Oleh : M. Risya Islami, S.Pd.

Apa yang terpikir di kepala anda jika saya menyebut seorang intelektual? Tidak susah menebak jawaban anda, sebab ini adalah istilah yang umum anda temui dan alami. Baik yang masih jomblo atau rindu menjomblo, biasanya menjawab: orang terdidik atau seorang pemikir. Kalau anda sedikit konservatif, jawaban terbaik anda adalah: seorang sarjana.
Memang demikian, dalam KBBI, Intelektual diterangkan sebagai: (1) cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan; (2) (yang) mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan; (3) totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman.
Dari pengertian ini, seorang intelektual dicirikan sebagai sosok yang cerdas, berakal, memiliki kesadaran, mampu berpikir jernih dan terutama berdasarkan ilmu pengetahuan. Sosok dengan ciri-ciri semacam ini, seperti diyakini mamah-mamah cantik, biasanya lahir dari perguruan tinggi. Seorang yang dengan gigih ketika menyelesaikan skripsi atau tesis lebih banyak makan Indomie dibandingkan makan nasi.
Sarjana yang intelektuil ini, karena perjuangannya menyelesaikan studi dengan berdarah-darah, kemudian sering menegaskan status intelektualitasnya melalui gelar yang berjejer dibelakang nama. Jika William Shakespeare dalam satu adegan roman-tragedik, Romeo dan Juliet, pernah bertanya; What’s in a name? (apalah arti sebuah nama?). Ia pastinya bukanlah seorang intelektual, begitu dehem pak Rektor.
Karena nama, apalagi dengan gelar berjejer, adalah penanda bahwa anda adalah menantu idaman, dan karenanya harus dicetak di undangan pernikahan dengas huruf kapital dan tebal.
Lalu apa hubungannya intelektual dengan celana kain? Dan kenapa saya menulis judul di atas?
MasyaAlloh, berani-beraninya mas ini. Meletakkan istilah celana kain setelah istilah intelektual yang terhormat. Sungguh terlalu. Anda harus bersyahadat ulang, mas. Anda harus di ruqyah karena kerasukan jin. Segeralah bertobat! sebelum dikutuk jadi jambu monyet. Astaghfirullah. Eling!”. Anda boleh menggugat saya demikian kok.
Tapi tenang dulu. Saya tidak berniat kurang ajar hanya dengan menulis judul ini. Karena kritik bagi seorang intelektual sudah lumrah terjadi lho! Semisal; Intelektual tukang, untuk merujuk akademisi yang melayani kepentingan birokrat saja, atau Intelektual dalam menara gading, sebagai ejekan bagi akademisi yang gemar berteori merujuk refrensi ini itu, rajin seminar dan workshop, namun tidak pernah terlibat dalam persoalan riil masyarakat.
Jadi istilah ‘intelektual celana kain’ di sini saya pakai sebagai gambaran ketidakpahaman saya, terutama di fakultas FITK UIN Walisongo, yang sebagian dosennya mewajibkan mahasiswa memakai celana kain setiap mengikuti perkuliahan. “bercelana kain adalah koentji!” begitu bahasa patriotiknya.
Apalagi aturan ini dipertegas melalui tindakan yang represif, yaitu mahasiswa yang tidak memakai celana kain diminta, untuk tidak mengatakan ‘diusir’, keluar dari ruang kelas. Bagaimana hak mahasiswa tadi untuk belajar? ya ditunda dulu sampai bercelana kain. (guna melindungi otak yang beralih ke dengkul barangkali, duh…)
Bagus kan mahasiswa pakai celana kain? Terlihat rapi dan terdidik. Gitu aja kok repot.
Dalam level tertentu saya sependapat dengan pandangan ini. Kerapian dan kesopanan dalam berpakaian memang penting bagi calon pendidik. Terutama kalau ia lulusan UINsyaAllah Universitas Islam Negeri, yang sejak dalam pikiran telah dituntut berakhlukul karimah apalagi dalam perbuatan.
Namun jika kita teliti, Pak Rektor memahami aturan berpakaian ini secara berbeda. Dalam buku terbarunya, Menuju UIN Walisongo; sebuah gagasan dan mimpi panjang (2015), pak Rektor menulis: “Dalam hal berpakaian misalnya, kita harus peduli bahwa jangan sampai ada mahasiswa yang mengikuti kuliah dengan hanya menggunakan kaos oblong, memakai sandal atau malas dalam mengikuti kuliah”
Pak Rektor tidak menyebut sama sekali tentang celana kain dalam aturan berpakaian mahasiswa diatas. Walau kemudian klaim ini bisa anda perdebatkan. Karena toh anda masih bisa berdalih bahwa pemakaian celana kain dalam perkuliahan adalah hasil kontrak belajar antara dosen dan mahasiswa.
Baiklah saya tidak akan masuk ke perdebatan kontrak belajar yang sejatinya kerap sepihak itu. Saya mah siapa atuh.
Namun kalo boleh menyayangkan sesuatu. Saya kepengen menyayangkan perkembangan kampus saja, yang sejak peralihan dari IAIN ke UIN. Kalaupun ada perubahan, hanya menyasar kepada persoalan-persoalan yang sifatnya permukaan saja, seperti aturan berpakaian khususnya soal celana kain, perangko HSS, pembangunan gedung baru, jam malam dan sebagainya.
Alih-alih menyasar ke persoalan yang substantif semisal peningkatan kualitas dosen, kualitas belajar-mengajar, membangun kampus beriklim ilmiah, membangun suasana dialektis antara mahasiswa dan dosen. Toh kalaupun ada, saya pikir masih sebatas retorika atau sekedar tulisan dalam buku panduan mahasiswa baru saja.
Program yang dikeluarkan kampus, malahan paling banter adalah plesiran dosen ke luar negeri. Kenapa saya menyebut plesiran? karena saya sebagai awam lebih gampang menemui foto selfie atau groufie mereka dibanding hasil studi bandingnya di internet.
Astaghfirullah....su’ul adab kamu, ris!
Padahal jika kita mengacu pendapat K. Bertens (2011), persoalan demikian seperti celana kain, jam malam dan sebagainya itu hanyalah persoalan etiket (sopan santun) saja dan bukan persoalan etika (moral). Sehingga tidak begitu mendesak.
Karena ketika mahasiswa bekerja kelak, baik sebagai guru atau profesional, dengan sendirinya ia akan mudah menyesuaikan diri dengan ketentuan lingkungan kerjanya.
Bayangkan jika ia sejak mahasiswa tidak pernah diajarkan tentang kepekaan, pembelaan terhadap masyarakat lemah, kritik atas kekuasaan. Kampus hanya akan melanggengkan sarjana mekanis-administratif yang semboyannya adalah ABS (asal bapak senang) yang praktiknya sudah terlanjur merebak di negeri ini.
Jika demikian, masih perlukah aturan memakai celana kain diberlakukan sebegitu ngotot? Silahkan dipikirkan ulang, pak, bu!. Apalagi jika dibumbui ‘celain kain yang cingkrang’. Duh dek…
*******

Nb: Astaghfirullah! saya kok berani-beraninya mengutip pendapat orang kafir, K. Bertens, ya. Jika tulisan ini adalah naskah skripsi sudah dicorat-coret lho oleh beliyo yang kalau namanya diterjemahkan berarti ‘sang pembimbing’ itu. mahasiswa PAI Paham kan? Huahaha :