oleh: M. Husni Mushoniffin

Krisis, mungkin ini yang sedang mengancam stabilitas ekonomi bangsa kita. Gara-gara rupiah terus melemah terhadap dolar, banyak orang panik. Para buruh turun kejalan, berjejalan menyesaki pemandangan ibu kota, banyak komentar dari para pakar, rata-rata menyarankan pemerintah segera mengambil kebijakan untuk menstabilkan rupiah, entah dengan cara apapun tapi jangan ngajak IMF, bahaya jika lembaga “mafia” ini ikut campur dalam urusan rupiah, begitu kata intelektual yang sebelah kiri. Mahasiswa juga tidak ketinggalan, mereka ikut turun kejalan, walaupun hanya beberapa, saya juga sempat di telefon kolega dari ibukota untuk ikut turun, tapi kelihatannya itu terlalu berat buat saya.
Di negara tetangga (yang sering bikin kita gemes) terjadi revolusi kuning 4.0, entah apa maksud istilah itu. Di negara yang luasnya gak lebih daripada kota semarang dan hampir masuk wilayah NKRI tapi bekas kekuasaan tetangga yang bikin gemes itu, juga sama bergejolaknya, negara yang konon kondisi ekonominya paling stabil di kawasan ASEAN juga sedang was-was. Jelas semua itu adalah reaksi yang di sebabkan krisis ekonomi dunia yang di akibatkan perang kurs antara mata uang yuan (cina) dan mata uang dolar (AS).
Parah, memang parah, tapi saya tidak akan jauh-jauh membahas hal yang bukan bidang saya. Di sini saya ingin bicara sesuatu yang lain, yang jarang kita bicarakan yakni GOTONG-ROYONG. Kenapa kita harus bahas ini, apa hubungannya dengan yang saya bahas di atas?
Jangan di hubung-hubungkan, karena memang tak ada hubungannya. Di sini kita hanya akan membahas GOTONG ROYONG, apakah bisa di gathuk kan dengan masalah ekonomi atau tidak, kita lihat saja nanti.
. . . .
Untuk membahas ini kita hanya perlu membaca lagi artikel direktur eLKAP (Riadhotul Liana) dengan judul Rekontruksi mental gotong royong sebagai ruh pancasila, sudah cukup memberikan inspirasi dan tidak perlu menggunakan teori-teori yang melangit. Di kalimat pertama paragraf pertama jelas di tuliskan “Rame ing gawe, sepi ing pamrih. Begitulah pepatah Jawa mengatakan bahwa sudah seharusnya orang Indonesia memiliki karakter positif: “giat bekerja dan menolong tanpa pamrih”.

Apa kita mau bilang, bangsa kita akan di terjang krisis ekonomi lagi jika kita kehilangan filosofi gotong royong? Jawabannya, bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Tapi setidaknya kita bisa menghayati kalimat Rame ing Gawe, Giat bekerja. Bekerja tak kenal lelah, ini juga yang menjadi jargon kabinet jokowi kerja kerja kerja (tapi ndak dikerjain lo ya). Bekerja berarti mendayagunakan akal-pikiran serta jiwa-raga untuk sebuah tujuan tertentu. Melakukannya tanpa kenal lelah dan sungguh-sungguh, tidak boleh mengeluh.
Masalahnya, tanggal 2 september 2015 kemaren di ibukota para buruh turun jalan, bahkan buruh yang sedang bekerja dipabrik di sweeping dan di ajak turun jalan. Pastinya mereka mau di ajak turun jalan, selain lega bisa keluar pabrik lebih cepat, mereka bisa menuntut kenaikan upah lagi. Apa kita mau bilang juga mereka malas bekerja. Coba kalian pikir.
Pertanyaan lanjutan, demo menuntut upah naik itu kan bentuk keluhan, berarti para buruh suka mengeluh, bekerja tidak sungguh-sungguh. Ya kita mau bilang apa wong buruh juga udah kerja 8 jam sehari tapi kebutuhan bulanan juga masih belum cukup. Saran saya mending ambil lembur aja, tapi jangan sendiri-sendiri harus gotong-royong (bareng-bareng).
Jangan salah paham dengan konteks bekerja dalam kerangka gotong-royong, karena yang di maksud adalah bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan dan di nikmati bersama-sama pula.
Untuk mengantisipasi terjangan krisis ekonomi, seluruh elemen bangsa mulai dari presiden sampai tukang parkir di depan istana harus satu suara, jangan sampai ada perdebatan apalagi memanfaatkan keadaan. Sering saya melihat para politisi yang memanfaatkan kondisi ini sebagai senjata untuk menyerang pres-jok (presiden jokowi maksudnya). Kalo elit bangsa saling serang seperti ini, dimana ruh gotong royongnya? Kalo masih memanfaatkan buruh untuk turun jalan sebagai senjata politik, bagaimana juga gotong royongnya? . Terus terang saya bukan pendukung jokowi, waktu pemilu aja golput gara-gara kesiangan dateng ke TPS. Jadi mohon jangan fitnah saya sebagai pendukung jokowi.
mental individual nan hedonis sekarang sudah menjalar di antara relung otak para elit negara. Mereka hanya memikirkan diri-sendiri. Oke ini memang hanya tuduhan, tapi saya berani taruhan, pejabat mana yang rela mobilnya di jual untuk memperbaiki jalan rusak di sekitar tempat tinggalnya?
Sebagai ruh pancasila seharusnya gotong royong menjadi landasan utama untuk menyelesaikan segala persoalan bangsa. Gotong royong menghendaki pemimpin yang merakyat, rakyat yang dekat dengan pemimpinnya, dan para juragan yang perduli dengan kehidupan di sekitarnya. Kebersamaan dalam menghadapi sebuah persoalan bangsa adalah tonggak lahirnya prinsip gotong royong.
Jangan khawatir, dengan gotong royong, mahasiswa tidak di larang turun aksi, karena gotong royong tak mengajarkan fanatisme kepada pejabat, tapi juga tidak mengajarkan kebencian. Dengan gotong royong pula pejabat tidak di larang pakai mobil, karena gotong royong menghendaki sikap saling menghargai, tapi tidak untuk mobil hasil uang maling, ya kan… Para juragan juga di bolehkan untuk terus mengakumulasi modal dan alat-alat produksi, bahkan gotong royong mengajarkan kita untuk melakukan usaha-usaha yang menyejahterakan. Tapi dengan catatan, semuanya dalam kerangka kesamaan visi untuk membangun bangsa, bukan karena nafsu ingin menang sendiri.
. . . .
Gotong royong merupakan sikap mulia, agung, sarat dengan persamaan, persaudaraan dan ikatan batin antar setiap individu yang menerapkannya sebagai perilaku hidup dan semangat yang didalamnya terkandung semua nilai nilai Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia. Karena itulah gotong royong menghendaki sikap duduk bersama, bermusyawarah, ataupun berdialog untuk menemukan pemecahan persoalan, terutama ketika negara sedang di ancam krisis seperti saat ini.
Di alenia pertama paragraf kedua, di artikel direktur eLKAP tersebut di tuliskan “Sebagai ideologi bangsa, tentu Pancasila memiliki cita-cita luhur untuk mempersatukan sekaligus membangun karakter bangsa”. Gotong royong sebagai ruh pancasila tentunya menjadi ujung tombak kebudayaan bangsa. Kebudayaan yang berdasarkan azas kebersamaan dan kekeluargaan. Demokrasi yang di inginkan oleh founding fathers kita adalah terciptanya kesamaan kewajiban dan hak sebagai warga negara. Dalam dunia ekonomi kita mandiri, dalam hal politik kita berkarakter, dalam hal hukum keadilan menjadi gerda terdepan.
Gotong royong bukan hanya jargon kosong tanpa makna. Di dalam kata itu terkandung ajakan untuk membangun bangsa dengan kegigihan dan keringat rakyatnya sendiri.
Sikap konsumtif sebagian masyarakat kita memang pendorong terjadinya inflasi. Di tengah konsumsi yang begitu tinggi, ternyata bangsa kita sendiri tak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut. Ternyata kapasitas pekerja di dalam negeri tak memadai, selain jumlah buruh yang kurang, tingkat produktifitasnya juga sangat rendah. Ini yang mendorong pemerintah berniat mempekerjakan buruh asing yang mau di gaji murah tapi bekerja maksimal, sampai-sampai pemerintah memberikan kompensasi berupa tidak wajib bisa berbahasa indonesia. Kemungkinan hal ini terjadi setelah di berlakukannya MEA tahun depan.
Hal ini selain mengancam eksistensi buruh kita, boleh juga kita menyebut sebagai ancaman kebudayaan. Bagaimana tidak, orang-orang asing itu di ijinkan bekerja di indonesia tanpa di wajibkan menguasai bahasa indonesia. Mungkin ini protes yang prematur, tapi jika terlalu banyak orang asing yang ada di indonesia tanpa menggunakan bahasa indonesia nantinya akan berpengaruh terhadap bahasa kebanggaan kita ini. Seperti yang di nyatakan jaques lacan, bahasa adalah cermin kepribadian. Dan bahasa Indonesia adalah simbol kepribadian dan jatidiri kita sebagai bangsa indonesia. Dan ketika para pekerja asing datang, bagaimana jadinya…?? (maaf protes ini masih prematur)
Saya tidak tahu dimana muaranya jika kita terus-terusan membicarakan tentang buruh dan ekonomi. Tapi satu hal, samakin meningkat sikap konsumtif masyarakat semakin hilang pula gotong-royongnya. Dan ketika gotong royong hilang sama sekali nantinya, hancur sudah budaya bangsa kita.
. . . .
Kebetulan penulis menggemari film ip man yang mengisahkan sepak terjang pendekar kungfu wing chun yaitu tuan Yip (yang konon guru mendiang bruce lee), ini kisah nyata lho, menurut si pembuat cerita.
Dari artikel karya Edward S. kennedy (tokoh antah-berantah yang gak jelas pemikirannya) yang saya baca di mojok.co Wing Chun diciptakan oleh seorang pendeta wanita bernama Ng Mui (nama yang sungguh tak enak untuk diucapkan). Konon, teknik tersebut tercipta setelah pada suatu hari Ng melihat pertarungan antara ular dan burung bangau. Setelah mempelajari pertarungan tersebut, Ng lantas menggabungkannya dengan kungfu Shaolin miliknya. Dan jadilah Wing Chun ala Chef Ng (makin ndak enak dibaca). Kisah ini boleh di ragukan, karena setahu saya, tidak ada pendeta wanita.
Wing chun adalah seni bela diri yang fokus pada pertahanan dan kelenturan tubuh. Wing Chun dianggap sebagai salah satu bela diri yang cukup mudah dipelajari, sebab dalam praktiknya, ia “hanya” mengandalkan refleks dengan pemusatan kekuatan pada kedua siku. Pada dasarnya, Wing Chun bukanlah bela diri untuk menyerang, tetapi justru untuk memanfaatkan serangan lawan dengan cara yang sangat elegan. Jangka waktu untuk mempelajari Wing Chunpun tak terlalu lama. Biasanya, cukup dalam tiga atau empat bulan, orang sudah dapat mempelajari teknik Wing Chun dengan sempurna, begitu kata yang punya jurus.
. . . .
Dari perspektif refleks yang menjadi kekuatan Wing Chun, sejatinya kita bisa melihat bagaimana peranan Gotong Royong sebagai garda pertahanan budaya bangsa. Dalam permainan sepak bola, Gotong Royong bisa di umpamakan sebagai libero penghadang striker-striker lawan yang siap membobol gawang jatidiri bangsa kita, tapi dengan cara yang lentur, mampu membaca arah gerak lawan dan tidak panik. Wing chun menghendaki kesabaran dan ketelitian, serta kecerdikan dalam melihat situasi, bahkan pendekar wing chun di tuntut paham medan pertarungan sebelum turun gelanggang.
Sebagai bangsa yang turut berperan membangun peradaban dunia tentu kita tidak bisa menolak globalisasi, tapi kita juga harus mempunyai karakter. Ini yang di maksud Gus Dur sebagai Kosmopolit (persis seperti nama buletin eLKAP, dan kebetulan nama rayon kita adalah tokoh pemikirnya), artinya kita siap menerima keragaman, perbedaan, bahkan perdebatan, tapi kita jangan sampai kehilangan karakter asli yang kita miliki. Kita jangan sampai lebur kepada budaya asing, seandainya setelah MEA di berlakukan banyak pekerja asing yang datang.
Bukan Metropolit yang secara ugal-ugalan menerima perbedaan tapi kehilangan jatidirinya.
Dalam menyelesaikan persoalan bangsa, sekali lagi, Gotong royong adalah senjatanya. Tidak boleh berdiri sendiri apalagi bermain-main di tengah masalah yang mengancam (biasanya yang kerjaannya kaya begini itu politisi).
Maaf sahabat, sebagai penggemar Jose Mourinho saya lebih suka menempatkan Gotong Royong di garda pertahanan. Walaupun Mourinho tidak selalu bertahan dalam menjalankan taktiknya, namun beliau selalu bisa memanfaatkan serangan lawan dan meraih kemenangan. Dan Gotong Royong tidak bisa di gunakan secara brutal untuk menangkis datangnya budaya asing, tapi harus di gunakan secara elegan agar kita tetap di kenal sebagai bangsa yang ramah namun tetap berkarakter. Dan bukan bangsa yang gampang panik ketika di timpa krisis.
Dan kalian, jangan coba-coba menulis artikel Gotong Royong dengan mengambil filosofi permainan Jose Mourinho, karena ini sudah jadi hak paten saya (hanya klaim), dan sekali lagi, gak perlu repot-repot membaca teori-teori babon, cukup baca artikel Direktur eLKAP saja (kita nantikan karya belio selanjutnya).


Wassalam….

*) Penulis adalah Pengurus Cabang PMII Kota Semarang