Oleh : azad

Mengenal Paradigma Pendidikan
(Konservatif, Liberal, dan Kritis)

Beberapa dekade terkahir ini sering mencuat diskursus atau wacana pendidikan kritis (Crytical Pedagogy) yang mengacu pada salah dua pemikirnya, Paulo Freire dan Ivan Illich. Lantas, tahukah kita paradigma itu muncul didasari landasan filosofis apa? serta menjadi reaksi atas realitas apa?

Paradigma pendidikan adalah suatu cara atau konsep memandang dan memahami pendidikan. Tentu saja, setiap paradigma tidak bisa terlepas dari akar filosfisnya. Katakanlah paradigma pendidikan konservatif, liberal, dan kritis, ketiganya memiliki karakter tersendiri. Bagaimana mengetahui karakter dari masing-masing paradigma pendidikan? Tentu dengan memahami landasan filosofisnya, atau minimalnya kita tahu aliran filsafat apa yang mendasari suatu paradigma pendidikan itu.

Pertama, memahami paradigma pendidikan konservatif. Paradigma ini mendasar pada filsafat pendidikan esensialisme dan parenialisme. Menurut pandangan esensialisme, modernitas atau pembaharuan justru menyebabkan kehampaan spiritual manusia, maka dianggap bertentangan dengan fitrah manusia pada umumnya. Aliran filsafat ini berorientasi untuk mempertahankan nilai-nilai yang telah ada, juga bernuansa Theistik karena memberikan ruang keberadaan sesuatu yang di luar batas empiris. Maka tak khayal, aliran ini bertujuan menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Seperti halnya esensialisme, filsafat parenialisme juga anti terhadap modernitas yang menyebabkan kekacauan, ketidakpastian, terutama dalam kehdiupan moral. Solusi yang ditawarkan adalah untuk mundur kebelakang menggunakan kembali nilai-nilai yang yang telah menjadi pandangan hidup pada masa yunani kuno dan pertengahan. Katakanlah Plato dan Aristoteles pandangannya mewakili masa yunani kuno, sedangkan Thomas Aquisnas mewakili abad pertengahan. Menurut aliran ini, pemikiran dari filsuf tersebut telah teruji oleh sejarah serta memiliki kualitas untuk dijadikan pandangan hidup pada abad ke-20an ini.

Kedua, paradigma pendidikan liberal. Paradigma ini muncul sebagai counter atas hegemoni otoritas gereja. Paradigma ini bertolak belakang dengan pendidikan konservatif yang menolak modernitas. Pandangan konservatif dianggap menjadi sebab manusia cenderung berpikiran naïf, bahkan magis karena mempertahankan nilai-nilai yang sudah mapan. Kehadiran manusia hanya sekedar menjalankan firman Tuhan tanpa adanya aksi kritik, protes, untuk merubah tatanan sosial. Paradigma liberal mendasar pada aliran filsafat pendidikan progresivisme dan eksistensialisme, artinya berpandangan ke depan secara rasional dan memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia.

Filsafat progresivisme memandang pendidikan harus berorientasi pada masa depan, bukan pada nilai-nilai yang telah mapan. Menurut aliran ini, pendidikan harus mampu berinteraksi dengan lingkungan yang mengalami proses perubahan secara terus menerus. Karena paham individualistik sangat mempengaruhi paradigma liberal ini, maka tak heran paradigma ini juga dalam pengaruh filsafat eksistensialisme pada umumnya. Akal manusia (Rasio) dipandang sesuatu yang urgen pada paradigma liberal. Disamping mpendewaan akal, paradigma ini mengakui sepenuhnya atas hak-hak individu. Maksudnya, setiap manusia memiliki kebebasan memilih dan bertindak sesuai yang diinginkannya. 

Selanjutya paradigma pendidikan kritis. Paradigma pendidikan kritis menghendaki adanya keadilan sosial yang berkeadilan. Tidak bisa mentolelir adanya unsur dominasi yang menindas salah satu klas dalam struktur sosial. Paradigma ini muncul sebagai counter pemikiran konservatif yang magis dan  moderninasi liberal yang dehumanistik. Melihat realitas yang terjadi pada modernitas yang disambut baik oleh paradigma liberal untuk mengkikis pikiran konservatif. Semangat modernisme di awal dalam membebaskan manusia dari belenggu-belenggu determinisme, namun anehnya modernitas itu sendiri yang membelenggu manusia. Arus modernitas justru menghilangkan nilai-nilai humanitas. Modernitas kian menjadi paradoks. Karena manusia mulai terasing, tereksploitasi, dan menjadi objek atas produk-produk modernism karya akal mereka sendiri. Padahal, harusnya manusia yang menjadi subjek aktif yang menjalankan modernitas tadi. Namun, realitanya justru modernitas yang menjalankan manusia, bukan manusia yang menjalankan modernitas.

Paradigma pendidikan kritis berdasar pada filsafat progresivisme, eksistensialisme, sekaligus rekonstruktivisme. Dengan gerakan rekonstruktif, maka akan melahirkan pendidikan yang kritis untuk keluar dari dominasi kuasa pada struktur sosial. Aliran filsafat rekonstruksionalisme betul-betul menjadi kekuatan baru dalam usaha membongkar tatanan lama yang penuh dengan permasalahan menjadi tatanan baru demi kebaikan hidup manusia.

Sekiranya begitulah sedikit uraian filosofis tentang bebrapa paradigma besar yang dibangun dalam memandang pendidikan mulai dari konservatif, liberal, hingga kritis. Setiap paradigma memiliki karakter tersendiri, karena landasan filosofisnya pun tidaklah sama. Pendidikan kritis yang akhir-akhir ini sering kita bicarakan tidaklah muncul tanpa suatu alasan, melainkan sebagai suatu reaksi atas sosio-historis manusia yang tak kunjung selesai. 

Dalam konteks pendidikan, Paulo Freire telah mengusung paradigma pendidikan kritis yang pada saat itu menjadi suatu solusi atas krisis di Brazil. Tentunya orang sebrilian Freire banyak dipengaryhi oleh pemikir-pemikir hebat lainnya. Seperti Marx, Satre, Nietzsche, dan lain-lain. Freire saat ini menjadi rujukan bagi para praktisi pendidikan maupun pengamat sosial kritis. Ia adalah salah satu tokoh brilian yang mungkin pemikirannya akan penulis diskusikan bersama teman-teman ngopi untuk kemudian menjadi tulisan selanjutnya. Sekian.

*Penulis menyadari tulisan ini sangat kurang dan benar-benar membutuhkan kritik dan saran untuk memperbaiki tulisan berikutnya.
Penulis adalah Kader Lokajaya 2017 yang alakadarnya.

Catatan-catatan :
Wacana Pendidikan Kritis karya Mu’arif, cetakan pertama 2005, Penerbit IRCiSod.
Modul Sekolah Pendidikan Kritis 2019, oleh PMII Rayon Wisma Tradisi, UIN Sunan Kalijaga.