Doc. LKaP


Sejatinya, perempuan telah berhasil memainkan peran sosial yang lebih berat dibandingkan laki-laki. Peran ganda dan sulit (difficult double commitment) yang harus dijalankan perempuan menuntut keberhasilan yang sama dari dua belah sisi, yakni di satu sisi perempuan harus mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang berhasil menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga untuk suami dan anak-anaknya, di sisi yang lain, di luar rumah ia dituntut juga untuk memerankan diri sebagai lambang harmonisasi keluarga yang harus tampil elegan, anggun, dan menampilkan kewibawaan keluarga, di samping juga tidak jarang masih ditambah beban tugas dan profesi lainnya di tengah publik. Peran ganda inilah yang telah dengan gemilang dimainkan oleh sarjana Muslimah kita yang telah berhasil dengan prestasi akademis dan sosial, namun tetap bijaksana sebagai ibu rumah tangga.

Sekali lagi harus dikatakan bahwa memang sulit mengubah paradigma. Oleh karena itu, kita yang sudah berusaha untuk menjadi progresif harus terus mengupayakan, meskipun di sana sini banyak ditemukan kendala. Kalau ditarik pada kondisi riil masyarakat Indonesia saat ini, setidaknya kita dapat memetakan ada beberapa problem besar untuk mengubah paradigma tersebut. Kendala-kendala tersebut di antaranya adalah:

Pertama, kesenjangan pendidikan antara laki-laki dengan perempuan. Memang pada level pendidikan dasar dan menengah hal ini sepertinya tidak dirasakan sebagai masalah. Akan tetapi kalau diamati pada tataran pendidikan tinggi apalagi setingkat program doktor, maka akan nampak sangat jelas perbandingan antara mahasiswa laki-laki dan perempuan. Hal ini dikarenakan pemberian kesempatan bagi kaum perempuan, setidaknya oleh suami dan keluarga besarnya tidak sebesar dengan apa yang diberikan pada laki-laki (oleh istri) dan keluarganya.
Padahal kita tahu bahwa keberhasilan pendidikan menjadi kunci keberhasilan rumah tangga, dan pada gilirannya akan mengantarkan pada keberhasilan masyarakat dan kesejahteraan kehidupan berbangsa yang lebih luas.

Kedua, kita sulit mengubah paradigma kurikulum pendidikan, dikarenakan pendidikan kita masih banyak mengalami problema filosofis, di antaranya masih sangat lengket dan terikat dengan politik. Perubahan sosial (social change) termasuk dalam pendidikan sulit diwujudkan, jika politik yang notabene sarat dengan kepentingan dan berujung pada kemenangan satu golongan dan kekalahan yang lain, masih menyertai perumusan kebijakan pendidikan yang semestinya berpijak pada kepentingan bersama.

Ketiga, pemahaman yang salah tentang kesetaraan gender. Paradigma kesetaraan gender sering disalah tafsirkan dengan penghapusan kodrat dan ruang privat perempuan. Sering juga gender dikonotasikan sama dengan seks yang tabu dibicarakan dan cenderung harus dikendalikan. Sejatinya, gender harus dipahami dengan posisi perempuan dalam konteks sosial yang memiliki kesempatan yang sama di ruang public untuk berperan, berdaya guna, membangun, berkreasi, berimajinasi, dan sebagainya.
Kendala-kendala tersebut akan senantiasa menyertai upaya penyetaraan jender. Namun usaha untuk meminimalisasi kendala tersebut juga harus terus diupayakan. Beberapa upaya (alternative action) untuk itu dapat dilakukan diantaranya dengan hal-hal berikut:

(1) Pemberdayaan perempuan dalam berbagai peran sosial, semisal pendidikan, kesenian, keagamaan,              budaya, politik, hukum dan seterusnya;
(2) pemberian akses yang sama atara laki-laki dan perempuan dalam pengembangan diri, semisal dalam.        menempuh pendidikan tinggi, dan sebagainya;
(3) pemberian fasilitas yang sama antara laki-laki dan perempuan;
(4) partisipasi yang aktif harus diperankan oleh kaum perempuan, dalam hal ini perempuan harus.                     mengambil inisiatif untuk memerankan dirinya dalam ruang publik;
(5) penyediaan anggaran (budged) yang cukup dan seimbang antara kepentingan laki-laki dan perempuan.

Progresifitas umat Muslim memang tidak bisa didapatkan secara instant, melainkan memerlukan proses yang panjang, khususnya dalam mengawal kesetaraan Gender. Proses tersebut harus sudah dimulai saat ini, oleh kita dan dengan upaya yang tentu saja semampu yang kita bisa.

*Ditulis oleh Luq Yana Chaerunnisa ( Pengurus LPSAP )