Oleh : M. Husni Mushonifin
Idul fitri adalah hari kemenangan bagi umat muslim setelah satu bulan menjalankan ibadah puasa. Ummat muslim ‘dimurnikan’ kembali ke fitrahnya sebagai manusia yang suci. Konon katanya seluruh dosa yang telah di perbuat selama satu tahun akan di ampuni oleh Allah SWT. Dan dalam tradisi nusantara ada halal bi halal untuk menyempurnakan kesucian kita. Di hari kemenangan itu umat islam, utamanya di Indonesia, merayakannya dengan suka cita. Seluruh umat tumpah ruah kejalan-jalan dan saling berjabat tangan seusai menunaikan sholat id. Di rumah-rumah di sediakan hidangan yang lezat menggoda lidah, bahkan seringkali hidangan itu tak habis termakan karena setiap rumah menyediakan hidangan yang hampir mirip dan sama juga banyaknya. Seolah sudah menjadi kewajiban bahwa di hari kemenangan ini harus di rayakan dengan istimewa dan megah. Kita harus beli baju baru, perabot baru, sandal baru, dan apapun serba baru. Namun sayang itu hanya sebatas materi.
Idul fitri menyajikan ingar-bingar yang menggelegar, suara takbir berkumandang di mana-mana sekaligus diiringi besarnya konsumsi materi. Sudah jamak terdengar berita bahwa ketika lebaran tiba BI memproduksi uang baru untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat yang meningkat, begitupun ketika satu bulan berpuasa. Di hari lebaran itu nilai konsumsi masyarakat Indonesia bahkan mampu menembus tiga kali lipat konsumsi di hari biasa. Seolah menandakan ada dahaga yang sangat setelah menjalani satu bulan puasa. Dan mumpung ini adalah hari kemenangan, maka harus di rayakan dengan cara mengumbar keganasan hawa nafsu yang telah lama terpendam.
Fenomena ini sudah sering terjadi setiap tahun, dan kelihatannya wajar-wajar saja. Banyak yang mengkritik, banyak juga yang mengamini, tak ada masalah dengan konsumsi berlebih di hari lebaran, toh ini hari raya, harus di rayakan dong. Dan masalahnya kita mengenal idul fitri hanya sebagai hari raya. Di sini menurut penulis perlu di pertanyakan, kenapa harus melebelinya dengan hari raya? Bahkan dengan bangga kita menyebut hari kemenangan. Adakah yang pernah merenunginya?. Akan jadi masalah memang jika kita mempertanyakannya. Tapi tetap saya akan membedah dengan kacamata yang agak berlawanan, yaitu, tidak menyebut idul fitri dengan hari raya atau hari kemenangan.
1.      Idul fitri seharusnya di jadikan hari di mana kita merenung, introspeksi terhadap diri-sendiri. mencoba untuk lebih mengenal jatidiri kita selama ini, karena di sadari atau tidak kita sering melakukan tindakan khilaf. Khilaf artinya kita melakukan sesuatu di luar control kesadaran. Seringkali kesadaran kita tercerabut entah dalam keadaan emosi, bahagia, senang, marah, sedih, gembira, dan pada saat tertidur.
Dalam kondisi khilaf semacam itu kita bahkan lupa dengan apa yang pernah kita lakukan. Di sinilah celah dimana hawa nafsu gampang merasuk. Dalam psikoanalisa freud, alam sadar yang kita miliki ini sangat tipis, terlampau rapuh untuk menjaga ketidak sadaran yang cukup besar. Dia melanjutkan didalam ruang psikologi kita seperti gunung ES, puncak gunung yang sangat kecil kita ibaratkan sebagai superego (nurani) dan yang tenggelam kedasar air adalah id dan ego yang menyimpan banyak nafsu kesenangan yang di balut ketidak sadaran.
Maka ketika idul fitri tiba alangkah lebih baiknya jika kita merenung dan berintrospeksi terhadap kehidupan kita sendiri. kita harus tahu kenapa kita hidup di dunia, untuk apa kita hidup, dan karena apa kita hidup. Perkenalan terhadap diri samacam ini yang jarang kita lakukan. Sayidina Ali pernah berkata “barang siapa mengenal diri, maka dia akan mengenal tuhan”. karena jika kita mengumbar kesenangan dengan perayaan maka sebetulnya kekhilafan itu sedang menggelayuti hati kita. Dan kita sedang menjauh dari tuhan.
2.      Setelah introspeksi, sebaiknya kita melakukan retrospeksi, menata kehidupan kita selanjutnya. Melakukan hal-hal yang lebih baik dari sebelumnya, membuat perencanaan yang lebih matang. Kita menunaikan fitroh kita sebagai manusia, mengenali diri dengan berbagai macam potensi yang bisa kita kembangkan untuk kemanfaatan diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Setelah kita membuka kesadaran dengan introspeksi maka kita di tuntut peka kepada lingkungan kita. Kita di tuntut untuk berkontribusi dengan pikiran, jiwa, dan raga untuk kehidupan yang ada di sekitar kita. Kita tidak boleh menyia-nyiakan harta kita, jiwa kita, pikiran kita, dan tenaga kita untuk sesuatu yang sia-sia.
Karena sejatinya fitroh bukanlah kesucian yang di berikan secara “gratis” oleh tuhan kepada manusia. Di dalam fitroh mencakup banyak hal mengenai kemanusiaan. Manusia akan di anggap hidup jika dia menghidupi kehidupan, seperti pepatah dari kanjeng sunan kalijaga “urip iku urup”.
Betapa indahnya jika manusia berjabat tangan dan mengikrarkan janji kemanusiaan. Tak akan merugikan sesama manusia, tak akan membuat kemungkaran, dan berkontribusi dengan berinovasi demi kemajuan peradaban manusia. Setidak-tidaknya tenaga dan pikiran yang kita miliki kita abdikan untuk kemaslahatan di sekitar kita. Bukan berjabat tangan hanya dengan mengucapkan minal aidin wal faizin saja. Betapa keringnya kehidupan jika manusia hanya memikirkan diri sendiri.
3.      Ketidak pantasan melebeli idul fitri dengan hari raya atau kemenangan, karena identic dengan pesta pora. Melepaskan dahaga selama satu bulan berpuasa, seolah-olah kita terbebas dari belenggu yang selama satu bulan melarang makan, minum, dan berhubungan intim di siang hari. Seringkali kita mendengar pertanyaan, apakah kita rindu akan ramadhan…?? Kita jawab dengan hati kita. Jika kita rindu yang terasa pada saat idul fitri adalah kesedihan akan hilangnya ramadhan. Tapi jika kita berpesta pora dan merayakan kemenangan ini dengan kemegahan, maka itu bukanlah kerinduan.
Di alam kehidupan ini musuh kita adalah syetan yang dalam al-qur’an menyatakan bahwa dialah musush yang nyata. Namun kita tak pernah tahu seperti apa bentuk dan rupa syetan yang sering menggoda itu. Di dalam hadits nabi pernah bilang bahwa jihad yang paling besar adalah berperang melawan hawa nafsu sendiri. bisa jadi syetan yang menjadi musuh manusia bersemayam dalam sanubari kita sendiri, yang jika di terawang dengan perangkat psikoanalisa dia berupa id (syahwat kebinatangan) yang hanya berorientasi pemenuhan kesenangan. Dan jika idul fitri di rayakan dengan pesta maka yang muncul adalah id (syahwat kebinatangan). Jika kita kembalikan ke ajaran al-qur’an dan hadits, berarti kita gagal dalam berjihad, karena kita tak mampu menahan syetan dan syahwat yang ada dalam diri kita.
Saya tak berani mengatakan ini adalah kekeliruan. Karena memang benar bahwa idul fitri adalah hari kemenangan, tapi bukan kemenangan yang harus di rayakan dengan mengumbar kesenangan yang di liputi kemegahan. Kemenangan yang kita dapat berbeda dengan menangnya tim sepakbola dalam sebuah turnamen. Kemenangan ini berbeda dengan kompetisi yang saling menggugurkan lawan. Kemenangan ini bukan pula anugrah. Tapi kemenangan ini adalah tantangan bagi kita dalam menjalankan sisa hidup kita hingga ramadhan yang akan dating. Maka kemenangan ini harus kita rayakan dengan perenungan, introspeksi dan retrospeksi.

*)Penulis adalah Pengelola Penerbitan Gubug Saloka dan Aktif di Lentera Budaya Cakra Semarang TV