Kemerdekaan Dalam Sangkar
Oleh Rian Adhivira
Prabowo[i]
“Tetapi Bung Toke jangan lupa, bahwa sang gelatik selalu diintai musuhnya”
– Si Pacul
Sebelum Soekarno diculik oleh Wikana dan kawan-kawan, sebelum teks
proklamasi dituliskan dan dibacakan di Pegangsaan Timur, jauh hari seorang Tan
Malaka telah memperkenalkan ide mengenai Indonesia yang merdeka. Terlepas dari
tuduhan menjadi seorang Trotskyst yang mengkhianati semangat revolusi melalui
perlawanan fisik yang diinisiasi oleh PKI di tanah air dan dengan sinis
mengatakan bahwa bila mengikuti Tan, Indonesia tak akan pernah merdeka, Tan
adalah seorang yang ide dan gagasanya tetap harus diperhitungkan. Pemikiranya
yang mandiri serta orisinil, dan keberanianya untuk bertindak berbeda –bahkan
dari kebijakan partai sekalipun-, serta konsistensi pemikiranya, membuat Tan
menjadi seorang yang merdeka, sekaligus barangkali penyendiri. Perseteruanya
dengan PKI yang akhirnya berujung pada pembentukan PARI dan Murba, maupun pidatonya
mengenai Pan-Islamisme[ii]
dalam rapat komintern di Moskow membuatnya dijauhi baik kawan maupun lawan, dan
itu pula yang membuatnya selamanya menjadi pelarian, sebelum akhirnya ditembak
mati oleh tentara republik. Lebih buruknya lagi, dia dibunuh untuk kedua
kalinya secara bodoh melalui pembubaran diskusi yang sempat terjadi beberapa
waktu tahun belakangan, Tan, yang memikirkan tentang kemerdekaan untuk sebuah
bangsa yang dijajah setelah sekian lama itu, seperti terlahir hanya untuk
dibunuhi dan dilupakan. Tetapi, benarkah demikian?
Dari sini, sebelum melihat pada
tulisanya mengenai Indonesia 100%, ada baiknya melihat terlebih dahulu gambaran
kemerdekaan Tan dan persepsinya akan hal tersebut pada tahun-tahun
sebelumnya. Ucapanya yang diarahkan pada
Musso atas aksi 1948 mencerminkan hal itu, “membuat
putch di negeri seperti Indonesia (terutama di Jawa), di tempat kapita
dipusatkan dengan rapi dan dilindungi miiliter serta mata-nata
modern-sebaliknya, rakyat masih mempercayai yang ghaib, takhayul dan dongeng-
samalah artinya dengan bermain api tangan sendiri yang hangus’’[iii]
menunjukan konsistensi akan ide yang dibawanya sedari awal: bahwa revolusi
haruslah berasal dari kondisi tak terelakkan yang muncul dari gerak sejarah
yang tak lain adalah dari pertentangan kelas.[iv] Sebelumnya,
dalam pertemuanya dengan Alimin di Singapura, Tan Malaka menyatakan
ketidaksetujuanya mengenai akan diadakanya aksi 1926 [v]yang
kemudian dikenal sebagai awal dari perselisihan antara keduanya.
Dari sini, revolusi, bisa dan hanya bisa muncul ketika sudah ada prakondisi-prakondisi
yang sudah terlebih dahulu ada. Dalam Aksi Massa, Tan memperkirakan, seperti
apakah kiranya revolusi yang akan dipunyai oleh Indonesia dimana menurutnya,
pertama-tama yang terpenting adalah bagaimana dan metode macam apa yang memadai
untuk membacai prakondisi yang muncul, yang tanpanya, kemenangan revolusi hanya
akan jadi kemenangan yang sifatnya sementara saja. Dalam hal ini, berulang-kali
Tan mengatakan bahwa Indonesia pada saat itu, dengan segala logika mistik dan
ketiadaan kesadaran kelas, belumlah memiliki prakondisi yang memadai.
“tetapi kamu orang Indonesia yang 55,000,000 tak akan
mungkin merdeka selama kamu belum menghapuskan segala “kotoran kesaktian” itu
dari kepalamu, selama kamu masih memuja kebudayaan kuno yang penuh dengan
kepasifan, membatu, dan selama kamu bersemangat budak belia. Tenaga ekonomi dan
sosial yang ada pada waktu ini, harus kamu persatukan untuk menentang
imperialisme barat yang sedang terpecah-pecah itu, dengan semangat
revolusioner-proletaris, yaity dialektis materialisme. Kamu tak boleh kalah
oleh orang Barat dalam hal pemikiran, penyelidikan, kejujuran, kegembiraan,
kerelaan, dalam segala rupa pengorbanan. Juga kamu tidak boleh dikalahkan
mereka dalam perjuangan sosial. Akuilah dengan tulus, bahwa kamu sanggup dan
mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru orang barat,
melainkan serang murid dari timur yang cerdas, suka mengikuti kemauan alam dan
seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat [...] Sebelum Bangsa
Indonesa mengerti [...[ janganlah menjatuhkan diri dalam kesesatan dengan
mengira bahwa kebudayaan timur yang dulu atau sekarang lebih tinggi dari
kebudayaan barat sekarang”[vi]
Perihal tersebut tidak hanya sekedar diucapkanya saja, namun berangkat dari
peristiwa hidup yang dialaminya sendiri. Dalam bagian awal Dari Penjara ke Penjara,Tan menjabarkan mengenai bagaimana
perjuanganya dalam menuntut ilmu di Belanda, yang dari situ dia mendapatkan
pelajaran mengenai bagaimana perbedaan pendidikan antara Belanda dan Indonesia,
hingga perkenalanya dengan filsafat barat termasuk pengaruh yang diperolehnya
dari Nietzsche.[vii] Barangkali, hal itu pula yang nantinya akan
mempengaruhinya untuk kemudian menuliskan magnum opusnya, Materialisme, Dialektika, Logika.
Apabila ditelisik lagi perspektif Tan yang demikian dapat ditemukan dalam
tulisanya yang lebih awal. Pada tahun 1925, Tan dalam Naar de Republik Indonesia adalah orang pertama yang mencetuskan
konsepsi mengenai Indonesia yang merdeka. Sembari membandingkan model
pergerakan seperti SI maupun Budi Utomo, Tan menaruh tampuk harapanya pada PKI
untuk menciptakan kader yang disiplin dan jeli dalam pembacaan situasi.[viii]
Menurutnya, kemerdekaan hanya mungkin terjadi apabila –sebagaimana telah
disebutkan diatas- ada prakondisi yang memadai, tanpanya, kemerdekaan hanya
akan menjadi bentuk lain dari penindasan. Sebagaimana dikatakan oleh Tan:
“A situation like this has to be guarded
against so as not to let it happen! But not with high-flown and empty doctrine.
Only a program which is really directed to the struggle for material benefits
of the whole people and carried out with justice can create a loyal group
otherwise capable of crushing imperialism. But not only that, a group is needed
to distance itself for a time before finally pioneering the way to
international communism”[ix]
Hanya saja, sebelum hal tersebut dapat terlaksana, yang perlu dilakukan
sebelumnya adalah persiapan kondisi material (ekonomi) dan pematangan akan
kesadaran kelas, untuk kemudian dapat dikonversi dalam apa yang disebutnya
sebagai “the final determining blow”.[x]
Untuk itu, sekali lagi, PKI harus memiliki persiapan-persiapan yang mutlak
dimiliki.[xi]
Pada titik ini, kita dapat melihat beberapa hal yang nampaknya menjadi
semacam pembeda dari Tan Malaka dari pemikir lain mengenai konsepsinya mengenai
kemerdekaan. Bagi Tan, revolusi bukanlah hal yang terlampau istimewa karena
pada dirinya sudah merupakan bagian daripada gerak sejarah.[xii]
Sehingga sebagaimana telah disebutkan beberapa-kali diatas, apa yang lebih
penting daripada revolusi itu adalah situasi-situasi yang membuat gerak sejarah
itu menjadi mungkin. Pada konteks inilah barangkali gagasan Tan mengenai Merdeka
100% dapat dimengerti. Lebih dari itu, menurut Tan, perjuangan meraih
kemerdekaan harus diletakkan dalam satu konteks, dimana nasionalisme itu
diarahkan untuk kemudian menjadi bagian daripada jaringan sosialisme yang lebih
luas, untuk menjadi masyarakat komunis.[xiii]
Dalam karyanya tersebut, Tan menampilkan perbincangan antara lima orang
dengan latar belakang yang berbeda: Apal dari kaum intelektual, Toke dari kelas
menengah, Pacul dari kelas petani, Denmas dari ningrat, dan Godam dari buruh
besi. Perbedaan daripada latar belakang kelimanya, ditampilkan sebagai
perbedaan cara pikir dari masing-masing. Pada bab “Politik”[xiv] tulisan
dibuka daripada Toke menegur Pacul untuk menggunakan sapaan “Merdeka”, sapaan
yang ternyata asing bagi keduanya. Dalam kebuntuan tersebut, dipangillah
Denmas, dimana kemudian ia menerangkan bahwa menjadi merdeka adalah berarti
diarahkan pada jurusanya yang benar, sembari mencontohkan jaman majapahit, ia
menggambarkan sosok raja sebagai ratu adil. Kemudian, datanglah Apal, seorang
intelektual yang menerangkan mengenai bentuk negara. Ditengah percakapan,
munculah sosok Godam,[xv] yang membawa perspektif kelas pekerja,
memberikan perspektif yang sinis daripada birokrasi dan mencerminkan harapan
Tan mengenai murba. Dalam sosok Godam-lah, penjelasan mengenai kemerdekaan 100%
muncul, bahwa kemerdekaan adalah ketika bangsa ini dapat berdiri sendiri dengan
makmur, sembari pula memberikan contoh dari Meksiko, yang kemerdekaanya
bergantung pada lingkaran kongsi-minyak[xvi] Tanpa
persiapan yang memadai, kemerdekaan tidak akan bisa menjadi penuh, karena
bahkan kalaupun kemerdekaan itu dikumandangkan, lingkaran kapitalisme akan
terus menghalangi munculnya independensi diri.[xvii]
Pada bab “Muslihat”, Pacul yang tengah diliputi keceriaan kemerdekaan,
Denmas yang muncul membandingkan kemerdekaan itu selayaknya perjuangan
Diponegoro, yang kemudian disanggah oleh Apal, yang mengatakan bahwa berbeda
dari Diponegoro, perjuangan itu adalah perjuangan nasional.[xviii]
Sementara mereka bersepakat mengenai diplomasi, munculah Godam yang menyatakan
ketidaksepakatanya, bahwa kemerdekaan Indonesia muncul dari rakyat Indonesia
semata. Salah satu adegan yang menarik disini adalah ketika Pacul mengatakan
bahwa dirinya mencurigai Denmas, dan Denmas, dalam pembelaanya mengatakan bahwa
dirinya akan memberikan tanahnya kepada rakyat proletar. Meskipun agak klise,
namun penggamaran Tan ini menunjukan identifikasinya mengenai susunan
masyarakat Indonesia, dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi perjuangan atau
pemaknaan mereka atas kemerdekaan itu sendiri. Disinilah, dapat dimengerti,
penekanan Tan berkali-kali mengenai pentingnya prakondisi daripada kemerdekaan
itu sendiri. Pada kesempatan lain, Tan Malaka menyatakan mengenai pentingnya
persiapan militer dan ekonomi, dalam Gerpolek, ia menyatakan:
“Revolusi Indonesia mau tak mau terpaksa mengambil
tindakan ekonomi dan sosial serentak dengan tindakan merebut dan membela
kemerdekaan 100%, Revousi kemerdekaan Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan
dibungkus dengan Revolusi Nasional saja. Perang kemerdekaan Indonesia harus
diisi dengan jaminan sosial dan ekonomi sekaligus.”[xix]
Sebagai pembanding, patut kiranya disajikan perbedaan Tan dengan Soekarno,
melalui pemaparan Soekarno dalam pidatonya. Ketika Soekarno muda memaparkan
mengenai demokrasi politik dan ekonomi, ia mengharik kaum borjuis, sembari
mengatakan:
Sekali lagi, inikah “demokrasi” yang orang keramatkan
itu? Bukan- ini bukan demokrasi yang harus kita tiru, bukan demokrasi untuk
kita kaum marhaen Indonesia! Sebab “Demokrai” yang begitu hanyalah demokrasi
parlemen sahaja, yakni hanya demokrasi politik sahaja. Demokrasi ekonomi tidak
ada.[xx]
Pada ksempatan lain dalam pidato 1 Juni 1945 :
“Tuan-Tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah
dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu. Banyak sekali negara-negara yang
merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain!
Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania
merdeka, saudia arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok Merdeka, Nippon Merdeka,
Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia Merdeka, Mesir merdeka. Namanya semua
merdeka, tapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isinya itu! Jikalau kita berkata:
sebelum negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai , itu selesai, itu
selesai, sampai jelimet!, maka saya bertanya kepada Tuan-tuan sekalian kenapa
Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri dari kaum badui yang
sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu. [...] Lihatlah pula jikalau
tuan0tuan kehendaki contoh yang lebih hebat- Sovyet Rusia! Pada masa Lenin
mendirikan Negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh
milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari-pada 80% tidaj daoat
membaca dan menulis [...]
[...] Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca Tuan
punya surat, yang minta kepada ktia supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini
dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal itu harus diselesaikan lebih
dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak
akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia
Merdeka, sampai di lubang kubur! (Tepuk tangan riuh).”[xxi]
Nampaklah sesungguhnya kesamaan diantara keduanya, dimana keduanya
menekankan mengenai demokrasi rakyat banyak dan juga harus dibarengi dengan
kedaulatan ekonomi. Namun, pembedanya adalah bahwa Tan menghendaki prakondisi
itu harus ada terlebih dahulu, sementara Soekarno sebaliknya.
Satu hal perbedaan tersebut barangkali bisa disebutkan sebagai kelebihan
sekaligus sebagai kekurangan dari Tan. Penekananya pada prakondisi sebagai
suatu hal yang bersifat mutlak sesungguhnya memiliki titik pijak daripada makna
kemerdekaan itu sendiri, untuk menghindarkan merdeka masuk dalam logika kaum
komprador dan menjadi siklus lain daripada penindasan. Pada titik yang lain,
sebagaimana diungkapkan oleh Soekarno maupun Nyoto, menuruti Tan Malaka berarti
adalah pula barangkali Indonesia ini tak akan pernah merdeka. Perbedaan
keduanya nampak pada segi metode, akan tetapi bila ditilik pula, Soekarno
sebagaimana juga Tan dalam tulisanya yang lain mengatakan bahwa kemerdekaan
adalah salah satu proses saja untuk kemudian mencapai masyarakat komunis. Barangkali,
ini pula yang membuat Soekarno dalam pertemuanya dengan Tan mengatakan apabila
suatu perihal terjadi padanya dan Hatta, maka ia akan menyerahkan tampuk
kepresidenan pada Tan.[xxii]
Disamping perbedaan diantara keduanya, barangkali apa yang lebih mendesak
pada masyarakat sekarang yang sudah terlanjur merdeka ini adalah untuk kembali
menelisik, prakondisi macam apa yang sekarang kita punyai, untuk kemudian dapat
dipergunakan untuk menuju apa yang dikatakan oleh Tan:
And
the new era is breaking wherever the torch of communism will lead the young
Indonesian people to a final direction, Independence, Culture, and Happiness
for all Mankind[xxiii]
Sampai disini, pertanyaan, sekaligus jawaban atasnya, adalah tanggung jawab
kita semua. Peran macam apa yang kita pikul dan beban sejarah macam apa yang
kita tanggung, layaknya Pacul, Apal, Godam, Toke dan Denmas, bagaimana kita
memaknainya. Atau, semuanya sebenarnya tiada artinya, karena kita sesungguhnya
nyaman sudah, hidup dalam sangkar-sangkar yang membebaskan, sekaligus menjerat,
yang terkandung dalam setiap pekikan, upacara, dan ritual-ritual selebrasi
palsu daripada kemerdekaan.
[i]
Keluarga Satjipto Rahardjo Institute, paper ini dipresentasikan untuk PMII
UIN Walisongo pada 15 Agustus
2017.
[iii] Dikutip
dari Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan. Bapak Publik yang Dilupakan. Edisi 11-17 Agustus 2008. Hlm 54.
The final strategic blow will succeed if the
following conditions are fulfilled: l. The Party possesses iron discipline. 2.
The Indonesian people remain under the leadership of the PKI. 3. Enemies both
inside and outside the country are divided (ibid)
“Revolusi bukanlah sebuah ide yang luar biasa,
dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa.
Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi,
melaksanakan, atau memimpinya menuju kemenangan rakyat, tak daoat diciptakan dengan
otaknya sendiri. Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat
tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamins,
dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan
kelas yang kian hari kian tajam [...] Pendeknya semakin besar jurang antara
kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah hantu
revolusi [...]”
Jika kita selanjutnya mendapatkan kemerdekaan itu, kita dapat juga
mempertahankannya dengan lebih baik. Dengan tenaga-tenaga yang terdapat di
Indonesia kita – nanti sesudah mendapatkan kemerdekaan – dapat melangkah ke
arah komunisme internasional lebih cermat dan dengan pengharapan lebih banyak.
[xv] Kehadiran
Apal yang menjelaskan ini-itu barangkali cerminan dari apa yang ditulisnya
dalam Naar de Republiek, panggilan terhadap kelas intelektual. Op Cit Tan Malaka. Naar de Republiek...
[xx] Soekarno.
Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, dalam Soekarno. Dibawah Bendera
Revolusi I. Yayasan Bung Karno. Jakarta. 2005. Hlm 170
[xxi] Pidato
Soekarno, 1 Juni 1945 Rapat BPUPKI. Dalam Risalah Sidang BPUPKI – PPKI 28 Mei
1945-22 Agustus 1945. Sekneg RI. Jakarta. 1995. Hlm 64-5
0 Komentar