Doc. Internet |
Oleh : Achwan A. Ihsan
Money Politic atau Politik Uang oleh banyak ilmuwan politik dikategorisir sebagai penyakit menular (communicable disease) dalam kehidupan demokrasi di tanah air. Kalimat pembuka tersebut jelas sulit dibantah siapapun. Hingga saat ini belum ada riset spesifik yang meneliti tentang sejak kapan dimulainya praktek jual beli suara dalam kontestasi pemilihan umum di tanah air. Tiba-tiba saja, politik uang menjadi sesuatu yang kronis, disebut-sebut sebagai negativitas yang merontokkan kualitas kebijakan, regenerasi kepemimpinan dan berjalannya sebuah pemerintahan secara wajar.
Praktek pembelian suara ini, setidaknya dalam dua dasawarsa terakhir telah diekspos seluas-luasnya oleh awak media tanah air. Namun anehnya, politik uang tetap menjadi semacam kasus tak terurai yang sulit sekali ditangani oleh lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu di tanah air. Selama itu, hampir setiap perhelatan demokrasi elektoral yang meibatkan massa selalu ditemukan praktek transaksional semacam itu.
Sebelumnya yang terjadi di berbagai daerah pemilihan, calon kepala daerah menyandarkan diri pada strategi politik uang untuk merebut daya tarik pemilih. Hanya dengan cara membagi-bagikan sejumlah uang yang tak seberapa nominalnya, para tim sukses meminta komitmen untuk mencoblos gambar pasangan calonnya pada saat pemungutan suara tanpa harus melakukan kampanye politik.
Metode semacam itu adalah cara ringkas yang ditempuh oleh para calon kepala daerah agar tak perlu lagi bekerja keras memasarkan ide dan gagasan pembangunan mereka. Terlebih, tak semua pasangan calon kepala daerah mmemiliki kemampuan komunikasi publik yang baik dengan massa untuk membangun dukungan secara sehat. Sulitnya menghentikan praktek politik uang diyakini tidak lepas dan belum beranjaknya mayoritas masyarakat Indonesia dari budaya politik subyektif (political subjectivity). Sebuah situasi kebudayaan politik dimana pemahaman masyarakat tentang apa itu politik, sistem dan mekanisme penyelenggaran pemerintahan masih rendah. Sehingga menimbulkan apatisme yang menyebabkan Golput serta menyuburkan pola tunggal, yakni pemerintah sebagai patron tanpa memerlukan partisipasi publik.
Realitas tersebut tersebut dapat dengan mudah dijumpai hubungan patron-klien di tengah masyarakat. Klientalisme tersebut kemudian menimbulkan korelasi yang kuat antara politik elektoral dengan dengan politik uang yang marak terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada. Dalam hasil risetnya pada tahun 2013 yang dibukukan dalam judul In Party Politics in Southeast Asia, Dirk Tomsa guru besar ilmu politik dari La Trobe University, Melbourne dan Andreas Ufen, doktor ilmu politik University of Berlin mengatakan bahwa di Indonesia klientalisme dapat dipraktikkan melalui relasi tradisional seperti hubungan personal antar-individu ke bentuk modern lain. Bahkan mampu bertransformasi menjadi bentuk yang lebih sistematis. Sehingga skema ini bisa berjalan melalui jaringan partai politik, profesi, bisnis hingga organisasi-organisasi sipil-formal.
Tak mengherankan jika klientalisme ini menyebabkan perilaku koruptif kepala daerah dan elit politik sebagai relasi antara patron-klien dengan basis pendukung yang telah dipengaruhi. Berkembangnya klientalisme ini, tidak terlepas dari asumsi masyarakat pedesaan yang menganggap elit politik sebagai pengayom, maka harus dipatuhi. Sehingga dalam pilkada, elit politik hanya punya satu pilihan efisien yakni menggandeng para broker politik yang mampu memobilisisai massa pendukung, yang tentu dukungan tersebut tidaklah gratis.
Pada umumnya, targetnya adalah mereka yang berada pada strata sosial menengah kebawah. Selain menjadi pemilih mayoritas, kelompok masyarakat pada kelas ini tak cukup memiliki perangkat pengetahuan, efikasi dan political interest yang memungkinkan adanya sikap kritis atau selektif terhadap ide dan gagasan calon pemimpin. Berbeda dengan kelompok menengah (middle class) yang lebih cenderung sulit diarahkan dan dimanipulasi.
Berkurangnya laporan tentang ditemukannya praktek politik uang secara signifikan dalam Pilkada di tiga provinsi di Jawa beberapa waktu lalu, memunculkan banyak pendapat menarik. Namun yang jelas, penurunan drastis praktek tersebut sebenarnya cukup membuat banyak pihak gembira. Hal tersebut secara formal bisa dianggap indikator kesuksesan Pilkada oleh penyelenggara. Pun bisa dikatakan sebagai oase kebudayaan politik yang menghapus rasa dahaga bangsa ini terhadap teriknya kualitas moral politik calon pemimpin daerah dan elit parpolnya.
Hingga saat ini, tercatat laporan tentang dugaan terjadinya politik uang menurun signifikan dibanding pada Pilkada serentak periode sebelumnya. Tentu hal tersebut merupakan pekerjaan rumah yang harus kita pikirkan bersama-sama sebagai anak bangsa. Namun tren positif menurunnya praktek pembelian suara ini harus tetap kita apresiasi. Meski tentu saja, ada hal-hal yang selalu harus kita waspadai dalam kondisi yang nampak baik-baik saja seperti ini.
Pertama, menguatnya gerakan populisme politik berbasis agama dalam dua tahun terakhir. Hal tersebut membuat corak keberpihakan politik pemilih sangat dipengaruhi bagaimana kemampuan dan strategi partai pengusung calon kepala daerah merangkul tokoh-tokoh agama yang pengaruhnya kuat secara lokal sebagai simbol politik yang religius. Representasi kandidat yang mewakili komunitas muslim moderat tersebut, diperebutkan untuk membawa kesan perdamaian setelah huru-hara politik berbasis SARA beberapa tahun terakhir yang menyisakan luka bagi banyak pihak. Keberadaannya, diyakini akan membuat pemerintah lebih _pro_ terhadap komunitas muslim. Padahal, bisa jadi keberadaan tokoh sebagai simbol agama dan kelompok kultural ini bisa jadi hanya sekedar komoditas meraup suara tanpa peran berarti dalam menjalankan pemerintah seperti yang dibayangkan basisnya.
Kedua, yakni polarisasi politik yang menguat antara pendukung Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta pasca Pilpres pada paruh 2014 hingga 2017, diyakini menguras sumber energi finansial partai politik. Hingga menyebabkan para elit parpol dan kelompok pemodal harus lebih berhemat, karena biaya politik bersumber dari konsolidasi yang sama, demi menjelang pertarungan selanjutnya. Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 semakin dekat, dalam banyak hal, kompetisi tersebut membutuhkan konsolidasi keuangan yang kuat antar aktor politik, sebagai modal finansial dan kampanye publik. Pilpres, mungkin diprediksi tak seepik sebelumnya, karena Pilkada di seluruh wilayah Indonesia hampir pasti mencatatkan hasil akhir kemenangan bagi poros pendukung Jokowi.
Namun tidak dengan Pemilu legislatif, para bakal peserta perebutan kursi parlemen tetap membutuhkan modal keuangan yang besar karena pertarungan tidak sekedar terpolar terhadap partai apa mendukung pasangan calon presiden yang mana. Sehingga saat Pilkada kemarin, secara teori seluruh biaya politik dari kucuran pemodal harus diirit dan dirampingkan. Sembari menghitung akumulasi dan senantiasa bersikap kalkulatif terhadap kompetisi lain yang menjelang didepan. Sebab Pileg tak hanya mempertandingkan satu parpol dengan parpol lain saja, namun juga kompetisi intern antar kontestan dari parpol yang sama. Kontestasi intern partai ini, bisa jadi lebih menegangkan dan menguras uang.
Penulis adalah Wakil Sekretaris Pimpinan Cabang GP Ansor Kabupaten Pati
0 Komentar