Dok. LKaP |
Mendobrak Budaya Membaca
Oleh. Muhammad
Luthfi Hakim*
“kamu calon
konglomerat ya, kamu harus rajin belajar dan membaca, jangan ditelan sendiri.
Berbagilah dengan teman-teman yang tak mendapat pendidikan”
(Wiji Thukul)
Membaca nampaknya menjadi sesuatu yang sangat asing,
menyeramkan, dan dinilai tak ada gunanya oleh sebagian besar orang yang belum
paham betul akan manfaat membaca. Entah apa yang menyebabkan semua itu, apa
mungkin karena keadaan zaman yang hanya menuntut untuk mencari materi dan tidak membuang waktu dengan
membaca.
Tapi jika memang itu penyebabnya, dari zaman dahulu sampai
sekarang tingkat minat membaca rakyat Indonesia tetaplah rendah. Apa mungkin
dari zaman dahulu sampai sekarang tak ada perubahan sama sekali, atau memang
zaman tidak akan pernah berubah jika menyangkut tentang budaya membaca.
Mencengkeram Pikiran
Rakyat Indonesia lebih suka dengan hal yang bersifat instan
dan bisa menghasilkan materi dengan cepat untuk kehidupan mereka. Itu memang
masuk akal, bayangkan saja, dengan pergi ke sebuah tempat (pabrik, sawah, dan
tempat lain) itu akan mendapatkan sebuah uang daripada harus menghabiskan
banyak waktu yang dinilai tidak bermanfaat di depan tulisan-tulisan yang tak
jelas.
Maindset itu sudah
mencengkeram kuat pikiran rakyat Indonesia. Belum bisa menyadari
manfaat dari membaca, dan seakan ada pihak yang tak ingin rakyat tau tentang
pentingnya budaya membaca. Padahal sebenarnya membaca adalah prospek jangka
panjang yang bisa merubah kehidupan menjadi lebih baik.
Dengan membaca memang tak bisa langsung menghasilkan materi
seperti bekerja, tapi dengan membaca nantinya akan menghasilkan materi yang
lebih besar walaupun membutuhkan kesabaran yang ekstra dan sedikit menyita
waktu. Tapi itu semua memang proses yang harus dilewati, dan nanti akan
merasakan hasilnya dimasa mendatang.
Memang untuk meraih sesuatu membutuhkan sebuah usaha
tersendiri, begitu juga dengan membaca. Melihat hasil yang akan diperoleh
ketika membaca itu sudah menjadi tradisi, maka ketika akan membiasakan budaya
membaca juga banyak sekali yang menghalangi (baik intern maupun ekstern).
Dari faktor intern, membaca adalah sebuah hal yang
membosankan, menyebalkan, dan menyita banyak waktu. Belum ada kesadaran diri,
lebih asyik bermain, melakukan hal yang menyenangkan, menghabiskan waktu dengan
sesuatu yang tidak produktif, dan melakukan hal yang tanpa berfikir dengan
keras.
Dan dari faktor ekstern, seakan banyak sekali yang
menghalangi ketika ada niatan untuk membaca. Memang pengaruh lingkungan sangat
menentukan, tapi selain itu ada ajakan teman, gadget menderingkan bunyi
notifikasi pesan masuk, dan tentunya masih banyak hal yang akan menghalangi
untuk membaca.
Munculnya Egoisme
Tak semua orang belum sadar akan budaya membaca, sebenernya
ada juga dan bisa dikatakan lumayan dari segi kualitas dan kuantitas orang yang
sudah sadar akan budaya membaca. Tapi mereka hanya mementingkan diri sendiri,
tanpa menularkan budaya membaca kepada orang lain, dan budaya membaca belum bisa mencakup semua golongan.
Seharusnya orang yang sudah menyadari akan manfaat dari
budaya membaca juga harus menularkannya kepada orang lain, bukan hanya
mementingkan dirinya sendiri dan bersifat egois. Agar kehidupan rakyat bisa
berubah menjadi lebih baik dan bangsa ini menjadi bangsa yang maju.
Tapi semua itu akan sia-sia jika karsa dari diri sendiri belum muncul. Setiap individu juga harus memunculkan karsanya
masing-masing, karena kesadaran diri sendiri adalah hal yang paling penting dan
belum ada solusi yang tercetuskan selain kesadaran diri sendiri. Memunculkan maindset
tentang pentingnya dan hasil dari membaca itu bisa diterapkan untuk memunculkan
karsa diri.
Memulai dari Hal Terkecil
Di zaman yang serba modern ini, kesempatan dalam membaca
buku dirasa sangatlah dipermudah. Kita tahu, membaca tak hanya bisa dilakukan
dengan membaca buku yang tercetak saja. Namun, juga bisa dilakukan dengan
membaca tulisan berbentuk E-book (buku berbentuk elektronik) yang
sekarang lebih mudah kita temui di gadget.
Dengan kemudahan ini, seharusnya maindset negatif
tentang membaca sudah selayaknya dihilangkan. Kita bisa memulai membaca dengan
hal terkecil atau dasar. Dengan memulai dari tingkat membaca yang paling
rendah, dan terus dibiasakan, akhirnya nanti akan sampai ke tingkat membaca
yang paling tinggi dan budaya membaca akan menjadi tradisi di kalangan rakyat
Indonesia.
*Penulis
adalah Koordinator Divisi Cyber di Lembaga Kajian dan Penerbitan (LKaP) PMII
Abdurrahman Wahid
0 Komentar