Doc. Tim penerbitan LKaP


Bagian 1.

Siapa Sosok Gus Dur?

Sebagian dari kita kaum muda terutama kalangan milenial yang lahir di tahun 2000an tentu mengalami kebingungan ketika ditanya mengenai sosok Gus Dur. Hal tersebut tentu sangat wajar mengingat Gus Dur lahir di tahun 1940 dan kemudian wafat di tahun 2009. Artinya kaum muda khususnya milenial mengalami persinggungan hanya sekitar 9 tahun dengan Gus Dur di kurun waktu 2000-2009. Bagi milenial yang beruntung barangkali mengingat sedikit tentang jejak kiprah Gus Dur secara langsung atau setidaknya mendapatkan cerita baik lisan maupun tulisan dari keluarga, Guru ataupun dari buku. Bagi yang sama masih asing mengenai Gus Dur, barangkali tulisan ringan ini dapat sedikit menjawab rasa penasaran tentang sosok Gus Dur dan jejak-jejak inspiratifnya bagi kaum muda milenial.

Ingatan sebagian besar masyarakat tentang Gus Dur adalah jargon khasnya “Gitu Saja Kok Repot”. Sebuah jargon yang “mungkin” berkesan meremehkan perkara, tetapi justru menyimpan makna agar selalu optimis dalah menghadapi masalah yang rumit dengan kepala yang dingin. Kalau ingatan yang penulis dan sahabat seangkatan penulis tentang Gus Dur adalah kebijakan libur sekolah selama puasa bulan ramadhan. Di masa Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia (meski hanya periode 1999-2001) , anak-anak sekolah bergembira dengan waktu libur yang sangat lama. Tentu kiprah Gus Dur tidak seremeh urusan libur sebulan dan jargon “gitu aja kok repot”, ada banyak hal serius dalam jejak langkah Gus Dur yang kita perlu gali. Sosok Gus Dur mungkin satu diantara dua orang Indonesia yang mendunia bersanding dengan Bung Karno. Maka menjadi hal yang benar jika kita sebagai generasi muda “mendaras” sejarah dan kiprah Gus Dur sebagai salah satu Bapak Bangsa yang layak diteladani.

Gus Dur adalah nama panggilan yang kemudian justru melekat hingga akhir hayat beliau dan bahkan hingga hampir satu dasawarsa wafatnya lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur dibandingkan nama aslinya. Abdurrahman Ad Dakhil adalah nama lahir yang diberikan ayahnya KH Wahid Hasyim, namun belakangan nama itu diubah menjadi Abdurrahman Wahid mengikuti nama bapaknya. Namun seperti lazimnya di tradisi pesantren, maka Abdurrahman Wahid yang merupakan anak seorang Kiai yang mengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang akhirnya membuatnya dipanggil Gus Dur (Gabungan dari panggilan Gus dan suku kata dari nama awalnya). Gus adalah sebuah panggilan khusus di kalangan Nahdliyyin bagi putra seorang kiai yang mengasuh sebuah pondok pesantren.

Latar Belakang Keluarga Gus Dur

Sejak lahir Gus Dur sudah membuat kontroversi yang membuat bingung orang lain. Ada dua versi mengenai waktu kelahiran Gus Dur, hal tersebut dikarenakan Gus Dur dikemudian hari mengaku tidak memiliki akta/surat keterangan lahir. Gus Dur hanya mengingat ia lahir tanggal 4 bulan 8 tahun 1940. Jadilah kemudian dalam catatan resmi kelahiran 4 Agustus 1940 sebagai waktu kelahiran Gus Dur. Belakangan dalam pengakuannya kepada Greg Barton (penulis Buku Biografi Gus Dur), tanggal 4 bulan 8 yang dimaksud adalah tanggal dan bulan dalam Islam. Jika dikonversi dalam kalender masehi, maka sesungguhnya Gus Dur lahir pada 7 September 1940. Jadilah kemudian ulang tahun Gus Dur selalu diperingati dalam dua waktu kelahiran versi hijriyah dan masehi tersebut.

Gus Dur adalah adalah putra pertama dari enam bersaudara anak pasangan KH Wahid Hasyim dan Nyai Hj. Sholehah. Gus Dur adalah cucu dari dua pendiri NU yakni KH Hasyim Asy’ari pendiri dan pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang dan KH bisri Syamsuri pengasuh ponpes Denanyar Jombang. Kedua kakeknya adalah pendiri dari organisasi Islam terbesar Nahdlatul Ulama’. Meski secara genealogis Gus Dur merupakan keturunan dengan nasab yang baik, akan tetapi masa kecil Gus Dur dilalui dengan keprihatinan. Pada tahun 1949, Wahid Hasyim ayahnya diangkat Presiden Soekarno menjadi Menteri Agama pertama. Namun berselang 4 tahun yakni pada April 1953,  Gus Dur dan ayahnya mengalami kecelakaan saat akan meresmikan madrasah di Jawa Barat. Ayahnya meninggal dan Gus Dur kemudian harus menjalani masa remaja sebagai seorang yatim bersama ibu dan 5 orang saudara kandungnya.

Seorang Pembelajar dan Kutu Buku

Gus Dur adalah pribadi yang menolak pengkultusan “nasab”, maka meskipun dia oleh sebagian orang dianggap berdarah biru karena keturunan Ulama’ besar pendiri Nahdlatul Ulama’, dia dengan keras menolak diperlakukan istimewa oleh orang-orang disekitarnya. Semenjak kecil dia menjadi seorang pembelajar yang tekun, karena menjalani hidup untuk perjuangan membutuhkan usaha-usaha dari diri bukan dari nasab. Semasa kecil Gus Dur belajar ilmu agama dari kakeknya KH Hasyim Asy’ari sehingga pada usia lima tahun dia sudah lancar membaca Al Qur’an. Gus Dur kemudian mengikuti les bahasa Belanda ketika pindah ke Jakarta mengikuti ayahnya yang menjadi menteri agama. Bekal ilmu bahasa asing ini yang kelak kemudian membuat Gus Dur dengan mudah melahap banyak literatur asing seperti karya-karya Karl Marx.

Selepas Sekolah Dasar, Gus Dur melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta dengan sekolah di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) sekaligus mondok di Pesantren Krapyak. Gus Dur kemudian memilih tinggal di rumah petinggi Muhammadiyah yang kelak akan mempengaruh dimensi pemikiran Gus Dur yang luas dan beragam. Hobi membaca Gus Dur sangat “akut”, dalam waktu singkat ratusan karya sastra seperti karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Minat Gus Dur pada musik klasik juga mempengaruhi “style” berfikir Gus Dur yang mendalam, filosofis dan substansial. Pada usia remaja Gus Dur telah melahap karya ekonomi Politik Vladimir Lenin, ketika remaja yang lain bahkan kesulitan membaca karya ilmiah berbahasa asing. Gus Dur lebih senang menghabiskan waktu dengan membaca dan berdiskusi ketimbang bermain.

Selepas dari SMEP Jogjakarta, Gus Dur melanjutkan pendalaman keilmuannya ke pesantren Tegalrejo asuhan KH Chudlori dengan belajar tasawuf dan ritus-ritus sufistik semacam ziarah. Gus Dur kemudian melanjutkan belajar dengan menjadi santri di Tambak Beras Jombang untuk memperdalam keilmuannya. Pada usia 22 tahun Gus Dur berhaji dan kemudian langsung ke mesir untuk kemudian melanjutkan studi ke Universitas Al Azhar. Di Universitas ini Gus Dur bersama Gus Mus (KH Mustofa Bisri) menempuh studi. Apa yang dilakukan Gus Dur? Gus Dur tidak pernah masuk kuliah dan menghabiskan uang saku untuk membeli buku dan membacanya sampai tuntas. Gus Dur gagal lulus dari al Azhar, tetapi dia telah memperlihatkan betapa dia adalah seorang pembelajar yang “mengerikan” dengan menguasai literatur berbahasa arab, inggris, dan bahasa asing lainnya.

Kegagalan Gus Dur di Mesir membuat dia pindah ke Irak dan kemudian berhasil menyelesaikan studinya. Di Irak Gus Dur semakin dalam bersinggungan dengan literatur Islam karya sarjana barat, karya orientalis membuka mata Gus Dur bahwa pembaharuan pemikiran Islam sangat diperlukan. Selepasnya Gus Dur ke Jerman, Belanda, dan Amerika untuk mengarungi lautan keilmuan. Gus Dur barangkali adalah intelektual NU (tradisionalis) pertama yang melahap ragam dinamika pemikiran Islam baik dari tradisionalisme NU, modernisme Muhammadiyyah, Gagasan Pan islamisme Timur tengah maupun dari Islam dalam perspektif dunia barat. Dia melahap semua diskursus yang sangat beragam tanpa kemudian menjadi “ekstrim” pada salah satu corak tersebut.

Penulis : Abdul Ghofar