Sebagai manusia di bumi, saya adalah manusia yang mempunyai identitas-indentitas.
Identitas itu beragam, begitu juga manusia yang lain; bukan hanya saya.
Identitas itu misalnya, saya adalah manusia sekaligus penggemar klub sepakbola Liverpool,
sekaligus mahasiswa UIN Walisongo, sekaligus redaktur LPM Edukasi, sekaligus
editor di bacabukumu.id, sekaligus kader PMII, sekaligus orang Islam, sekaligus
orang Rembang, sekaligus orang Indonesia dan seterusnya dan seterusnya.
Identitas saya itu, meski tidak ditunjukkan melalui simbol-simbol atau
hal lain, secara otomatis melekat dalam diri saya. Saya tidak harus mengkoar-koarkan
atau melakukan hal-hal yang mencoba menunjukkan eksistensi identitas saya.Karena
identitas itu sudah melekat dengan sendirinya.
Dengan identitas itu,saya memiliki kebebasan untuk memilih, mana yang diprioritaskan
terlebih dahulu dan mana yang untuk sementara disisihkan, tanpa perlu
menanggalkannya. Contohya, dalam suatu perkumpulan penggemar klub sepakbola Liverpool,
saya akan memprioritaskan identitas penggemar klub sepakba Liverpool, tanpa
perlu menanggalkan identitas keindonesiaan. Bahkan meskipun klub sepakbola
Liverpool tidakberasal dari Indonesia, saya tidak perlu menanggalkannya.
Begitu juga berdasarkan identitas, saya bisa memilih sebuah kesamaan
atau perbedaan. Nalar saya menjadi kunci untuk memilih itu. Saya tidak akan
membunuh orang lain, jika saya memilih identitas bahwa saya dan orang lain
punya kesaamaan: manusia. Sesama manusia kenapa harus saling membunuh.
Kebebasan dalam memilih identitas itu ada,akan tetapi terbatas.
Selayaknya saya yang sedang berbelanja di swalayan. Dalam berbelanja, saya
memiliki uang untuk membeli keperluan-keperluan. Kepemilikan uang itu meskipun
bebas saya miliki tetapi ternyata terbatas. Saya harus memilih sesuatu yang
sesuai dan cukup dengan uang saya. Oleh karena itu, ada barang-barang yang
harus saya prioritaskan terlebih dahulu. Hal inilah yang menunjukkan bahwa
kebebasan dalam memilih juga terbatas dengan apa yang saya miliki. Pemilihan
ini membutuhkan suatu nalar pikir yang terbuka.
Misalnya saja identitas saya sebagai orang Islam. Dalam beragama, saya
musti melakukan perkara-perkara yang sudah diatur oleh agama Islam. Dalam Islam
tidak boleh penganutnya menganut dua kepercayaan (islam dan kristen, Islam dan
hindu dan lain sebagainya) maka saya tidak menganut agama yang lain. Hal ini
menunjukkan meskipun saya bebas memilih identitas tapi ada hal-hal yang
membatasinya. Tanpa melupakan bahwa saya masih memiliki identitas-identitas
lain yang tidak bertentangan dengan identitas Islam.
Perkara ini menjadi sulit. Jika dalam situasi tertentu, saya dipaksa
untuk memiliki identitas tertentu oleh lingkungan atau orang lain. Padahal saya
sendiri tidak memprioritaskan itu. Misalnya, saya sedang berada di forum LPM
Edukasi, maka yang saya prioritaskan
adalah identitas LPM Edukasi, tanpa harus menanggalkan identitas PMII. Tapi
kadang teman-teman sekitar membawa dan memaksa saya untuk beridentitas PMII di
LPM Edukasi. Ini sungguh bukanlah sesuatu yang tepat. Begitupun bisa
sebaliknya.
Teman-teman sekitar atau orang lain juga terkadang bisa membentuk Identitas
baru terhadap saya. Padahal belum tentu saya memang memiliki atau memilih identitas
itu. Dengan penyematan identitas berasal dari orang lain seperti ini,bisa
menyebabkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Misalnya kekerasan
mengatasnamakan identitas yang disematkan.
Yang lebih parah adalah asumsibahwa saya hanya memiliki identitas
tunggal saja. Saya hanya diasumsikan sebagai orang Islam saja misalnya. Tanpa
melihat identitas-identitas saya yang lain. Ilusi terhadap identitas tunggal
inilah yang menjadi kritik tajam dari Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan Identitas.
Sen membantah tesis Samuel P. Huntington yang termuat dalam buku
berjudul the Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Dalam
tesis tersebut orang-orang dikotak-kotakan berdasarkan “peradaban Islam”,
“peradaban hindu”, “peradaban kristen” dan sebagainya. Dengan pengkotakan itu,
Sen mengganggap itu adalah pereduksian (pengerdilan) identitas manusia yang
majemuk. Ini adalah kelemahan pertama tesis dari Samuel P. Huntington. Kelemahan
selanjutnya dari tesis Samuel P. Huntington adalah terdapat pada betapa
serampangannya karakterisasi yang diberikan pada peradaban-peradaban dunia.
Simplikasi yang dilakukan oleh Samuel P. huntington ini berakibat pada pengabaian
keragaman dalam tiap-tiap peradaban. Sekaligus interaksi antara peradaban
secara substansial dilupakan begitu saja.
Kelemahan itu berpeluangdalamdangkalnya pemahaman terhadap aneka macam
peradaban, juga terhadap kesamaan, keterikatan, kesalingtergantungan antara
semua peradaban. Persepsi ini juga menghasilkan pandangan yang sempit terhadap
budaya, serta pembacaan yang ganjil sekaligus picik—sebut sen, terhadap
peradaban barat.
Kepicikan pembacaan terhadap barat ini contohnya adalah kekeliruan
anggapan bahwa demokrasi adalah produk ‘khas’ barat. Padahal jika ditelisik
lebih dalam, demokrasi jauh-jauh waktu sudah diterapkan di wilayah timur. Sen
menghadirkan fakta-fakta ini.
Perkara intelektual juga seperti itu.Kemajuan intelektual yang dicapai
oleh barat dianggap tanpa pengaruh dari dunia timur. Akibatnya orang-orang
timur mencari sesuatu yang dianggap bisa mengalahkan orang-orang barat yaitu
melalui spiritualitas—hal yang dianggap tidak dimiliki oleh barat. Dengan
melakukan ini, sebenarnya semakin menunjukkan bahwa orang timur mengamini apa
yang dilabelkan orang-orang barat terkait peradaban timur yang tertinggal.
Padahal sejarah mencatat, Alkhawarizmi seorang berasal dari timur adalah
penemu aljabar yang saat ini dipelajari oleh manusia seluruh dunia. Bagitu juga
dengan apa yang sudah ditemukan matematikawan Arab dan Iran terkait sistem
desimal dan berbagai rumusan awal terkait trigonometri. Demikian pula
karya-karya klasik terutama dari Yunani Kunoyang diterjemahkan ke bahasa Arab
untuk dipelajari. Dari fakta sejarah inimenurut Sen, setiap manusia di manapun
di dunia ini (baik barat maupun timur) saling berbagi pundak untuk mewujudkan
kemajuan intelektual.
Terorisme, Islam dan Identitas
Setelah kejadian tragedi 11 september di Amerika, akibat ilusi tentang
identitas tunggal. Islam yang dituduh sebagi pelaku terorismedipaksa harus menafsirkan
ulang keislamannya. Padahal sudah jelas setiap agama apapun tidak pernah
mengajarkan kekerasan. Hal ini sangat aneh menurut Sen, karena dengan memaksa
orang-orang islam menafsirkan ulang keislamannya, itu sama saja dengan
menganggap orang yang melakukan tindakan itu hanya beridentitaskan Islam saja.
Tidak memandang afiliasi-afiliasi politik, sosial atau hal-hal lain yang
bertalian.
Secara mudah dapat diandaikan. Saya adalah orang Islam, akan tetapi
keberislaman saya belum tentu seturut dengan ajaran Islam. Saya bisa saja
membunuh orang—hal yang tidak mungkin diajarkan di agama manapun, saya bisa
saja melakukan tindakan pemboman, saya bisa saja membohongi orang, saya juga
bisa bertindak tidak adil. Perkara-perkara yang saya lakukan itu menurut Sen
bukan disebabkan oleh Islam, tapi ada faktor-faktor lain yang menyebabkannya.
Misalnya karena kebencian saya terhadap seseorang. Misalnya organisasi yang
saya ikuti memaksa untuk itu, dan seterusnya dan seterusnya. Dari ini, Sen
menginginkan setiap aksi separatisme atau kekerasan apapun jangan dilihat hanya
dari identitas tunggal saja.
Sebagaimana sudah dibahas di atas,Sen mengatakan Ilusi tentang tentang
identitas tunggal sebenarnya jauh lebih memecah belah ketimbang beragamnya
jenis-jenis klasifikasi yang mencirikan dunia tempat tinggal kita. Dan tumbuhnya ilusi tentang identitas tunggal
menurut Senbisa menjadi suatu landasan bagi paradalangtertentu untuk
maksud-maksud konfrontatif dan bisa menarik mereka yang suka menebar kekerasan.
Multikulturalisme atau Monokulturalisme Majemuk?
Setelah pemahaman bahwa identitas itu majemuk, kuatnya tuntutan akan
multikulturalisme merupakan sesuatu yang tidak mengejutkan bagi Sen. Mengingat
meningkatnya kontak dan interaksi global yang berlainan hidup saling
berdampingan satu sama lain. Hal ini juga terjadi di negara saya, Indonesia.
Saya sebagai seorang muslim yang hidup di negara Indonesia—sebuah negara
yang beragam baik tradisi maupun agama—Jika dengan orang-orang lain yang
berbeda identitas hanya hidup saling berdampingan dan tidak saling
bersinggungan.Menurut Sen, ini bukan multikulturalisme melainkan
monokulturalisme majemuk. Monokulturalisme majemukhanya menunjukkan kemajemukan
budayaakan tetapi setiap budaya atau identitas-identitas tetap terpisah-pisah.
Monokulturalisme majemuk ini bisa dilihat misalnya dengan bagaimana
negara saya menyediakan sekolah yang terkotak-kotak sesuai dengan masing-masing
agama. Hal ini menurut Sen semakin menambah jurang pemisah dan semakin
mengukuhkan identitas tunggal masing-masing individu. Karena pengkotakan itu
tidak bisa membuat anak-anak sejak dini belajar untuk plural terhadap agama-agama
lain. Hal ini malahan bisa berakibat pada tindakan-tindakan terorisme atau
separatisme berkedok agama.
Seharusnya keragaman budaya dirayakan dengan syarat bahwa orang memiliki
kebebasan seluas-luasnya untuk memilih praktik kebudayaan tertentu.Bukannya
dibatasi,yang malah bisa berakibat pada pengkategorisasian tunggal. Dalam hal
ini Sen memberi penekanan, hal yang
terutama harus dihindari adalah kerancuan antara multikulturalisme yang
bernafaskan kebebasan budaya di satu sisi, dengan monokulturalisme majemuk yang
bernafaskan separatisme beragama di sisi lain.
Selain permasalahan itu, menurut Sen, multikulturalisme yang diwujudkan
dalam “dialog antar umat” dengan diwakili oleh pemuka-pemuka agama, semakin
mempernyaring dan memperkuat suara pemuka-pemuka agama. Hal ini bisa menurunkan
makna penting lembaga-lembaga dan gerakan-gerakan non keagamaan, suatu kesamaan
yang harusnya diwujudkan.
Maksudnya adalah seperti yang terjadi pada saat Gandhi menghadiri
“Lokakarya Terbatas tentang India” yang diselenggarakan oleh pemerintah inggris
pada 1931. Gandhi tersinggung dianggap sebagai juru bicara umat Hindhu khususnya Hindu
berkasta. Karena itu Gandhi kemudian
mengajukan gugatan agar pemerintah Inggris melihat kemajemukan identitas orang
India.
Ia (Gandhi)berkata bahwa ia ingin berbicara tidak hanya mewakili umat
hindu secara khusus, melainkan atas nama “jutaan rakyat terdidik, yang telah
bekerja keras, namun perutnya masih lapar” yang mencakup “lebih dari 85 persen
penduduk india.” Dia bahkan menambahkan pula bahwa dengan upaya lebih keras, ia
bahkan bisa berbicara atas nama penduduk india selebihnya, yakni “para
pangeran… tuan-tuan tanah, dan kaum terdidik.”
Dari gugatan ini, Gandhi menginginkan suatu bangsa jangan hanya dilihat sebagai federasi
agama-agama dan komunitas-komunitas. Suatu bangsa harus dilihat sebagai sekumpulan
identitas-identitas yang beragam (majemuk) dan bertalian. Perihal ini, bukan
hanya “Gandhi” semata yang mengharapkan itu, melainkan Amartya Sen dan saya
juga berharap seperti itu.
Gandhi, Sen dan saya bisa bersama-sama menegaskan banyaknya kesamaan identitas
yang kami miliki—sesama manusia beragama misalnya—(meskipun mungkin masih ada orang-orang
yang punyacara pandang tunggal nan kaku bertebaran). Kedamaian bisa terwujud
bila kita saling memahami bahwa kita memiliki identitas-identitas. Dan yang terpenting,
pesan Sen, kita harus memastikan bahwa benak kita tidak terkurung oleh
cakrawala pandang kita sendiri.[]
//Buku berjudul Kekerasan dan Identitas yang terbit pertama kali
di Amerika Serikat dengan judul Identity and Violence: The Illusion of Destiny.
Ditulis oleh Amartya Sen dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Arif Susanto. Diterbitkan oleh Marjin Kiri, edisi kedua Februari 2016. Halaman
dalam terbitan Indonesia berjumlah i-xxii+ 242 halaman.//
0 Komentar