Doc. Internet
PKI, awalnya aku sangat takut ketika mendengar sebutan itu. Hal yang terlintas dalam pikiranku mereka adalah sekelompok orang yang kejam, sadis, tak punya peri kemanusiaan, pembunuh berdarah dingin, dan menghalalkan segala cara untuk memperoleh keinginannya. Hal itu tertanam dalam alam bawah sadarku melalui cerita-cerita, mitos masyarakat, dan propaganda-propaganda oleh sebagian oknum yang berkepentingan. Mungkin saja kepentingannya untuk menutupi sebuah dosa besar.

Aku tak tau kebenaran cerita PKI, tak tau apa yang sebenarnya terjadi saat itu, dan mungkin tak kan pernah tau kebenaran dari sebuah tragedi yang memilukan beberapa puluh tahun lalu itu.

Aku hanya tau PKI adalah salah satu partai terbesar pada pemilu 1955, menurut kabar yang beredar PKI berubah menjadi organ yang sangat brutal dalam upaya meraih angannya. PKI yang awalnya menguasai basis masa berubah menjadi kepingan-kepingan kecil yang berserakan akibat peristiwa satu malam pada 30 September 1965. Tidak diketahui secara pasti kenapa PKI seakan disingkirkan dari negara ini.

Siapa yang sebenarnya membunuh 7 jendral dalam waktu semalam juga belum jelas. Kabar yang beredar PKI dibawah pimpinan D.N Aidit adalah dalang dibalik semua itu. Entah itu benar atau tidak, itulah kabar yang selama ini beredar.

Malam penuh duka itu telah lama terjadi, ada beberapa versi terkait hal itu, tapi semua masih simpang siur dan belum diketahui kebenarannya.

Dalam seri buku tempo: orang kiri Indonesia, Aidit dua wajah Dipa Nusantara diceritakan pada saat malam 30 September Aidit di jemput oleh orang yang menggunakan jip, lalu Aidit bergegas memasukkan pakaiannya kedalam koper, dan minta izin ke istrinya, tapi istrinya kurang merestui, Aidit tetap pergi. Entah kemana perginya? Tapi pada malam itu juga terjadi pembantaian kepada 7 jendral angkatan darat.

Dalam kesaksian Mayor Udara Sudjono di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), dia yang menjemput Aidit di rumahnya. Lalu Sudjono membawanya ke rumah Sjam Kamaruzzaman, Kepala Biro Khusus PKI di Jalan Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Di tempat itu, Aidit sudah ditunggu  sejumlah anggota Biro Khusus-biro ini dibentuk Aidit tanpa setahu pengurus pusat (CC) PKI.

Menurut Victor Miroslav Fic, penulis buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi. Saat di rumah Sjam, Aidit melakukan cek terakhir Gerakan 30 September. Dia juga dipertemukan dengan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodro, perwira tinggi yang dekat dengan Presiden Soekarno. Kepada Pranoto, Aidit menawarkan posisi sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal Ahmad Yani. Selain itu, Aidit menyampaikan konsep Dekrit Dewan Revolusi yang harus diteken malam itu dan disiarkan pagi 1 Oktober 1965.

Setelah itu Aidit berencana bertemu Soekarno di rumah Komodor Susanto di Halim Perdanakusuma. Rencananya, Aidit akan memaksa Soekarno membersihan Dewan Jenderal, lalu memintanya mengundurkan diri sebagai presiden. Pertemuan dengan Soekarno gagal. Sebagai gantinya, Aidit mengutus Brigadir Jenderal Soeparjo menemui Soekarno, yang juga berada di Halim, namun di tempat terpisah.

Versi lain yang  tertulis dalam surat Aidit ke Soekarno, tertanggal 6 Oktober 1965. Menurut surat itu, malam 30 September 1965, ia dijemput Cakrabirawa untuk rapat darurat kabinet di Istana Negara. Tapi dia malah dibawa ke Jatinegara dan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Di situ Aidit ditempatkan di rumah kecil, dan diberi tahu akan ada penangkapan terhadap anggota Dewan Jenderal, dan kabarnya presiden Soekarno juga merestui hal itu.

Keesokan harinya, Aidit diminta berangkat ke Yogyakarta dengan pesawat yang disediakan Wakil Perdana Menteri Omar Dhani, untuk mengatur kemungkinan evakuasi Presiden ke Yogyakarta. Yogyakarta dianggap tepat untuk markas pemerintahan sementara. Dalam surat tersebut, Aidit juga menyampaikan permintaan maaf karena tak bisa datang dalam rapat kabinet di Bogor karena pesawat AURI yang akan mengantarnya rusak.

Surat itu diakhiri dengan enam usul untuk menyelesaikan krisis politik akibat penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat tersebut. PKI tetap beranggapan Gerakan 30 September itu adalah soal internal di tubuh Angkatan Darat. Aidit mengaku tak tahu sebelumnya soal gerakan tersebut, sehingga tidak dapat menyalurkan potensi revolusi ke arah yang wajar. Kepada Presiden, Aidit menyampaikan usul agar peristiwa itu diselesaikan Presiden secara politik.

Pada Juli 1965, seiring dengan merebaknya kabar kesehatan Bung Karno memburuk, suhu politik Tanah Air makin panas pula. Sebuah berita dari dokter RRC yang merawat Presiden datang mengatakan Bung Karno akan lumpuh atau meninggal dunia. Di Jakarta bertiup rumor menyengat, muncul Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Bung Karno.

Dalam Buku Putih G-30-S/PKI yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, menurut buku ini, Aidit menyatakan bahwa gerakan merebut kekuasaan harus dimulai jika tak ingin didahului Dewan Jenderal. Gerakan itu dipimpinnya sendiri. Ada pun Sjam ditunjuk sebagai pemimpin pelaksana gerakan.

Saat diadili Mahkamah militer, Sjam mengaku dipanggil Aidit pada 12 Agustus 1965. Dalam pertemuan itu, ia diberi tahu bahwa Soekarno sakit dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan bila Bung Karno dalam keadaan sakit parah. Menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia meninjau "kekuatan kita". 

Sejak 6 September 1965, Sjam lantas menggelar rapat-rapat di rumahnya dan di rumah Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya). Di rapat ini hadir Letnan Kolonel Untung (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa) dan Mayor Udara Sudjono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan Halim Perdanakusuma). Rapat terakhir, 29 September 1965, menyepakati gerakan dimulai 30 September 1965 dengan Untung sebagai pemimpinnya.

Menurut A. Lateif gerakan 30 September dilakukan untuk menggagalkan upaya kudeta oleh dewan Jendral, tapi gerakan itu diselewengkan oleh Sjam. Menurutnya tidak seperti itu rencananya, jendral-jendral itu hanya ditangkap hidup-hidup dan diminta untuk menyelesaikan masalah pengkudetaan, tapi Sjam malah membunuh 7 jendral itu.

Aidit sendiri belum pernah memberi pernyataan tentang hal ini.  Sebelum ditangkap pasukan pimpinan Kolonel Yasir Hadibroto, Aidit dikabarkan sempat membuat pengakuan sebanyak 50 lembar. Pengakuan itu jatuh ke Risuke Hayashi, koresponden koran berbahasa Inggris yang terbit di Tokyo, Asahi Evening News. Menurut Asahi, Aidit mengaku sebagai penanggung jawab tertinggi peristiwa "30 September". Rencana pemberontakan itu sudah mendapat sokongan pejabat PKI lainnya serta pengurus organisasi rakyat di bawah PKI. Alasan pemberontakan, mereka tak puas dengan sistem yang ada. Rencana kudeta semula disepakati 1 Mei 1965, tetapi Lukman, Njoto, Sakirman dan Nyono-semuanya anggota Committee Central menentang. Alasannya, persiapan belum selesai.

Pertengahan Agustus, sekembalinya dari perjalanan ke Aljazair dan Peking (daerah di Cina), Aidit kembali melakukan pertemuan rahasia dengan Lukman, Njoto, Brigjen Soepardjo, dan Letkol Untung. PKI mendapat info bahwa tentara, atas perintah Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Achmad Yani, akan memeriksa PKI karena dicurigai mempunyai senjata secara tidak sah.  Dan terpaksa mempercepat pelaksanaan coup d'etat, Akhirnya, dipilih tanggal 30 September.

Tapi dua petinggi PKI (Njoto dan Oei Hai Djoen) juga mengeluarkan  pernyataan, menurutnya peran PKI dalam pembunuhan jendral tidak ada. Mereka tidak tau mengapa jendral-jendral itu bisa terbunuh dan siapa yang sebenarnya membunuh jendral itu.

Presiden Soekarno sendiri menyatakan peristiwa pilu itu terjadi karena 3 hal. Yakni keblingernya pemimpin PKI, lihainya kekuatan Barat atau kekuatan Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme), serta adanya "oknum yang tidak benar".

Setelah peristiwa itu, situasi politik sangat panas. Akhirnya Soekarno lengser dari jabatan Presiden dan Soeharto naik menggantikannya. Ada pihak yang sangat diuntungkan yakni Soeharto yang langsung diangkat menjadi presiden karena senior-seniornya di angkatan darat sudah terbunuh, dan Soekarno menjadi pihak yang dirugikan karena lengser dari Presiden dan mungkin Soekarno dilengserkan karena kebijakan-kebijakannya yang kurang menguntungkan para investor asing untuk menguasai SDA Indonesia. PKI juga sangat dirugikan, karena PKI menjadi kambing hitam dari peristiwa itu, PKI pun hancur berserakan.

Entahlah,Banyak sekali versi terkait tragedi 30 September 1965. Dan aku tak pernah tau mana yang benar. Mungkin juga benar ketika ada persaingan ekonomi-politik dibalik semua itu.  Andai aku bagian dari PKI yang tau betul tragedi itu, aku pasti akan membenarkan salah satu versi itu, atau bahkan mengeluarkan versi lain yang akan menjadi tandingan dari semua versi yang telah beredar dan menguak kenyataan yang sebenarnya terjadi.

Setelah 52 tahun berlalu, masih ada sebagian kelompok yang berusaha meluruskan sejarah terkait tragedi 1965 dengan diskusi atau dengan lainnya, seperti yang terjadi di Jakarta baru-baru ini. Tapi ada pihak yang menghalangi, sekedar diskusi atau seminar saja tidak boleh, entah apa yang mereka inginkan. Atau takut kalau semua terbongkar dan sejarah kembali lurus?

Tapi entahlah, andai saja aku bagian dari PKI yang masih hidup dan tau benar tragedi itu terjadi, pasti aku akan ...? Dan mereka yang menolak pelurusan sejarah akan....?. Tapi kembali lagi, semua itu hanya khayalan.

Penulis: Muhammad Luthfi Hakim