“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan”  - Tan Malaka

Sistem pendidikan dewasa ini telah memerangkap peserta didik dalam tekanan yang hanya fokus pada pelajaran. Banyak kebijakan pendidikan nasional yang tidak memperhatikan peserta didik sebagai mahluk sosial. Kelas akselerasi, kelas standar internasional, kelas excellent dan berbagai istilah lainnya membuat peserta didik terasa terkekang oleh sistem pendidikan. Program-program sekolah unggulan dengan memakai konsep sekolah terintegrasi, dengan waktu yang padat telah merampas waktu anak-anak untuk sekedar bersantai, bermain, dan memperluas pergaulan mereka. Sehingga mereka tidak memilki kecerdasan sosial dan menjadi sosok individualis.
Dalam konsep pendidikan Tan Malaka, aspek tanggung jawab sosial mendapat perhatian penting. Kekhawatiran akan anggapan bahwa kaum intelektual adalah kasta tersendiri telah diantisipasi oleh Tan Malaka. Kaum intelektual masih banyak terpenjara di kampus dalam idealisme dan teori-teori. Kehidupan kaum intelektual yang seakan bertembok dengan rakyat tersebut masih tetap terasa walaupun sebenarnya perguruan tinggi memiliki prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi sebagai wadah kaum intelektual belum bisa diandalkan sebagai agen perubahan . Ketika secara individu mereka masih berpikir bahwa kelas mereka lebih tinggi daripada masyarakat banyak yang bergelut dengan kerasnya kehidupan sekedar mempertahankan hidup.
Selain kekhawatiran akan individualis kaum intelektual tersebut, Tan Malaka juga khawatir terhadap sistem pendidikan di sekolah partikulier atau Hollandsch Inlandsche School (HIS) Gouvernment yang hanya akan menjadikan pribumi sebagai buruh. Maka dari itu, menghapuskan pembelajaran berbau feodalis merupakan langkah revolusioner Tan Malaka untuk memutus keterbelakangan dan mental kuli bagi pribumi. Jika masa penjajahan mendidik pribumi hanya didasarkan kepentingan imperialis sendiri, dalam artian setelah menyelesaikan pendidikan mereka dipekerjakan sebagai pegawai rendahan saja. Tan Malaka ingin pendidikan semestinya mendahulukan kearifan lokal, agar masyarakat memperoleh bekal bagi penghidupannya. Oleh karena itu, pendidikan kejuruan seperti: pertanian, perdagangan, teknik, dan administrasi harus dibenahi kualitasnya.
Landasan pemikiran Tan Malaka sendiri, banyak diwarnai oleh berbagai pemikirian filsafat barat seperti marxisme, dialektika dan logika tercermin dalam gagasan pemikiran Tan Malaka tentang dunia pendidikan yang semestinya bagi bangsa Indonesia.  Dalam memaknai pendidikan melalui konsepsi yang pernah dituturkan Tan Malaka dalam tulisan Sarekat Islam (SI) Semarang dan Onderwijs. Ia beranggapan bahwa pendidikan harus terdapat tiga hal penting:
Pertama, yaitu memberi senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, dan Melayu). Dalam bahasa yang lebih sederhana pendidikan harus mampu menciptakan seorang manusia yang mempunyai kemampuan yang sesuai dengan bidang keilmuannya. Profesional serta terampil dalam bidang keilmuan yang digeluti, baik dalam ilmu eksak maupun non eksak. Sehingga, pendidikan akan mampu memberikan bekal pada seorang peserta didik sebagai senjata untuk hidup.
Kedua, Memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (verenniging). Dalam pengertian ini yang dimaksud Tan Malaka adalah memberikan kebebasan bagi peserta didik agar berkembang sesuai dengan potensi dan bakat yang dimilikinya, melalui perkumpulan-perkumpulan yang sesuai dengan bakat dan minatnya.
Ketiga, menunjukkan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta kaum kromo. Pendidikan dalam pengertian Tan Malaka, tidak hanya sekedar untuk mendapatkan pengetahuan dan kepandaian otak saja. Melainkan, pendidikan harus mampu memberikan bekal pada peserta didik untuk melakukan pengabdian terhadap masyarakat.
Pendidikan praksis Tan Malaka tersebut diwujudkannya di sekolah Sarekat  Islam (SI). Sekolah SI berprinsip bahwa hawa (geest) harus lebih sehat dan memiliki karakter ketimuran yang membedakan dengan sekolah Eropa. Anak-anak didik dituntut keras untuk mencari kepandaian membaca, menulis dan berhitung sebagai modal penghidupan. Konsep pendidikan Tan Malaka ini sangat sederhana dalam konteks kekinian, tetapi  tentu merupakan hal luar biasa pada masa Tan Malaka merintis sekolah SI.
Dalam mewujudkan konsep pendidikannya tersebut, Tan Malaka kemudian merumuskan beberapa gagasan pedagogi bagi kaum pribumi diantaranya adalah Jembatan Keledai. Jembatan keledai (ezelbruggeetje) adalah sebuah konsep mengingat isi buku yang meringkas sebuah pemahaman akan buku dengan singkatan, tanpa harus menghafal. Jembatan Keledai diciptakan dan diterapkan Tan Malaka, setelah dia merasa kesulitan akan ketergantungannya kepada berpeti-peti buku yang harus terus dibawanya dalam pelarian, maka kata kuncinya adalah, harus menguasai buku-buku yang dibaca, selanjutnya tak menjadi masalah ketika buku tersebut hilang.
Pada perkembangannya Tan Malaka mengatakan bahwa konsep menghafal tak menambah kecerdasan, malah membodohkan dan memiskinkan yang membuat orang menjadi mekanis. Menghafal bukan memberikan pemahaman terhadap sebuah materi, tetetapi hanya mengingat bunyi dan halaman dimana kalimat tersebut tertulis.
Demikian pula halnya dengan bidang psikologi anak. Dalam mengajar, Tan Malaka sangat memperhatikan kondisi psikis anak didiknya. Tan Malaka sangat menyadari perlunya pendekatan psikologis terhadap anak-anak. Pada saat itu Tan Malaka tak hanya melakukan pendekatan terhadap peserta didik tetetapi juga melakukan pendekatan kepada orang tua murid. Untuk menjalankan idenya tersebut, Tan Malaka mengajak beberapa kuli dan pegawai untuk membicarakan pendidikan anak-anak kuli.
Anak-anak diberikan kesempatan menyampaikan pemikiran mereka dengan menyelenggarakan kongres antara berbagai sekolah dan dengan sistem bertukar sehingga dapat memberi contoh yang baik dan menjalin kerjasama dan perkenalan antar anak di sekolah. Guna menjalankan gagasan tersebut haruslah anak-anak sendiri yang menyelenggarakanya dan dipimpin oleh mereka sendiri. Kepemimpinan dan mandiri sangat diinginkan oleh Tan Malaka kepada anak muridnya. Dalam brosur Sarekat Islam dan Onderwijs, Tan Malaka dengan gamblang menjelaskan bahwa pendidikan harus memperhatikan kondisi kejiwaan mereka. Pendidikan tak baik diberi terus menerus kepada murid tanpa ada waktu luang bagi mereka untuk bermain. Dengan bergaul, anak-anak bisa saling mengenal, membaur, serta bermain bersama, sehingga pendidikan bukanlah menciptakan manusia individualis.
Dari situ dapat disimpulkan bahwa, Tan Malaka yang memang menyelami ilmu pendidikan sadar betul bahwa anak-anak didik tak boleh tercerabut dalam masa yang seharusnya mereka alami, yaitu kesukaan bergaul sebagai anak-anak. Setidaknya terdapat tiga prinsip pendidikan yang dipegang, yakni pendidikan sebagai bekal hidup, pendidikan sebagai pergaulan hidup, dan pengabdian kepada rakyat.

M. Fakhrur Riza (@rieza_26)
(Anggota Div. Penerbitan LKaP PMII Abdurrahman Wahid)