Doc. Internet / Lukisan karya M. Surya Gumilang |
Adakah isu-isu yang lebih menarik selain perdebatan Jokowi dan Prabowo? Perdebatan wacana politik yang saat ini sedang dianggap ramai karena mendekati pemilu serentak adalah isu-isu perempuan. Isu perempuam juga tidak kalah menarik dengan perdebatan politik. Karena semakin besar jumlah perempuan dibanding laki-laki di kalangan masyarakat justru akan semakin asyik untuk kita bincangkan. Namun sangat disayangkan sekali kurangnya kesadaran perempuan terhadap ketidak pahaman gender juga semakin meningkat di kalangan masyarakat itu sendiri sehingga menimbulkan ketidakadilan. Sampai detik ini ternyata masih banyak masyarakat yang belum memahami antara gender dan seks. Itu terbukti ketika banyak masyarakat yang kurang menempatkan laki-laki dan perempuan pada peran masing-masing dengan pekerjaan diluar rumah (publik), sementara perempuan dianggap lebih cocok dengan pekerjaaan rumah (domestik).
Dalam hal ini masyarakat Indonesia terutama pada perempuan masih mengalami diskriminasi dan berbagai bentuk ketidakadilan akibat bias gender. Itu adalah salah satu contoh persoalan tingkat sosial masyarakat. Adapun pula contoh ketidakadilan gender tingkat politik. Pada tahun 2019 ini adalah musim-musim pemilihan serentak. Bahkan banyak pula perempuan yang sudah terusung oleh partai politik. Namun yang perlu kita ketahui apakah dengan adanya banyak perempuan yang di usung oleh partai politik itu sudah menandakan bahwa ketidakadilan gender sudah selesai? Ternyata belum. Memang sudah banyak sekali perempuan sekarang ini yang mencoba eksis dalam dunia politik tapi sangat di sayangkan bahwasanya dari 47% perempuan yang telah mendaftarkan diri sebagai Calon anggota legislatif hanya 19% dari mereka yang mendapatkan nomor urut teratas.
Dari persoalan ini kita bisa menyimpulkan bahwa penempatan nomor urut perempuan di nomor-nomor tertinggi seperti satu dan dua terbilang masih rendah atau bisa dikatakan hanya sebagai komoditas. Secara tidak di sadari ini adalah salah satu bentuk persoalan ketidakadilan gender. Adapula perempuan yang bisa menempati posisi di sektor publik baik di pemerintahan, parlemen, politik maupun perusahaan tapi tidak menutup kemungkinan kedudukan mereka hanya saja di bawah laki-laki, tidak sebagai pengambil keputusan. Nah melihat realita sosial yang seperti ini apakah kesetaraan gender sudah terwujud? Tentu saja belum. Oleh sebab itu kita sebagai perempuan harus paham dan cermat dalam menanggapi persoalan ketimpangan gender. Kita harus bisa mengetahui dimana letak ketidakadilan dan persoalan masalah yang selalu menimpa kaum perempuan.
Apa Perbedaan Gender dan Seks?
Gender adalah suatu perbedaan antara laki-laki dengan perempuan yang dapat dipertukarakan dan tidak bersifat kodrati. Maksud dari kalimat tersebut adalah segala sesuatu yang dapat dipertukarkandengan laki-laki maupun perempuan secara sosial. Contoh dari gender sendiri itu adalah karakter, peran, sifat, pekerjaan dll. Kalau lihat dari realita sosial mungkin doktrin yang sudah melekat dalam mindset masyarakat adalah perempuan itu notabennya anggun, halus dan sopan santun. Sehingga laki-laki berkebalikan dari sifat perempuan yaitu dominan keras, gagah dan agresif. Padahal kalau kita melihat realita yang ada tidak semua perempuan itu lemah bahkan banyak laki-laki yang sering menangis juga. Dan sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu.
Adapun seks, seks adalah suatu perbedaan yang sifatnya permanen atau dapat kita sebut dengan kodrati. Contoh dari kodrat adalah ketika perempuan memiliki payudara, laki-laki tidak memiliki payudara. Dan ketika laki-laki memiliki jakun, namun perempuan tidak memiliki jakun. Laki-laki memiliki penis tapi perempuan memiliki vagina. Nah, maka dari itu disitu tidak ada kedudukan atau bentuk biologis tubwuh yang tidak dapat dipertukarkan. Seks juga bisa dilhat dari kondisi fisik dan postur tubuh manusia.
Berdasarkan salah satu penemuan Mead, beliau menganalisis bahwa dalam sejarah dan kebudayaan masyarakat barat dengan kepribadian laki-laki dan perempuan. Seperti yang kita ketahui bahwasanya perempuan itu identik dengan halus, cengeng, lembut dimana karakter dan sifat itu jauh dari kata kekerasan dan selalu berbanding lawan dengan sikap seorang laki-laki. Bahkan bisa dikatakan laki-laki itu lebih menguasai dan memiliki seksualitas yang kuat. Namun, ternyata dalam penelitian yang sudah dilakukan oleh mead jauh lebih berbeda pandangan dari apa yang telah masyarakat anggap sampai saat ini. Dan dari proses penelitian yang telah mead lalui, beliau menyimpulkan bahwa salah satu faktor penentu karakter dan sifat bukanlah jenis kelamin melainkan bisa datang dari kepribadian antar masyarakat, dari didikan diri atau bisa jadi budaya yang sifatnya turun temurun. Mead mengatakan bahwa gender itu dinamis. Dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat juga. Bahkan gender sendiri itu bisa berubah karena perjalanan sejarah atau karena kemajuan pembangunan. Atau bisa dikatakan sifatnya situsional masyarakat. Namun kalau kita benturkan dengan realita sosial yang ada doktrinanisasi mengenai gender masih melekat bahwa perempuan itu selalu dibawah laki-laki. Jika hal-hal yang seperti ini tetap dilanjutkan dan tidak ada pemahaman untuk masyarakat maka akan selalu timbul ketimpangan gender.
Pokok wacana bahasan gender mungkin tidak terlalu dipermasalahkan tapi mengapa selalu menjadi perdebatan dalam perubahan sosial yang ada pada masyarakat? Semua itu karena ketidakadilan gender selalu kerap terjadi. Berbagai macam media masa juga selalu menyajikan isu-isu dimana content nya juga berisikan tentang penolakan diskrimnasi mengenai kaum perempuan. Karena ketidakadilan gender disini hampir terjadi pada setiap tingkatan lini kehidupan. Mulai dari ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainnnya. Dan semua itu menghasilkan ketimpangan gender. Pertama, Subordinasi (penomorduaan) terjadi karena pandangan masyarakat yang menganggap bahwa perempuan itu mudah terbawa suasana (emosional). Sehingga masyarakat menganggap bahwa perempuan tidak perlu diletakkan di posisi yang terpenting. Semisal masih sedikitnya perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan dan penentu.
Kedua, Marginalisasi atau kemiskinan. Timbulnya peminggiran dan kemiskinan ini karena adanya perbedaan gender antara laki-laki dengan perempuan. Dengan adanya ketidakadilan ini membuat perbedaan jenis kelamin sangat terlihat jelas. Contohnya banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh laki-laki baik perempuan, namun dengan adanya marginalisasi ini membuat pihak perempuan tersingkirkan perannya dan tidak bisa menjalankan pekerjaan tersebut.
Ketiga, yakni Stereotipe ( pelabelan). Hingga sampai detik ini banyak sekali stereotipe dari masyarakat yang telah mereka asumsikan semakin melekat pada mindset-mindset lingkungan. Seolah-olah perempuan dimata masyarakat terlihat sangat rendah. Contoh yang dapat kita ambil dan tidak asing yaitu masak, macak dan manak (3M). kalimat itu identik dengan ciri khas untuk kaum perempuan meskipun sebenarnya perempuan mampu melakukan hal lebih selain itu.
Keempat, yakni Violence ( kekerasan) merupakan tindakan agresi dan perlakuan yang tidak patut dilakukan yang menyebabkan penderitaan dan menyakiti orang lain atau lawan jenis. Semisal kekerasan rumah tangga, penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dan lain lain. Terakhir yakni tentang Double burden (beban ganda). Beban ganda artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin sehingga menimbulkan beban yang berlipat ganda. Hal ini sering lebih banyak terjadi pada kaum perempuan. Perempuan seringkali dianggap peran yang yang statis dan tetap. Semisal perempuan yang bekerja diwilayah publik, namun mereka juga harus melakukan beban mereka di wilayah domestik. Meskipun itu dianggap biasa saja namun semua tanggung jawab masih tetap saja berada pada pundak perempuan.
Kita harus mampu menjadi perempuan yang tangguh dan mampu bersaing kualitas dengan laki-laki. Kader perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Gus Dur harus mampu berkompetesi didalam segala bidang. Dan kader PMII Rayon Gus Dur harus mampu membuktikan bahwa kader perempuan mampu melampaui batas maksimal kualitas laki-laki. Tidak hanya harus bersaing dalam segi kualitas atau intelektual saja, namun kita juga harus mampu mengamati dan ikut serta memikirkan kaum perempuan walaupun memang diperlukan analisis yang kritis untuk memahami persoalan-persoalan gender yang menimpa perempuan. Meskipun dikatakan tidak begitu mudah untuk menganalisis, semua itu tidak menjadikan kita untuk berhenti berpikir dan bergerak. Sebagai kader perempuan yang cerdas kita juga harus mampu mengupayakan dan memperjuangkannya. Dan kita sebagai kader PMII dimana kita telah di ajarkan bagaimana layaknya sikap perempuan terhadap pengawalan dan pengembangan advokasi terhadap isu-isu terkini yang dibimbing dan diarahkan oleh Lembaga Pengembangan Studi Advokasi dan Perempuan (LPSAP) yang merupakan Lembaga Semi Otonom (LSO) yang dimiliki oleh PMII Rayon Abdurrahman Wahid.
Ditulis oleh perempuan yang mempunyai nama pena Anjar (Calon penulis dimasa yang akan datang). Merupakan kader PMII rayon Abdurrahman Wahid dan saat ini juga tengah aktif di lembaga pers di kampus.
0 Komentar