Dalam tenggang waktu akhir-akhir ini sensitivitas dari
konflik agama memang kembali mulai muncul, ataupun bisa dikatakan sengaja
dimunculkan kembali ke permukaan seiring dengan momentum yang ada. Teringat
pada Elizabeth K. Nothingham, saya pun merasa mulai perlu mengamini satu statement
yang pernah diungkapnya, bahwa agama memang selalu cenderung mempunyai potensi ganda:
a) Potensi pemersatu b) Potensi pemecah belah.
Menyoroti kasus terkini terkait aksi teror terhadap
pemeluk agama lain yang tanpa sedikitpun menyisakan tedeng aling-aling kelogisan terhadap sesama, boleh jadi dikatakan tidak
mencerminkan representasi tindakan dari umat beragama. Potensi-potensi diawal yang
sebenarnya dirasa dapat memicu konflik agama sebetulnya sangat riskan untuk
dibesar-besarkan. Sebab, sudah barang tentu dampak dari percik api yang disulut
dalam tumpukan sekam dipercaya pasti akan mengobarkan bara api yang lebih besar
dan mungkin juga membahayakan.
Jika
kita boleh lebih jeli lagi, berbicara ketegangan sosial agama yang terjadi,
jelas tidak bisa dilepaskan dari bagaimana peran serta tanggung jawab
pemeluk-pemeluknya dalam menciptakan suatu kondisi
ke-beragama-an dalam keragaman yang sejuk. Lantas
sekarang, dimana letak peran sebenarnya dari mereka tersebut? Terutama bagi mereka
para mayoritas, pada khususnya lebih patut untuk dipertanyakan.
Bagi mayoritas, bukankah akan lebih santun dan
bijaksana jika mereka (mau) meneladani konsep dari Juru selamat mereka,
Rasulullah Muhammad SAW dalam hal Beragama dan Bernegara? Sebagaimana pernah
tercantum pada Piagam madinah yang telah beliau gagas lebih dari 1400 tahun
yang lalu. Bila saja mau mencermati, butir-butir isi dari Piagam Madinah sebenarnya
merupakan dokumen yang sangat strategis dalam membangun suatu komitmen
Agama-Bangsa. Dimana kala itu, dalam bersyi'ar Rasulullah SAW pun tetap merasa
perlu adanya (suatu) jaminan keamanan dan kedamaian yang bisa dinikmati oleh
seluruh anggota masyarakat Madinah sebab kemajemukan masyarakatnya.
Bermula dari sinilah kemudian dirumuskan sebuah naskah
yang dikenal dengan "Piagam Madinah". Pesan bijaknya, tentu dapat
kita ambil hikmah terkait hal tersebut guna menggagas perdamaian yang
akhir-akhir ini kian dibutuhkan, atau setidaknya menjadi sumber inspirasi dalam
mewujudkan kehidupan harmoni.
Sebagai langkah taktis, maka ide Ukhuwwah Wathaniyyah
(persaudaraan sesama bangsa) yang termasuk dalam bagian konsep Tri Ukhuwwah
yang pernah digagas ini menjadi amat penting ditanamkan dan dibudayakan di bumi
Indonesia. Tri Ukhuwwah adalah tiga konsep persaudaraan sebagai upaya
memposisikan diri kita sebagai seorang muslim, sebagai warga negara, dan
sebagai sesama manusia (read); Ukhuwwah Islamiyyah, Ukhuwwah Wathaniyyah, dan
Ukhuwwah Basyariyyah. Karena ikut andil dalam membangun Ukhuwwah Wathaniyyah,
berarti sama halnya kita membangun komitmen kebangsaan sekaligus membangun
peradaban bangsa yang lebih toleran.
Oleh: Faul Ahada
0 Komentar