M. Rikza Chamami, MSI
Dosen FITK, Mahasiswa Program Doktor UIN Walisongo, Sekretaris Lakpesdam NU Semarang dan Mantan Pjs Ketua Umum PP IPNU


Terminologi “Islam Nusantara” akhir-akhir ini menjadi topik hangat yang tidak berhenti didiskusikan. Artinya bahwa Islam Nusantara tidak hanya sekedar wacana murahan, tetapi sebagai kajian keilmuan yang sangat berharga. Istilah ini semestinya sudah cukup lama diperbincangkan di dunia akademik. Dan akhir-akhir mengemuka kembali karena Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 pada 1-5 Agustus 2015 di Jombang mengangkat tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.

Setiap kader NU lewat berbagai majelis nahdliyyin selalu membincang tema besar yang diusung jam’iyyah Islam terbesar di Indonesia ini. Yang menjadi menarik adalah ketika topik Islam Nusantara bermula dari kajian akademik masuk ke dunia pesantren dan dunia maya. Muncullah berbagai tanggapan yang sangat beragam. Justeru dengan respon massif inilah, Islam Nusantara menjadi sangat menarik dan memikat.

Penulis pernah mengalami sendiri ketika berjumpa dengan Kyai yang mengajarku sejak kecil. Beliau bertanya panjang lebar soal Islam Nusantara tapi sudah dengan nada pesimis. Sebagai santri saya mendengarkan paparan beliau. Giliran akhir pembicaraan beliau bertanya dan menghentikan pembicaraan. Saya galau, mau menjawab dengan bahasa dosen pasti “berdosa” karena menggurui Kyai saya. Akhirnya kupakai bahasa santri dengan kromo inggil kujelaskan pelan-pelan Islam Nusantara. Dan beliau sangat bisa menerima. Sebab yang didengar sebelumnya ternyata beda dengan penjelasan saya.

Di dunia maya lebih parah lagi. Arena diskusi dan komentar bebas bermunculan. Dan pegiat medsos juga tidak kalah ketinggalan membincang Islam Nusantara. Ada yang positif dan tidak sedikit pula yang negatif dan nyinyir. Dan sudah bisa ditebak, siapa saja yang cocok dan tidak cocok. Namun menjadi tidak sehat ketika sudah muncul cibiran-cibiran khas “debat kusir” yang membuat penulis tidak tertarik lagi dengan diskusi bebas ala dunia maya. Namun itu menjadi catatan khusus bahwa masyarakat berhak untuk mengeluarkan ide-idenya.

Ibarat ada produk baru handphone atau laptop yang baru dipromosikan, disitulah mengundang respon. Dan disinilah ujian teori pertukaran (exchange theory) sosiologi muncul. Dimana manusia butuh timbal-balik. Pemodal menjual produk dan pembeli menikmati produknya. Pemodal untung dan pembeli berharap untung. Jika pembeli tidak merasa nyaman dengan produknya, maka ia akan merespon negatif. Sikap negatif ini jika disebarluaskan akan mengundang “cemooh” dan berharap ada “kebangkrutan” (bagi yang tidak suka produk itu).

Namun penulis meyakini, bahwa model timbal-balik dalam menggugah kembali gagasan Islam Liberal tidak berlaku demikian. Sebab ini merupakan sumbangsih NU dalam membangun Indonesia yang mengenang kembali sejarah Nusantara dan memberi kontribusi pada dunia Islam yang akhir-akhir ini selalu berkonflik. Sehingga, NU tidak menggunakan kapital yang bersifat materialistis. Dan NU mencoba memberikan jawaban terhadap makna gap mikro-makro yang selama ini terjadi. Sehingga bangunan pertukaran sosial ini tidak hanya diharapkan untuk internal NU, namun lebih meluas untuk bangsa Indonesia dan dunia.

Bukan Agama Baru
Istilah Islam Nusantara secara epistemologis sudah tidak perlu dibahas dalam tulisan ini. Sebab sudah terlalu banyak kupasan tentang Islam Nusantara. Yang perlu dipertegas adalah Islam Nusantara bukan ideologi baru, bukan pula “agama” baru dan bukan reinkarnasi Jaringan Islam Liberal (JIL). Terlalu murah rasanya, organisasi sebesar NU memberikan label Muktamar dengan tema Islam Nusantara hanya untuk pentas ideologi kiri.

Dan masyarakat sudah bisa menilai secara nyata kontribusi NU secara kelembagaan maupun individu warganya. NU sebagai jam’iyyah sejak lahirnya tahun 1926 meneguhkan sebagai lembaga agama, pendidikan, dakwah dan ekonomi yang menegaskan Pancasila sebagai dasar negara. Artinya bahwa bagi NU, NKRI harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Wajar saja, warga nahdliyyin memiliki tanggung jawab untuk merukunkan kembali bangsa Indonesia yang kian hari mulai diintrik untuk pecah. Dan anehnya lagi, perpecahan itu dipicu dari internal agama Islam.

Menjawab kekhawatiran itu, NU hadir memberikan jawaban dengan langgam Islam Nusantara. Dan rasa-rasanya, istilah Nusantara sendiri mulai diiris menjadi simplifikasi sebagai istilah murni budaya yang terpisah dari agama, hingga muncul tudingan bid’ah. Itu yang menjadi aneh. Ketika Islam Nusantara dijadikan sebagai label warna pemikiran NU dari sisi kebangsaan, justeru ditarik menjadi mainstream agama (baca: syari’ah). Disinilah yang menjadikan distorsi epistemologis dan perlu diluruskan dengan baik. Soal setuju atau tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara, itu menjadi hak penikmat ilmu. Tapi bagi warga nahdliyyin, inilah jawaban kebangsaan yang dihadirkan di tengah arena Muktamar NU.

Pesan Mbah Hasyim
Penulis menjadi teringat dengan Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yang ditulis oleh KH Hasyim Asy’ari yang diterjemahkan oleh KH Mustofa Bisri Rembang. Ada 35 petikan ayat yang disampaikan Kyai Hasyim. Kemudian dijelaskan: “Sesungguhnya pertemuan dan saling mengenal, persatuan dan kekompakan merupakan hal yang tidak seorang pun mengetahui manfaatnya. Betapa tidak, Rasulullah sudah bersabda yang artinya: Tangan Allah SWT bersama jama’ah. Apabila diantara jama’ah ada yang mengucilkan sendiri, maka setan pun akan menerkamnya seperti halnya serigala merekam kambing”.

Pesan Kyai Hasyim ini meneguhkan bahwa NU adalah jama’ah sekaligus jam’iyyah yang sangat cinta persatuan. Sangat tidak salah jika makna persatuan bangsa Indonesia dan dunia kemudian diderifasi dengan kalimat singkat dengan Islam Nusantara. Untuk lebih meyakinkan arti jatidiri Islam Nusantara ini, perlu dipahami dari empat sisi yang harus utuh dipegang—tidak boleh dipisah-pisahkan.

Pertama, Indonesia memiliki sejarah panjang yang lekat dengan perjuangan tokoh-tokoh Nusantara (nama populer sebelum Indonesia). Jadi kalau istilah Islam disambungkan dengan istilah Nusantara menjadi Islam Nusantara adalah Islam lokal yang menyejarah: mengenang, mengenal dan menghormati sejarah.

Kedua, Islam Nusantara menjadi karakteristik kehidupan agama Islam di Indonesia yang meneguhkan tradisi, budaya yang tidak terpisah dari substansi agama. Jadi model Islam bersyari’ah (bermadzhab) yang sangat peduli terhadap kondisi sosial, budaya dan perkembangan masyarakat—agar agama Islam tetap mengakar menjadi kebutuhan teologis dan mampu bersanding hidup dengan masyarakat yang beda dengan Islam.

Ketiga, Islam Nusantara adalah identitas Islam damai dan moderat. Damai sebagai aktualisasi agama Islam yang bermakna agama keselamatan dan kedamaian yang disebarkan melalui cara dakwah penuh senyuman. Dan Islam moderat sebagai bentuk pelaksanaan teknis beragama di tengah masyarakat Indonesia yang memang beragam agama, suku, ras dan golongan dengan bingkai negara Pancasila.

Dan keempat, Islam Nusantara sebagai ilmu pengetahuan. Di titik inilah yang perlu ditegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dibangun dari Islam Nusantara ini tidak akan selesai dikupas tuntas. Masih banyak lobang-lobang ilmu yang bisa dikupas. Wajar sekali jika Azyumardi Azra sebagai penggagas Islam Nusantara (versi ilmu pengetahuan) menunjukkan stimulus global dan lokal. Oleh sebab itu, marilah bersama diskusikan Islam Nusantara tanpa ada lelahnya. Selamat berdiskusi.*)