Doc. Internet |
“Mimpi saya yang
terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa berkembang menjadi
mahasiswa-mahasiswa yang biasa. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang
bertingkah laku sebagai manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya
sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.”
(Soe Hok Gie)
Dalam ungkapan yang
dituliskan oleh Soe Hok Gie terdapat kata, eksistensi. Apa sebenarnya makna
eksistensi itu? Dalam buku pengantar filsafat karya Louis O. Kattsoff, eksistensi mengandung pengertian ruang dan waktu. Menurut W.T
Stace suatu hal yang bereksistensi adalah suatu hal yang bersifat publik,
artinya suatu hal itu harus dialami oleh banyak orang yang melakukan pengamatan
atau pengalaman indrawi.
Hal ini berarti, mahasiswa menurut Soe Hok Gie
harus tahu eksistensi dirinya. Menurut Gie, ada dua entitas dalam diri mahasiswa, sebagai pemuda dan sebagai
manusia. Sebagai pemuda mahasiswa harus bisa menjadi penggerak dan pengubah nasib rakyat, agar rakyat menjadi lebih
baik. Sedangkan sebagai manusia,
mahasiswa harus mampu membaur
dengan manusia lainnya, memperjuangkan apa yang telah dicita-citakan rakyat dan
menghapus penindasan. Sama seperti intelektual organik yang dikonsepkan oleh Antonio Gramsci. Namun, ketika ternyata mahasiswa tidak melakukan itu berarti mahasiswa telah kehilangan eksistensi dirinya.
Kemudian, setelah
mahasiswa tahu eksistensi dirinya sendiri, permasalahan yang dihadapi oleh
mahasiswa sekarang adalah bagaimana mahasiswa mampu menghidupkan iklim akademik dan iklim literasi dalam dunia kampus. Kampus yang merupakan sentrum pertukaran
pemikiran-pemikiran kaum akademis. Bagaimana mahasiswa mampu menghidupkan dunia kampus, inilah yang harus difikirkan oleh mahasiswa.
Lalu sebenarnya apa itu kampus
dan apa esensi dari kampus?. Pengertian esensi menurut filsafat (buku pengantar
filsafat karya Louis O. Kattsoff) adalah sesuatu
yang menjadikan sesuatu merupakan sesuatu itu. Atau kalau di kontekskan dengan
kampus, mengandung makna bahwa esensi kampus adalah sesuatu yang menjadikan
kampus merupakan suatu kampus.
Sesuatu yang beresensi tentu bereksistensi. Begitu juga
dengan kampus, jika kampus beresensi, tentu kampus juga bereksistensi.
Sebenarnya apa yang membedakan antara
kampus dengan tempat lain seperti pasar, asrama TNI, tempat hiburan malam dan tempat
lain. Kampus menurut KBBI adalah daerah lingkungan bangunan utama perguruan
tinggi (Universitas, Akademi) tempat semua kegiatan belajar mengajar dan
administrasi berlangsung.
Dari pengertian KBBI sudah sedikit di
gambarkan terkait kampus. Menurut penulis, suatu tempat bisa dikatakan sebuah
kampus, jika tempat tersebut penuh dengan iklim literasi, tempat pergulatan
intelektual, tempat mengasah kemampuan (baik softskill atau hardskill)
dan suatu tempat yang bisa merubah karakter seseorang menjadi lebih baik.
Tentu kita tak berharap
kepada mahasiswa yang hanya pacaran, menghabiskan waktu ditaman dengan wi-fian
dan mecari sesuatu yang kurang bermanfaat, hanya mencari simbol-simbol aneh,
dan tak peka dengan keadaan sosial. Kita hanya
bisa berharap kepada mahasiswa yang tahu akan eksistensi dirinya.
Menghidupkan dunia kampus bisa dilakukan oleh tiga elemen
dalam kampus. Yakni dari lembaga-lembaga intra (wakil mahasiswa), mahasiswa,
dan birokrasi.
Yang pertama, dari
lembaga intra kampus, sebagai wakil mahasiswa harus mengisi ruang-ruang kampus
dengan kajian keilmuan, memunculkan kembali semangat mahasiswa untuk membaca,
dan kembali menggelorakan slogan membaca, diskusi, menulis, dan aksi. Tentu
harus ada kesadaran dari mahasiswa untuk ikut membantu lembaga intra dalam
menghidupkan kembali dunia kampus, mahasiswa tak boleh apatis, akhirnya apa
yang dicanangkan oleh para wakil mahasiswa bisa terealisasi dengan baik.
Jika memang dari lembaga intra tidak
bisa menghidupkan kembali dunia kampus. Tentu tugas kita sebagai mahasiswa ‘abal-abal’ untuk menghidupkannya. Sebagai seorang mahasiswa tentu
bisa mendorong lembaga-lembaga di kampus untuk menciptakan iklim literasi, penuh dengan kajian, dan
tempat untuk memperbaiki karakter seseorang. Jika memang sudah tidak bisa, maka mahasiswa berhak
bergerak sendiri untuk menghidupkan kembali dunia kampus.
Kedua, dari mahasiswa
biasa. Selain mendukung apa yang dilakukan oleh lembaga intra kampus, mahasiswa
biasa juga bisa menginisiasi untuk membangun sebuah komunitas-komunitas
akademik yang ikut serta dalam menghidupkan kembali dunia kampus
dan juga membekali diri sendiri dengan kajian-kajian yang bisa meningkatkan
kemampuan dan bisa menghidupkan dunia kampus.
Dan yang terakhir, dari pihak birokrasi, tentu para birokrat mempunyai
pengaruh-pengaruh yang besar untuk mahasiswa. Para birokrat bisa mengagendakan
kegiatan ekstra yang bisa menghidupkan kembali dunia kampus. Bukan
hanya berkutat pada mata kuliah, SPJ Kegiatan, dll.
Dunia kampus akan lebih hidup, jika ada perpaduan antara lembaga intra,
mahasiswa, dan birokrasi. Ketiga pihak ini saling berkolaborasi untuk
menghidupkan kembali iklim akademik dan iklim literasi yang ada di
kampus. Pojok-pojok kampus akan dihiasi dengan kajian-kajian ilmiah, nalar
kritis mahasiswa tidak akan hilang, dan nantinya akan terbentuk intelektual organik dari kampus..
Jika memang ada yang mau bergerak,
tentu semua permasalahan bisa terselesaikan. Sepelik apapun permasalahan itu. Penulis yakin keajaiban untuk perubahan itu belum punah. Akan datang generasi-generasi emas yang nantinya akan bergerak
untuk merubah keadaan yang sekarang sudah membelenggu. Akhirnya kampus yang
kita agungkan sekarang bukan hanya sekedar tempat yang menyerupai kampus.
Lalu bagaimana jika
ternyata kampus itu tidak bisa merubah karakter seseorang? Atau menjadi ladang
ilmu pengetahuan? Kampus malahan hanya menjadi gedung tua penuh dengan hantu-hantu.
Kalau memang begitu, bolehlah
dikatakan bahwa dunia kampus itu telah mati. Kampus juga tak beresensi, secara
otomatis kampus juga tak bereksistensi. Bisa jadi kampus yang selama ini kita
anggap sebagai tempat agung kita, itu bukanlah sebuah kampus. Itu hanya tempat
yang menyerupai kampus.
Dengan demikian, Kampus memang nyata,
dan sudah pasti ada. Tapi tak beresensi, tentu tak bereksistensi apalagi
memiliki substansi.
Penulis: Muhammad
Luthfi Hakim
Koordinator Divisi Cyber
Lembaga Kajian dan Penerbitan
PMII Rayon Abdurrahman Wahid 2017-2018
0 Komentar