Oleh: ahmadaam, Sebumi Semarang
Siapa kader PMII yang tidak mengenal Bung Mahbub? Jika tidak mengenalnya
mungkin bisa ikut MAPABA lagi. Tapi siapakah Bung Mahbub? Dan mengapa ia lebih
memilih dipanggil dengan sebutan Bung?
Bung Mahbub bernama lengkap Mahbub Djunaidi. Ia lahir di Tanah Abang,
Jakarta pada 22 Juli 1933. Lahir dari pasangan Muhammad Djunaidi dan Muhsinati,
ia lebih senang dipanggil dengan sebutan Bung. Dikarenakan ia mengagumi Bung
Karno. Bahkan menurut cerita anaknya, Isfandiari MD, anak-anaknya juga diminta
untuk memanggilnya dengan sebutan ‘Bung’.
Bung Mahbub dikenal dengan banyak identitas. Ia adalah seorang jurnalis,
kolumnis, penerjemah, sastrawan, aktivis dan politikus.
Jejak dunia jurnalistiknya sudah ia mulai sejak masih menjadi siswa di sekolah dengan terlibat di majalah Siswa.
Berlanjut di Duta Masyarakat, sebuah media milik Partai NU, ia sempat
didapuk menjadi pemimpin redaksi.
Kebiasaaan menulis sudah dijalaninya sejak masih SMP. Karya-karyanya dimuat
di berbagai media. Seperti Siasat, Mimbar Indonesia, Roman, Star Weekly
dan Cinta. Selain itu, ia juga
sering menulis untuk media Kompas dalam rubrik Asal Usul. Pada mulanya rubrik Asal Usul yang
muncul pada tahun 1984 diisi oleh wartawan berbeda-beda. Karena kurang begitu
memuaskan, akhirnya diputuskan akan diisi secara rutin oleh Bung Mahbub. Maka
mulai pada 23 November tahun 1986, hingga akhir hayatnya, Bung Mahbub menjadi
penulis tunggal di Asal Usul. Dan selanjutnya tulisan-tulisan itu diterbitkan
menjadi buku dengan judul sama. Selain buku Asal Usul, kumpulan tulisan
yang lain diterbitkan dengan judul Kolom Demi Kolom (1986), Humor
Jurnalistik (1986) dan lain sebagainya.
Sewaktu menjadi siswa di Madrasah Mambaul Ulum, Solo ia dikenalkan
dengan George Orwell, Mark Twain dan Karl May. Dari sinilah, ia mulai
menggandrungi dunia sastra. Utamanya sastra Rusia. Melalui penulis-penulis itu,
ia merambah ke penulis-penulis lain. Tidak hanya luar negeri saja, ia juga
menyukai sastrawan Indonesia, salah satunya Idrus.
Sebab daya jelajahnya yang kuat dalam membaca, ia juga menerjemahkan
karya-karya yang ‘mungkin’ dianggapnya penting. Karya-karya terjemahan itu di
antaranya: Binatangisme (George Orwell), 80 hari keliling dunia (Jules
Verne), Cakar-cakar Irving (Art Buckwald), Hidup Baru Mulai di Umur
40 Tahun (Robert Paterson), Di Kaki Langit Gurun Sinai (Hassan
Heikal), 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Michael H. Hart)
dan lain-lain.
Selain menerjemahkan, ia juga menulis karya fiksi. Hal yang paling
berkesan bagi Bung Mahbub adalah ketika tulisan cerpennya berjudul Tanah
Mati dimuat di majalah Kisah pimpinan HB Jassin dan dikomentari. Karya-karya
fiksinya berupa sajak dan cerpen tersebar di berbagai media. Sedangkan dua
karya novelnya adalah Dari Hari ke Hari (1975)—memenangkan
sayembara mengarang roman Dewan Kesenian Jakarta—dan Angin Musim (1985).
Tidak hanya menulis saja, ia
adalah seorang aktivis dan politikus. Di organisasi-organisasi naungan NU, ia
adalah seorang aktivis IPNU, aktivis PMII, aktivis GP Anshor dan aktivis NU.
Sedangkan di dunia wartawan, ia sempat menjabat menjadi ketua PWI dengan Jakob
Oetama sebagai sekertarisnya. Lalu di lingkungan partai, Ia juga terlibat di
DPP PPP. Semantara di pemerintahan, ia sempat menjadi anggota DPR-GR/MPRS pada
1960.
Moncernya Bung Mahbub, menyebabkan saya terusik, bagaimana bisa ada
orang seperti itu: seorang aktivis
sekaligus penulis.
Setelah menimbang-nimbang, saya beroleh kesimpulan awal berdasar
produktivitas tulisan yang tersebar di berbagai media dan aktivitasnya. Seorang penulis yang baik pasti memiliki
kemampuan berliterasi yang baik pula. Saya yakin, kemampuan itu beriringan,
sama seperti dua sisi mata uang. Tanpa kemampuan literasi yang baik, tidak mungin
bisa menulis dengan baik. Kemampuan berliterasi dapat diartikan sebagai orang
yang membaca teks ataupun non-teks dan terkristalkan menjadi pemikiran, lalu
dituangkan menjadi tulisan. Dari kemampuan berliterasi yang baik inilah, tak
heran karya Bung Mahbub bertebaran dan patut diperhitungkan.
Kemampuan berliterasi tidak berhenti di menulis saja, akan tetapi juga
berlanjut menjadi pemicu tindakan. Hal ini juga yang menurut saya menjadi
pemicu Bung Mahbub menjadi seorang aktivis dan politikus.
Siapakah Bung Mahbub Selanjutnya?
Tulisan ini—membincangkan Bung Mahbub—berawal dari sebuah kegelisahan.
Pada hari Minggu (15/12/19) saya dan teman berada di sekretariat Rayon Sunan
Kalijaga FTIK, IAIN Surakarta. Niatnya, kami ke sana ingin mengetahui seni dan
budaya di PMII Sukoharjo. Jadi, selain berkunjung ke seorang sahabat juga ingin
melihat bagaimana PMII Sukoharjo memperhatikan seni dan budaya. Setelah saya
tanyakan. Di Rayon Sunan Kalijaga ada lembaga seni dan budaya, namun hanya
dalam bidang musik dan apa lagi saya lupa, intinya bukan sastra. Ini lumayan.
Saya kemudian menanyakan, dengan sahabat lain, bagaimana di tingkat
cabang Sukoharjo, apakah ada lembaga seni dan budaya, ia menjawab tidak ada. Mendapatkan
jawaban itu, saya beroleh sebuah kesimpulan bahwa seni dan budaya di Sukoharjo masih
belum cukup diperhatikan. Padahal sebenarnya kami ingin belajar bagaimana
menghidupkan seni dan budaya, utamanya tentang sastra—karena kami berniat mengadakan sayembara sastra yang
maju mundur karena kami psimis: akankah ada yang mengirim atau tidak. Sempat
menginginkan pergi ke Lesbumi NU, tapi niat ini kami urungkan.
Dua malam di sekretariat PMII Rayon Sunan Kalijaga dengan gambar Bung
Mahbub di ruangan depan membuat saya seperti diteror. Bung Mahbub seperti bicara
“saya aktivis PMII, saya sastrawan, saya menulis, saya membaca dan seterusnya
dan seterusnya”. Saya tidak bisa tidur. Saya kemudian menanyakan buku apa saja
tentang Mahbub yang dipunyai pengurus rayon, lantas seorang sahabat memberi buku
Asal Usul.
Setelah membaca pengantar dan beberapa tulisan Bung Mahbub di buku Asal
Usul, saya mencari apapun tentang Bung Mahbub di mesin pencari internet.
Saya mendapatkan banyak hal, dari catatan biografis hingga upaya PB PMII
memperjuangkan Bung Mahbub untuk dijadikan pahlawan. Upaya PB PMII ini membuat
saya sedikit kaget. Bagi saya, bukan hal itu yang harus diperjuangkan. Yang
diperjuangkan adalah bagaimana kader-kader PMII seluruh indonesia mengikuti
jejak Bung Mahbub: seorang aktivis sekaligus penulis. Bung Mahbub tidak perlu
dibela, bahkan tidak perlu juga membuat perkumpulan semacam ‘Mahbubian’. Bagi saya, kita hanya perlu meneladani dan
mengikuti jejaknya.
Dan tulisan ini bermuara pada pertanyaan, siapakah Bung Mahbub selanjutnya?
Jika dipecah-pecah (aktivis dan politikus saja atau penulis saja) jawabannya
akan berlimpah. Tapi jika kemudian dikumpulkan dan dikhususkan kader PMII yang
aktivis dan menulis, siapakah selanjutnya? Jawaban ini kembali ke diri kita
masing-masing sebagai kader PMII.
Bacaan:
dan lainnya.
0 Komentar