Tanggal 1 Oktober merupakan tanggal dan bulan penting bagi sahabat/i kader PMII dimana tanggal dan bulan itu adalah haul salah satu ketua Pengurus Besar PMII Mahbub Djunaidi, sosok yang pernah menahkodai PMII selama tujuh tahun. Begitu juga kader rayon PMII di lingkungan UIN Walisongo yang memperingati haul ke-23 bung Mahbub Djunaidi pada hari Selasa, 2 Oktober 2018. Kegiatan ini sangat menarik mengingat agenda semalam diselenggarakan oleh “aliansi” rayon-rayon yang ada di UIN Walisongo.
Dalam konteks kasuistik kegiatan ini mengindikasikan kemandirian rayon-rayon yang ada di UIN Walisongo,mengingat disaat Komisariat tidak memperingati haul Mahbub Djunaidi secara seremonial (penulis khusnudzon pengurus komisariat minimal menghadiahkan al fatihah dibatin mereka masing-masing) aliansi rayon ini dengan cerdas menginisiasi sebuah kegiatan yang cukup bagus untuk setidaknya gerbang awal memperkenalkan kepada kader-kader siapa sosok Mahbub Djunaidi sang pendekar pena itu.
Catatan Nobar dan Diskusi
Kegiatan diawali dengan istghosah bersama yang dipimpin sahabat Syaifuddin kader rayon tarbiyah. Dilanjutkan pentas musik dan pembacaan puisi oleh kader- kader rayon. Sesi inti dari kegiatan ini adalah nonton bareng film dokumenter Mahbub Djunaidi karya Omah Aksara.
Film tersebut berisi beberapa cerita kawan-kawan Mahbub tentang kepribadian sang pendekar pena itu, bagaimana ia intens membaca dan menulis serta bergerak melawan otoritarianisme orde baru. Tulisannya yang khas bercorak jenaka tak mengurangi ciri khas tulisannya yang lain yaitu kritis. Kekritisan itu pula yang mengantarkan Mahbub ke penjara dimasa orde baru.
Dalam film itu juga diceritakan bagaimana Mahbub dengan berani dan tegas mengkritik pidato Soekarno yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara agraris, padahal menurut Mahbub Indonesia sejak nenek moyang dulu adalah Negara dengan kultur maritim persatuan geografis antar pulau di Indonesia menurut Mahbub akibat dari kultur agraris itu. Kritik tersebut menegaskan independensi pikiran dan tindakan Mahbub. suatu hal yang hari ini menurut penulis jarang dimiliki kader PMII. (baca; problem patronase senioritas).
Diskusi film dipantik oleh dua pemantik, pemantik 1 bercerita soal mahbub terkait semangat literasi diimbangi aksi, ia juga banyak berbicara tentang bagaimana idealnya PMII menurutnya, serta beberapa pengalamannya ketika dulu masih aktif di PMII. Pemantik 2 awalnya memberikan pernyataan tentang pengalamannya membaca 2 buku karya Mahbub yang berjudul “Dari Hari Ke Hari” dan “ Politik Kampus Tingkat Tinggi” tidak banyak yang diulas dari kedua buku itu, ia lebih banyak berbicara soal pentingnya kader PMII membaca dan menulis, tak lupa demo menyuarakan aspirasi masyarakat tertindas, ia juga menekankan pentingnya membaca sebelum demo. Ada beberapa saran /kritik menurut hemat penulis yang perlu penulis sampaikan untuk perbaikan diskusi kedepan, apapun itu temanya.
Mengingat tema kegiatannya semalam adalah “ Relevansi Literasi Mahbub Djunaidi di Era Global” ekspektasi penulis diskusi ini akan membicarakan tentang karya –karya mahbub, bagaimana kemudian bacaan peserta terhadap karya – karya Mahbub serta nilai apa yang bisa kita bisa ejawentahkan dalam kehidupan sehari-sehari, tetapi ekpektasi penulis terlampau tinggi, pembicara terlamapu mendapat porsi bicara terlalu lama sehihngga waktu Njagong bersama soal Mahbub banyak tersita.
Pembicara sering OOT (out of the topic) pembicaraannya sering kali sulit untuk dikorelasikan dengan Mahbub dan tema yang tertera. Sehingga waktu terbuang sia-sia haya untuk mendengarkan “curhatan” pemantik.
Pemantik sering kali berbicara soal kisah cinta entah kisah cinta pemantik atau orang lain yang menurut hemat penulis bernuansa seksis, secara tidak langsung menempatkan wanita sebagai objek pembicaraan. Terlepas pendapat penulis yang subjektif , nampaknya di PMII sejauh penulis tahu memang tidak ada batasan seksis di Organisasi yang mendaku moderat ini. Saran penulis minimal setiap rayon punya kesepakatan tidak tertulis soal batasan seksis ini, ini penting mengingat selama ini kader perempuan juga memiliki tanggung jawab sama terhadap PMII, tidak baik selalu menempatkan kader perempuan sebagai objek pembicaraan apalagi “menomor duakan-nya”
diskusi yang selesai kurang lebih pukul 01.00 WIB ini hanya di tanggapi satu penanya, artinya apa? Tidak adanya batasan waktu untuk pemantik membuat pembicaraan melebar dan tidak ada aroma diskusi melainkan model seminar dengan pemantik satu arah.
Terlepas dari beberapa point kritik saran diatas kegiatan “aliansi rayon” ini sangat positif, apalagi menurut salah satu panitia kegiatan ini dilaksanakan dengan persiapan yang mepet. Tentu maklum jika terjadi kekurangan disana -sini
Kedepan harapan penulis ada diskusi yang lebih egaliter dengan memberikan lebih banyak porsi bicara kepada peserta diskusi. Tentu hal itu bisa terlaksana dengan syarat peserta mau membaca sebelum diskusi. Wallahu’alam
Fathan Zainur R, Penulis adalah kader PMII dan peserta diskusi peringatan haul Mahbub Djunaidi yang diadakan 2 Oktober 2018.
0 Komentar