Doc. LKaP

Terkadang tak sedikit manusia yang beragama, namun tak tau hakikat dan tujuan dari kata “beragama” tersebut. Banyak orang yang memilih untuk beragama tetapi ketika ia merasa bisa dan merasa menguasai agama tersebut, ia langsung menghadirkan sekat pemisah kepada manusia lain yang berbeda agama atau bahkan yang satu agama namun berbeda aliran dengannya.

Sejak dulu, saya ingin sekali membaca buku karya Mbah Sujiwo Tejo dan Mbah Kamba yang berjudul “Tuhan Maha Asyik” guna sedikit mendalami tentang hakikat beragama. Setelah saya bisa membaca buku tersebut dengan cara meminjam kepada salah satu kakak tingkat saya di perkuliahan sekitar lima hari lalu, saya jadi tertarik untuk membuat tulisan ini juga sekaligus mengerjakan tugas yang di berikan oleh si pemilik buku.

Dalam buku tersebut saya menemukan banyak hal yang saya cari selama ini. Cakrawala berfikir saya mulai terbuka di antara kemampuan saya yang sangat terbatas. Saya  menyesal dulu sering memandang remeh orang yang berbeda agama atau berbeda aliran dengan saya. Karena dari buku yang saya baca, di antara misi-misi kebanyakan agama yang ada di dunia adalah kebhinekaan. Jadi sangat ironis bila agama di jadikan sekat pemisah antar manusia. Wajar bila ada yang menyakiti diri sendiri di nilai tak waras alias gila. Tapi tak wajar bila agama di jadikan alasan bagi manusia untuk saling membenci dansaling menyakiti.
Seharusnya agama-agama mengajarkan kebijaksanaan, tetapi tak sedikit orang-orang yang mengaku beragama justru lebih sering mempersoalkan siapa-siapa yang masuk surga dan siapa-siapa yang masuk neraka. Hakikat menghamba (beragama) adalah Cinta, dan Cinta tak butuh alasan. Cinta tak butuh perhitungan atau kalkulasi.

Pada hakikatnya nurani manusia itu mengakui adanya tuhan, namun terkadang keadaan memaksa seseorang untuk tidak meyakini adanya tuhan dan menjadikan orang tersebut tidak beragama atau atheis. Dulu Negara Uni Soviet sebelum berperangpun mengadakan upacara doa, padahal mereka kebanyakan tidak beragama.

Agama itu berlaku bagi semuanya. Bukan hanya satu golongan, suku atau daerah tertentu saja. Maka dari itu dalam beragama butuh proses akulturasi. Karena mungkin tak ada agama yang bisa bertahan tanpa penyesuaian. Oleh karenanya saya hanya sedikit tersenyum ketika ada yang mengatakan Agama ini harus mengikuti adat daerah ini, agama itu harus mengikuti adat daerah itu.

Kebanyakan otoritas agama beranggapan bahwa untuk berhubungan dengan tuhan harus melalui ritual-ritual formal. Padahal Tuhan sendiri mengajak untuk terus berhubungan dengan-Nya di setiap ruang dan waktu.

Berbeda pemikiran itu karena berbedanya cara memandang, maka tak sepantasnya kita menjadikan hal itu sebagai alasan untuk saling bermusuhan. Negri ini di bangun dengan keringat, air mata dan darah para pejuang yang bukan hanya berasal dari satu daerah. Bukan pula berasal dari satu suku, ras, atau agama tertentu, maka dari itu kita berhak menentukan pilihan namun kita tak berhak mencela pilihan orang lain.

Oleh karenanya, bagi yang beragama Islam jadilah Islam yang tersenyum, yang beragama Kristen jadilah Kristen yang tersenyum, yang Budha jadilah Budha yang tersenyum, yang Hindu jadilah Hindu yang tersenyum dan yang Konghucu jadilah Konghucu yang tersenyum.

*Ditulis oleh kader yang memiliki nama pena BerandalBremoralF02