oleh : M. Risha Islami, S.Pd
(Aktifis Mercy Crop Indonesia)


Maaf pak Menteri saya terpaksa menggunakan kata yang urakan ini sebagai judul, untuk memastikan bahwa saya masih sipil dan kebebasan berpendapat masih lestari. Dan semoga setelah menulis ini saya tidak diculik dan hilang. Kecuali pak Menteri mau rugi.
Pertama, saya suka makan dan akan menguras biaya pelatihan Bela Negara. Kedua, tulisan ini toh paling hanya dibaca sekumpulan jomblo yang sedang cari refrensi agar dapat ikut pelatihan Bela Negara setelah frustasi bela-belain gebetan yang terlanjur diembat sahabat sendiri.
Jadi begini pak Menteri yang heroik namun tidak saya dukung,
Ketika bapak mengumumkan program Bela Negara sebagai program konkrit revolusi mental pak Presiden. Saya jadi terpikir. Pak Menteri pandai bermain bahasa ya, sebagaimana bahasa biasa dipermainkan dengan semena-mena sewaktu Orde Baru masih menggagahi republik ini.
Ketika era Orde Baru berkuasa, diksi ‘buruh’ kan dibatasi penggunaannya dan kerap diganti dengan diksi ‘karyawan’. Alasannya? Apalagi kalau bukan diksi ‘buruh’ lebih dekat dengan aktivis-kiri dan kerap dipergunakan untuk berhadapan dengan diksi ‘tuan tanah’ atau ‘tuan kapitalis’.
Bandingkan dengan diksi ‘karyawan’ yang terlihat anggun dan tiada mengandung pertentangan kelas. Orde Baru tentu lebih suka diksi ‘karyawan’ sebab lebih mendukung stabilas pembangunan. Jadi pemilihan diksi saja begitu penting waktu itu karena dapat mempengaruhi bagaimana sesuatu itu terlihat.
Penggunaan diksi ini juga berlaku sebagaimana Orde Baru lebih memilih diksi ‘masyarakat’ dibanding diksi ‘rakyat’ dalam setiap pidato resmi kenegaraan. Bandingkan dengan Soekarno yang di setiap pidatonya tidak pernah melupakan kata ‘rakyat’. Kalaupun Orde baru menggunakan diksi ‘rakyat’ itupun dengan nada datar. Tujuaan Orde Baru ini masih sama yaitu pemilihan diksi sebagai upaya stabilitas pembangunan.
Misal lainnya adalah penggunaan diksi ‘amankan!’ yang dipakai Jendral jagal besar Soeharto dalam mengatasi aktivis dan kritikusnya. Maksud diksi ini tentu bukan Soeharto sedang meminta bawahannya agar mengamankan aktivis atau kritikus agar aman. Yang terjadi adalah pembungkaman baik melalui intimidasi, peculikan, penghilangan, atau eksekusi.
Tentu diksi ‘amankan!’ di era reformasi ini sudah mengalami perbedaan makna dibanding era Orde Baru. Diksi ‘amankan!’ sudah tak memiliki makna tindakan represif dari aparat, walau masih mungkin saja terjadi dan masih terjadi. Namun setiap kali saya mengikuti demonstrasi dan ketika aparat mengatakan kata ‘amankan!’. Yang saya temui pelaksanaan dilapangan adalah agar demonstrasi tidak rusuh atau mengganggu kelancaran jalan raya.
Masih banyak contoh lain bagaimana kuasa bahasa dapat digunakan untuk membungkus satu maksud tertentu dan penolakannya dianggap subversif. Dan baru-baru ini pak Menteri sedang menggunakan kuasa bahasa tersebut. Pada tanggal 12 Oktober, pak Menteri sudah menegaskan; “Yang tidak suka bela negara, silahkan angkat kaki dari RI”.
Karena pak Menetri menggunakan diksi ‘Bela Negara’ maka serta merta ini menyangkut rasa nasionalisme. Sebab rakyat lahir, besar, menjomblo atau menikah di republik ini. Rakyat atau elit yang menolak serasa kurang nasionalis atau kurang cinta tanah air. Dan dengan tergopoh-gopoh, partai Islam seperti PPP segera menyatakan akan mengirim 1000 kadernya disetiap daerah agar dapat mengikuti pelatihan Bela Negara. Ruaarr byassaa…
Pak Menteri selangkah lebih maju dalam memenangkan hati rakyat Indonesia tentang imaji cinta tanah air. Berbeda dengan era pemerintahan SBY yang menggunakan istilah Komponen Cadangan (Komcad) yang tidak populer dan berbau militerisme itu. Pak Menteri berhasil menghidupkan diksi yang elegan, walau argumentasi yang diajukan terkesan tidak mutu, seperti bapak katakan lewat Dirjen “Kondisi kebangsaan yang menurun, konflik antar pemuda hingga penyalahgunaan narkoba.”
Pak Menteri pikir bahwa setiap persoalan bangsa seperti kondisi kebangsaan yang menurun, konflik antar pemuda, dan penyalahgunaan narkoba adalah akibat dari rakyat yang kurang bela negara sehingga perlu didisiplinkan, dilatih dan diajari baris berbaris yang halalan toyyiban ya pak?
Sungguh pemikiran yang hebat nan bijaksana. Bapak Mentri lupa bahwa bentrokan bukan antar anak SMK saja pak. Coba tonton di tipi bahwa banyak anggota TNI yang bentrok dengan Brimob, atau masalah penyalahgunaan Narkoba oleh tentara. Oh iya, hanya oknum ya pak?! Lha tahu gitu kog masih berpikir bahwa militer adalah sejenis makhluk yang paling efektif, patriotis dan segala-bisa.
Kemudian saya jadi kepikiran. Jangan-jangan program Bela Negara hanya upaya manipulasi militer agar dapat kembali ke tengah masyarakat. Sedangkan proyek reformasi adalah demiliterasi setelah 32 tahun dikungkung militer. Atau jangan-jangan militer sudah bosan tinggal di barak ya pak? Pengen kembali dwi fungsi secara perlahan. Ditengah saudara kandungnya, polisi, rekeningnya tambah gendut. Sedangkan militer masih tirakat sejak reformasi bergulir.
Bapak boleh berargumen bahwa Bela Negara bukan wajib militer, tapi ingat lho pak. Program ini dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan dan bukan oleh Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Bapak masih jendral kan? Lha kog mbulet gitu.
Ini bikin saya teringat saja meme di truk-truk yang menampilkan Soeharto dan tangan melambai sambil dibubuhi tulisan Penak Jamanku to le?. Sewaktu melihat meme ini saya rasanya sebel namun tidak nemu jawaban yang pas. Sampai ketika saya nemu jawaban yang saya rasa pas. Enak jamanmu. ndasmu jebluk, mbah!. Mantebb!! Saya jadi kepikir ingin gunakan kalimat ini untuk bapak.
Jadi saya usulkan pak Menteri untuk membatalkan saja program Bela Negara yang terlanjur dibuka tanggal 20 Oktober kemarin. Lha pak Presiden saja tidak jadi datang. Kalo bapak Menteri tetep bersikukuh sampe repot-repot memiliterkan 100 juta sipil. Jangan kaget lho kalau akan lahir hestek: ‪#BelaNegaraNdasmu! Sebagai perlawan sipil.