Peristiwa Limbangan, pada akhirnya tidak hanya soal terbakarnya secarik kain bertulis kalimat tauhid. Sementara pihak yang mengetahui efektivitas penggunaan simbol agama dalam menggiring sentimen penganutnya semakin menjadi-jadi melesakkan hasutannya. Seperti biasanya, arus sentimen yang telah menggeliat ini di sana-sini dibumbui dengan berbagai macam hoax guna menguatkan (yang berfungsi sebagai booster); mulai dari kabar terkonsolidasinya massa untuk turun aksi di tiap-tiap kota hingga kabar menangisnya Erdogan atas situasi yang terjadi di tanah air.

Sebagai bangsa yang dalam darah dagingnya mengalir agama, maka sudah barang tentu mengasosiasikan gerakan politik pada simbol-simbol keagamaannya akan membuahkan dukungan, minimalnya simpati. Setidaknya, itu pasti yang diangankan oleh para pengusungnya, termasuk HTI. Mereka tahu betul bahwa sedikit kesalahan menyinggung apalagi menista agama, akan segeramenyasar simpul-simpul kesadaran tiap-tiap orang kemudian berkembang menjadi gerakan fisik yang akan bisa dipanen pada saat yang tepat di musim politik ini. Ini sudah terbukti dalam Pilkada DKI 2017!

Ada ungkapan kuno, “Tidak perlu mengalami, untuk mengetahui, cukup belajarlah pada yang telah mengalaminya,” mungkin ini tepat buat kita saat ini. Barangkali kita belum yakin betul jika dikabarkan bahwa golongan yang gemar memegang petaka tersebutlah yang telah berkontribusi besar pada kehancuran negara-negara Timur Tengah, sebagaimana dilansir oleh laman-laman islam moderat belakangan. Mungkin kita masih belum yakin juga, bahwa golongan yang nampak tidak pernah kasar, apalagi tampak jahat itu, benar-benar akan mampu memecah belah kesatuan bangsa kita ini. Sampai kita dibuat terhenyak oleh kemampuan mereka untuk memperbesar gelombang sentimen dan gerakannya dengan melakukan penggalangan pada pihak-pihak yang memiliki irisan ideologis dari yang paling moderat sampai ke yang paling ekstrim. Mereka bersatu meskipun di tanah kelahirannya mereka saling menghabisi. Indonesia dalam hal ini memang selalu aneh!

Peristiwa Limbangan harus dipahami sebagai upaya provokasi elemen eks-HTI untuk mengacaukan kondusifitas berbangsa dan bernegara dengan menumpang pada pelaksanaan peringatan Hari Santri Nasional. Hal ini meniscayakan semua elemen bangsa, tidak hanya, Ansor-Banser, NU, tapi semua masyarakat Indonesia untuk selalu waspada pada gerakan-gerakan seperti ini, terutama aparat keamanan yang jelas memiliki otoritas.

Ada kesan bahwa ini hanya perseteruan Ansor-Banser vs HTI semata, atau ini hanyalah problem internal di tubuh Islam dan bukan masalah yang cukup serius bagi bangsa Indonesia, sehingga banyak pihak yang acuh. Ini pandangan keliru. Islam, umat Islam dan sejarahnya adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah kebangsaan Indonesia, selalu begitu dan akan tetap demikian. Artinya ini masalah kita bersama. Harus diakui bahwa dalam Islam pun memiliki mekanisme manajemen konflik tersendiri, akan tetapi ketika sudah masuk pada dimensi kebangsaan dan kenegaraan pengaturan terhadap konflik apapun di dalamnya kemudian pasti akan menempatkan mekanisme negara sebagai cara yang diutamakan.

Artinya, ini bukan soal kecamuk internal umat muslim saja. Justru negara harus mengatasi ini, jangan sampai pancingan-pancingan kaum provokator mendahului menguasai opini publik untuk kemudian dijadikan kendaraan pada kerusakan sosial yang lebih parah. Di sinilah pula kita melihat kelompok-kelompok yang masih ragu-ragu menetapkan posisinya akan bahaya kelompok sejenis Hizbut Tahrir dkk ini. Mestinya mereka sadar, bahwa sikap ambigu mereka telah berkontribusi untuk terus menyusup di ranah sosial-politik mereka.

Peran Ansor-Banser
Respon cepat tentu sangat diperlukan untuk segera menindak ini agar tidak berkembang kemana-mana apalagi hari ini arus politik pilpres sedang distel kenceng. Kemudian, respons jangka panjang nya mengingatkan kita bahwa upaya pembinaan terhadap eks-eks anggota ormas terlarang ini harus terus berkelanjutan dan dilakukan dengan cara-cara yang simpatik. Terutam dilaksanakan oleh mereka yang memang memiliki kepahaman yang mendalam terkait agama, karena meskipun ini kelompok politik, tingkatan ideologisasi mereka telah sampai pada level dimana gerakan yang mereka lakukan dipahami sebagai amaliah keagamaan, padahal bukan.

Di sinilah peran Ansor dan Banser, kan mereka ini meskipun sering ditampilkan sebagai pasukan paramiliter, sesungguhnya kan santri yang kepahamanan agamanya cukup mumpuni. Kalo nyanyi-nyanyi dan yel-yel tempur itu hanya untuk hiburan saja. Mereka ini kalau tidak diperintah kiayi nya tidak bakalan melakukan tindakan ofensif atau yang aneh-aneh. Kita tahu sendiri mana ada kiyai yang memerintahkan untuk berbuat yang menyalahi atauran?

Soal bendera HTI yang bertulis kalimat Tauhid umat Islam agar jangan terlalu mudah dikibulin orang-orang yang bernafsu berkuasa dengan tulisan Arab itu. Apalagi orang-orang NU, ini sudah banyak putusan hukum yang diproses istimbath yang ketat tentang membakar tulisan-tulisan arab atau ayat suci Al-Qur’an. Tinggal dibaca.

Tauhid itu dijadikan keyakinan, tindakan dan dari keseluruhan hidup kita ini, apalagi kecuali mentauhidkan Dia? Begitu seharusnya. Diukur kokoh dalam hati itu maksudnya semua gerak lahir dan gerak rohani kita itu hanya didedikasikan untuk Nya. Itu lah Tauhid yang harus kita bela sampai titik darah penghabisan, bukan bendera, bukan ormas bukan politik khilafah, bukan! Islam koq menuhankan simbol. Tuhankan Allahnya!

Itulah ajaran para ulama kita sepanjang sejarah tradisi keislaman. Tidak berubah, istiqomah dan tanpa slogan-slogan politik, tanpa bendera politik tanpa simbol-simbol publik yang mencolok. Pada barisan ulama kita sudah klir yang mana harus disemai dan dikembangkan secara kultural dan yang mana dari tugas-tugas keagamaan yang harus diperjuangkan secara struktural (politik). Islam nyatanya tetap hidup dan kuat meskipun berada di bawah sistem kekuasaan politik kolonialis Belanda selama 350 tahun, inilah keampuhan ulama-ulama kita dalam menjaga, membesarkan, memuliakan Kalimat Tauhid.

Umat Islam di Nusantara mestinya menjadi semakin teguh keyakinannya pada metode-metode perjuangan ulama tradsionalis yang telah membuktikan kebenarannya. Kalimat Tauhid telah mereka tanamkan, ukirkan secara kokoh pada kalbu-kalbu terdalam, bukan pada lukisan dan sablonan bendera partai politik. Go to hell with your black flag!!


Tulisan ini diambil dari http://nuonline.com yang ditulis oleh Fuad Al Athor