah puasa di bulan Ramadhan. Inilah yang kemudian menjadi sebuah tanda tanya besar, apakah mungkin karena ketidakpahaman nilai dan hakikat puasa Ramadhan yang sesungguhnya, ataukah sikap hedonisme memang sudah mengakar di jiwa masyarakat kita hingga umat Islam pun ikut terpedaya.
Pemaparan fenomena tersebut menunjukkan adanya disorientasi makna dari puasa di bulan Ramadhan yang terjadi di berbagai aspek. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, tentu akan menjadi penyakit bagi internal Islam sendiri. Diversitas karakter individu dalam umat Islam yang merupakan sunnatullah dan kekuatan dominasi hedonisme yang tengah melanda masyarakat tentu tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi jika epistimologi pemahaman nilai dan hakikat puasa Ramadhan mulai ditata dengan baik, dapat dipastikan bahwa disorientasi tersebut dapat terminimalisir. Dengan ini, nilai puasa Ramadhan yang dipaparkan dalam dimensi sosio-religius mampu terpenuhi, yaitu sebagai upaya pengendalian juga sebagai pengawal sikap diri.

*) Penulis adalah Direktur Lembaga Kajian dan Penerbitan (LkaP) PMII Abdurrahman Wahid