Oleh : M. Husni Mushonifin
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Beberapa hari terakhir saya terganggu dengan pembicaraan
salah satu pesohor NU yang ngotot bahwa tradisi ke-islam-an di Indonesia ada
dalilnya dan itu Qath’i. Terkadang saya berpikir itu mustahil, karena
asumsi saya islam lahir di arab, sangat kental dengan tradisi arab, begitupun
Al-qur’an semua dalilnya berbasis di arab, tak ada satupun lafal Al-qur’an yang
mengucapkan tentang tradisi di Nusantara. Dan karena hal itu pula sebagian umat
islam yang berhaluan puritan ngotot bilang bahwa tradisi ke-islam-an di
Indonesia adalah bid’ah. Selama inipun ketika NU di benturkan dengan dalil
yang mendasari amaliyah keagamaan berdasarkan tradisi Nusantara masih belum
menemukan titik terang. Sekalipun NU masih tetap bertahan dengan prinsip
tradisionalisme tetap saja hal ini mengganggu sebagian kalangan NU.
Sebelum melanjutkan tulisan saya,
saya harus mengatakan bahwa saya bukan ahli soal ke-islam-an apalagi pemikiran
islam. Tapi saya punya seorang sahabat yang cukup mumpuni untuk menyelami
pemikiran islam terutama dalam bidang ‘ulumul Qur’an namanya sahabat Ahmad
Fauzi. Beliau seringkali mengatakan dalam perbincangan ke-islam-an selalu
muncul perdebatan soal kehidupan umat dalam bermasyarakat, membangun peradaban,
dan sekaligus membangun agama.
Menurutnya hal itu normal, pertama karena islam adalah
satu-satunya agama yang memiliki visi untuk membangun peradaban dengan UMMAT
(bandingkan dengan kata Al-Qaum yang artinya komunitas, mujtama’,
jama’ah, jam’iyah, yang artinya masyarakat atau firqah yang artinya
kelompok/golongan). Selama ini pemahaman kita soal ummat hanya penyebutan untuk
golongan manusia yang memeluk Islam, tapi mas fauzi mengatakan melalui
literatur yang dia baca bahwa konsep UMMAT memiliki cita-cita untuk menata
masyarakat dan mengatur pembangunan.
Konsep
Ummat
Menurut Ali Syari’ati kata UMMAT
adalah definisi baru untuk nation, people, race, mass, dan social
class. Kata ini berasal dari kata AMMA yang berarti berniat atau menuju,
bisa di kaitkan juga dengan kata AMAM yang berarti di muka. Dari situ
Ali Syari’ati menarik tiga arti yaitu gerakan, tujuan,dan ketetapan kesadaran
yang terkonsep sistematis dan bergerak secara massif. Bahkan Raghib
Al-Ashfihani mengatakan konsep UMMAT bukan hanya mencakup umat islam saja, tapi
mencakup seluruh umat manusia termasuk yang non islam. Bahkan lebih radikal
lagi, Raghib menyatakan seluruh makhluk Allah (setan, jin, malaikat, hewan,
tumbuhan, dll) adalah UMMAT yang di gerakkan dalam satu sistem yang bernama
takdir.
Kedua Islam adalah agama
yang ekspansional-agressif (jangan di tafsiri negatif). Islam adalah agama
samawi terakhir yang turun setelah Yahudi dan Nasrani, kita sering menyebut
Islam sebagai penyempurna ajaran-ajaran Agama terdahulu terutama kedua agama
tersebut. Ada visi penyempurnaan di sana, apa yang kurang dari agama terdahulu
harus “diperbaiki”, tentunya dengan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Ali
Imran : 104) yang menyeru dengan kelembutan tanpa kekerasan.
Ketiga Islam adalah agama
yang sistematis dan evaluatif, menurut
adonis dalam menjalankan ajaran islam hendaknya kita menghayatinya dengan Muttahawil
(visi pembaruan) karena islam itu dinamis, tidak bisa di terima dengan nalar
passif. Jika Islam di terima dengan passif yang terjadi adalah penolakan terhadap modernisasi dan hal
inilah yang berbahaya, yang terjadi di beberapa golongan Islam garis keras. Masih
menurut adonis lagi, kenapa islam garis keras yang berbasis di timur tengah
sangat kolot? Karena menurutnya, timur tengah khususnya tanah arab tidak
memiliki visi muttahawil. Mereka beranggapan Islam dengan Al-qur’an dan Sunnah
sudah final. Dengan
alasan, tanah arab adalah tempay islam lahir.
Mengulas ayat Ali Imron 110
Dalam QS Ali Imran ayat 110 di atas,
di awal ayat jelas berbunyi كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ (kalian adalah ummat terbaik).
Perhatikan baik-baik kalimat خَيْرَ , klaim
terbaik menurut saya tidak pasif, di situ menghendaki konseptualisasi
masyarakat Islam sebagai ummat. Masyarakat yang tertata, masyarakat yang mampu
membangun peradaban, membentuk tatanan masyarakat baru yang beradab dan
berbudaya, memiliki Visi dan dinamis. Basis pembangunan Ummat tentunya melalui
penghayatan terhadap kemanusiaan, hal ini jelas tersirat dalam lanjutannya أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ. (di lahirkan untuk
manusia/kemanusiaan) Manusia memiliki tradisi yang pastinya berbeda-beda di
setiap tempat dan akan mengalami transformasi seiring dengan jalannya waktu.
Pendek kata Islam menghendaki adanya dinamisasi dan inovasi demi terciptanya
peradaban manusia yang maju.
Untuk membuktikan itu semua kita
bisa mengkaji QS Iqra / Al-Alaq 1-19 yang dengan gamblang menunjukkan visi
pembangunan manusia melalui membaca. Bahkan dalam surat itu menjelaskan lengkap
bagaimana manusia diciptakan, dilahirkan, dan kemudian berkembang. Sebagai
penyempurna konsep UMMAT, islam mengajarkan muysawarah (Asy-Syuura : 38). Saya lebih
memaknai musyawarah sebagai rembugan yang di lanjutkan dengan gotong royong
yang sahabat Lianna bilang sebagai ruh pancasila.
Kemudian di lafal تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ (menyuruh dengan makruf). Kalimat الْمَعْرُوفِ saya cendrung mentasrif mashdarnya menjadi الْعرفِ (tradisi/kebajikan lokal). Dalam ushul fiqih di kitab
Ar-Risalah karya imam Syafi’i, Al-Urf adalah metode pengambilan hukum melalui
tradisi lokal yang sudah berlaku. Tak bisa di pungkiri bahwa peradaban manusia
mula-mula di bangun melalui tradisi yang berlaku di lokalitas masing-masing
kelompok manusia. Islam dengan tegas melalui ayat ini untuk mengembangkan
ajaran dengan tradisi yang berlaku di setiap tempat. Islam tak bisa memaksa
dengan kekerasan menyampaikan ajaran dengan paksa yang terpampang jelas dalam
QS Al-baqarah : 256 Laa ikraha fid din qad tabayyana rusydu minal ghayyi.
Umat manusia yang hidup di muka bumi
mutlak memiliki tradisi. Tradisilah yang telah menghidupi manusia, dari situ
akan lahir karya dan karsa. Kemunculan teknologi tak bisa di lepaskan dari
peran tradisi manusia, teknologi adalah manifestasi dari akumulasi tradisi
manusia-manusia di dunia. Pembaruan (muttahawil) yang berkelanjutan membuat
umat manusia semakin pesat dalam melakukan pembangunan.
Dan islam juga memiliki visi untuk
memerdekakan manusia وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ, (mencegah dari kemungkaran/penindasan)
kalimat ini saya maknai sebagai liberalisasi atas segala sesuatu yang
mencengkram kreatifitas manusia. Dalam menjalankan hidup,
manusia tak bisa berdiam diri, perkembangan manusia sangat di tentukan seberapa
ulet dia hidup. Jika menurut Nietze hidup itu sangat kejam, bahwa kenyataan
hidup selalu membawa manusia kepada kenistaan yang menurut Thomas Hobbes
manusia adalah serigala bagi manusia yang lainnya, maka islam muncul untuk
membebaskan. Sifat egaliter dalam islam telah tergambar dalam QS Asy-Syuura :
38. Dan dalam QS Ali Imran : 159 menjelaskan terjadinya revolusi secara
alamiyah jika ada manusia yang berkuasa berlaku secara sewenang-wenang terhadap
sesamanya.
Islam
egaliter-transenden
Ke-egaliter-an itu kemudian di
sambung dengan kalimat وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ (beriman kepada allah) yang menjelaskan tentang transendensi
kamanusiaan. Dalam kehidupan manusia selalu ada hal-hal misterius yang tidak
bisa di jangkau oleh manusia. Apalagi jika berbicara masa depan peradaban
manusia, maka dari itu islam selalu menekankan untuk meningkatkan musyawarah
untuk membahas masa depan manusia sehingga ada rencana yang sistematis untuk
mengawal peradaban manusia. Ingat bahwa peradaban tidak statis, perkembangannya
selalu sulit di tebak. Di saat seperti
inilah peren kepemimpinan yang dinamis sekaligus egaliter sangat di perlukan
yang kemuidian harus mendapatkan sentuhan transendental yaitu ke-IMAN-an.
Kita dapat melihatnya dalam Firman
Allah QS An-Nisa 59 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Kalimat Al-yaumil Akhir (hari kemudian) itulah tantangan yang amat berat bagi
manusia. Ke-misterius-annya tak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi.
Ajaran Nusantara terutama jawa selalu mengajarkan mawas diri, agar selalu ingat
kepada tuhan waspada akan misteriusnya hari depan (eling lan waspodo).
Kalimat selanjutnya dari QS Ali
Imran:110 menjelaskan tentang realitas modern
yang di bangun manusia justeru menjauhkan manusia dari sifat transenden.
Manusia menjadi makhluk yang paling konsumtif sekaligus eksploitatif. Manusia
telah lupa dengan kemanusiaannya karena hasrat untuk menguasai dunia telah
merasuk dalam alam pikir manusia modern. Jika kita kembali ketradisi lokal
dengan budaya adhiluhungnya maka kita akan mendapati kebersahajaan yang sangat
kental. Budaya nusantara sangat menjunjung tinggi kesetaraan derajat manusia.
Tradisi Islam Nusantara
Dalam QS Ali Imran:110 ini
sebetulnya penulis tidak berusaha mencari pembenaran untuk traadisi keislaman
yang ada di Nusantara. Yang penulis harapkan adalah dengan ayat ini kita sadar
bahwa untuk membangun agama yang rahmatan lil ‘alamin harus di bangun dengan
fondaasi tradisi yang kuat, menghayati kebudayaan yang melahirkan sejarah hebat
untuk bangsa kita. Hasan Hanafi, salah satu pemikir Islam kontemporer juga
menggalakan kajian tardisi (Tuurats dalam istilahnya) untuk membangun
kembali Islam yang menurutnya sudah jauh tertinggal dari barat yang di gerakkan
oleh orang-orang Nasrani dan yahudi yang padahal kedua agama ini tak memiliki
visi pembangunan peradaban manusia dalam ajarannya. Tapi anehnya (dan patut di
kagumi) mereka mampu membuat peradaban yang sangat megah, itu semua karena
mereka belajar dari tradisi sehingga terjadi Renaisance (kelahiran
kembali) ilmu pengetahuan yang telah lama tenggelam dalam abad kegelapan eropa.
Demikainpun dengan Muhammed Arkoun yang menganjurkan kita
untuk mengkaji kembali remah-remah pondasi pengetahuan yang telah di bagun oleh
intelektual muslim masa silam. Kritiknya terhadap pemikiran islam memang sanga
pedas, menurutnya para pemikir islam justru menjauhkan agama dari jantungnya
yaitu kemanusiaan. Umat islam terlena dengan ajaran ketuhanan yang terlalu
melambung, ajaran semacam itu tak mampu menyentuh realitas sesungguhnya dalam
kehidupan ummat manusia. Maka, mulai saat ini islam harus mentradisi.
Atas terganggunya penulis dengan
pernyataan ngotot pesohor NU di atas, mungkin ayat ini bisa di jadikan dasar
tekstual untuk menjawab “pembid’ahan” tradisi islam nusantara. Selama
ini, jika penulis tidak salah, NU selalu kebingungan mencari dalil untuk tradisi islam lokal. Ayat ini sekaligus memberikan penguatan untuk lokalitas
islam yang kita miliki. Apalagi saat ini kaum Nahdliyiin sedang
gencar-gencarnya mengkampanyekan islam nusantara. Kita juga harus paham,
sebagai kaum intelektual tak bisa kita membuat jargon tanpa dasar. Walaupun
tujuan kita jelas untuk menjaga marwah tradisi nusantara, namun kita juga tak
bisa mungkir bahwa kita memiliki saudara yang berbeda pandangan dengan kita. Kita
harus dapat meyakinkan mereka bahwa tradisi nusantara adalah ada dalilnya.
Teriilhami Bung Karno kala ia mencetuskan Tri sakti yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara
ekonomi, dan berkepribadian secara tradisi dan budaya. Kalimat yang terakhir menunjukkan
arti penting tradisi sebagai kepribadian sekaligus sebagai karakter. Satu-satunya
kebanggaan kita
manakala bangsa lain mengakui dan mengagumi tradisi lokal yang kita miliki.
Maka ingatlah bahwa kita adalah orang indonesia yang beragama islam bukan orang
islam yang tinggal di indonesia. Ke-Indonesia-an adalah yang utama.
0 Komentar