Sebuah Pengantar:  
ISLAM NUSANTARA
Episode  1.

ISLAM  adalah salah satu nama Agama yang ada di dunia. Sebelumnya ada nama agama  Animisme, Totenisme, Dinamisme, Hindu, Budda Jain, Sikh, Konfusius, Shinto, Zoroaster, Yahudi, Katolik, Protestan(Kristen) dan Islam. (Mukti Ali, Agama di dunia).
Islam sebagai nama  isinya apa? Isinya Syari’at. Syari’at itu apa, dan Isinya  apa saja? Syari’at  sebagaimana diungkapkan Yusuf Musa ialah “ Segala aturan yang ditetapkan Allah untuk kepentingan kebakan hambaNya  yang disampaikan oleh para rasul dan oleh Nabi kita Muhammad saw. baik berkenaan dengan persoalan kepercayaan yang disebut Iqtiqadiyah yang kemudian disusun menjadi ilmu Tauhid atau aqidah; maupun yang berkenaan dengan perbuatan lahir manusia yang disebut amaliyah praktis yang kemudian disusun menjadi ilmu fikih; atau yang berkaitan dengan aturan tingkah laku manusia yang kemudian disusun menjadi ilmu akhlak.(Lihat Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam, hlm.21). Dari pengertian ini terungkap bahwa isi pokok Syari’at adalah Aqidah, Fikih dan Akhlak. Ini artinya Islam sebagai salah satu nama Agama berisi ajaran pokok ialah Aqidah, Fikih dan Akhlak.

Ibarat Wonder, wonder itu hanya sebauh nama Produsen, ialah produsen roti. Roti itu isinya apa? Isinya macam-macam, ada roti keju, roti bolu, roti gedang, roti kering, roti basah dan sebagainya , yang orang sering menyebut singkat “ roti wonder,” padahal sesungguhnya wonder itu hanyalah sebuah nama produsen. Sama halnya Islam sesungguhnya hanya sebuah nama yang  isi pokonya atau ajaran pokoknya ialah aqidah, fikih dan akhlak.Tiga hal ini berbeda dan bisa dibedakan, tetapi sesungguhnya tidak seharusnya dipisah-pisahkan. Ketika dipisahkan, maka Islamnya tidak akan sempurna. Ada orang yang berakidah tetapi tidak beribadah. Ada yang beribadah tetapi tidak beraqidah dan berakhlak. Ada yang berakhlak tetapi tidak beraqidah dan beribadah. Dengan tidak dipisah-pisahkan ketiga isi pokok Islam ini secara baik, maka jadilah orang muslim yang kaffah.

Aqidah, fikih dan aklak sebagai isi pokok Islam yang  menjadi  sebuah ajaran Islam, tentu sebagai sebuah ajaran  harus mempunyai dasar hukum. Lalu, dasar hukumnya apa? Sudah kita maklumi dan kita ketahui bersama bahwa sumber pokok ajaran islam iala Al-Qur’anul Karim dan as-Sunnah Nabi saw. Karena al-Qur’an itu kalamullah, dan sunah nabi adalah kalam Muhmaamd rasulullah saw., maka kedua kalam ini perlu dipahami untuk dapat dilaksanakan. Siapa yang harus memahami: para sahabat, tanbi’in, tabiit tabi’in dan ulama mujtahidin. Mereka semua mempunyai kedudukan, kualitas, kemampuan, keilmuan, tempat, latar belakang dan konteks yang berbeda,  otomatis dalam menggali, menginterpretasikan, melahirkan dan menetapkan hukum  terjadi perbedaan. Maka ijma’pun hanya bisa dilakukan ketika para sahabat masih dalam satu wilayah dan kurun tertentu. Apakah sekarang masih memungkinkan ada Ijma’?

Lalu, apakah kita orang awam ini boleh sembarangan menafsirkan al-Qur’an dan As-Sunnah?  Boleh sih boleh, hanya saja yang menjadi persoalan apakah kita punya ilmu untuk itu? sama halnya ketika orang mengatakan: “ Kita harus kembali( hanya) pada al-Qur’an dan Sunnah, lalu bagaiman cara kembalinya?  Bukankan Rasulullah telah bersabda: “ barang siapa mengatakan al-Qur’an dengan ra’yu, maka tempat tinggalnya adalah di neraka.”( lihatAz-Zarqani, Manahilul Irfan juz 2, hlm.55)   “Barang siapa berdusta terhadap diriku hendaklah dia bersedia menempati kediamannya di dalam neraka.”( Hasbi, Sejarah dan pengantar hadis, hlm 55) Itulah sebabnya ketika rasulullah bersabda hubungannya dengan ijtihad tidak mengatakan “barang siapa,” tetapi “al-Hakim”. Seorang hakim ( Ahli ) yang yang menetapkan hukum berdasarkan Ijtihad, apabila tepat mendapatkan dua pahala dan apabila tidak tepat mendapatkan satu pahala.(Lihat Wahbah Zuhaily, al-Wasit fi usul al-Fiqh, jus 2, hlm 543),  Nah, Karen itu kalau bukan hakim, bukan ahli dan bukan berilmu tidak diperintahkan untuk ijtihad, cukup dengan ittiba; atau taqlid. Kenapa? Ya,  mana mungkin bisa tepat ijtihadnya kalau tidak ahli. Repotnya sekarang ini banyak yang merasa ahli hanya sekedar membaca tarjamah,  membaca kitab tarjamah hadis, liqa’liqa’ sebentar sudah berani  berijitihad, bahkan menyalahkan para ulama yang jelas ahli dalam  bidangnya. Akibatnya pemahamannya haya tekstual tanpa analisis kalimat, kata, strukur kata dan kontesk serta latar belakang sudah berani mengkafirkan dan membid’ah-bid’ahkan orang lain  yang tidak sepaham, bahkan  berani melecehkan para ulama dan cendekiawan bahwa mereka salah dan tempatnya di neraka! Jadilah ekpresi keagamaan dan perilaku kesehariannya mencerminkan Islam itu kaku, bringas, tidak nguwongke wong dan intoleran. Padahal rasulullah bersabda dalam  hadis yang panjang dimuat dalam Arbain hadis yang ke 30;”…. Allah sengaja mendiamkan atau belum mengatur banyak hal sebagai rahmat bagimu, bukan karena Allah lupa, maka janganlah diperdebatkan.” Artinya  dalam pemahaman terhadap ajaran Isam yang berbeda dan perilaku yang berbeda asal masih dalam koridor syari’at biarkan saja, nggak usah repot-repot ngurusin orang orang lain, apalagi mengkafirkan-kafirkan. Bukankah dalam satu majelis pengajian bersama para sahabatnya Rasulullah dawuh: “ Tidak akan masuk surga kalian sehingga kalian beriman, dan kalian tidak akan sempurna iman kalian kecuali saling mencintai. Aku tunjukkan pada kalian apabila kalian lakukan akan tumbuh saling mencintai di antara kalian, ialah sebarkan keselamatan dan kasih sayang di antara kalian.”( Lihat hadis dalam abain an-nawawi).

Bersambung...

Ditulis oleh KH. Saefudin Zuhri ( IKA-PMII Walisongo )