Selalu terlintas di sela-sela berpikir, kenapa sih semua hal di dunia ini harus
ada embel-embel tulisan? Saat di pom bensin ada 'dilarang merokok', saat di daun pintu
Alfamart ada tulisan 'dorong/tarik'. Mengapa semua itu? Bukankah itu hal yang
menjengkelkan! Ketika seseorang diberi mulut untuk berbicara sedangkan yang
memberi intruksi beralih menjadi sebuah tulisan. Kan gathel, kagak jelas amat
semua hal di dunia ini, apalagi di Indonesia. Kenapa harus ada multi tafsir segala.
Bahkan ketika di toilet, ada tulisan 'pria/wanita'. Ironisnya, di tombol buat buka tutup
kloset duduk pun, ada tulisan 'push'. Apa-apaan ini? Apakah dunia hanya
bungkam menanggapi semua ini? Seakan manusia acuh tentang hal sevulgar ini. Membuat manusia hidup dalam kematiannya sendiri. Itulah perdebatan batin saya
selama ini, yang saya kaitkan dengan ketidakjelasan sekitar.
Begitu kehidupan nyata ini dipengaruhi tulisan-tulisan yang memiliki
derajat lebih tinggi dibanding pembacanya. Kenapa tidak, dengan kata 'dorong',
akan menjadikan pembacanya mendorong suatu benda, heuheu. Sesimpel itu manusia
diperintah tulisan; logika ringannya.
Lalu bagaimana kabar kita sebagai pembaca? Masih mau terus-terusan diperintah kagak jelas? Mungkin kalian baru saja menjawab iya atau enggak.
Namun, lebih jauh lagi, sebenarnya pertanyaan saya harusnya dijawab dengan
pertanyaan juga. Baru mungkin kemudian jawabannya akan tampak gamblang. Pertanyaan apa
sih? Ya sudah barangkali nalar skeptis perlu dimunculkan. Ada kejanggalan apa, kok kita mau disuruh-suruh tulisan?
Ya, jawabannya pasti karena kita mau membaca tulisan itu, memikirkannya, dan berbuah tindakan yang kita lakukan. Itu sistem kerjanya. Coba kagak usah dibaca, langsung lakukan saja --kalau ada pintu pasti gunanya ya
dibuka, langsung eksekusi dengan tindakan. Namun jika itu tindakanmu, kamu
masih berkutat di ranah personalitas. Belum bisa menjadi subjek yang
memerintah. Mengapa memerintah dipermasalahkan di sini? Ya, tentu saja dengan kamu
memerintah, maka kamu telah mengubah mindset orang lain sesuai yang
kamu perintahkan. Dari yang semula enggak terpikir melakukan, berubah menjadi melakukan.
Arus tulisan ini sudah menyeret kita begitu jauh. Membahas satu dua
kata yang sudah menjadi konsumsi publik tiap harinya. Lupakan sejenak. Saat
ini, sudah banyak terkuak kejanggalan yang masih mengambang tak ada titik
jelasnya. Isu-isu politik tersebar cukup ngeri: pencabutan subsidi gas, jual
beli karbon, hingga RUU sapu jagad. Mengapa perlu saya arahkan ke sana? Ya, tentu
karena sebuah berita yang cepat booming di medsos, dan saya mulai kerih
membaca berbagai macam ulasan.
Saya mulai berpikir kembali, kok bisa saya tersentil mendapati pelbagai
persoalan krusial tersebut. Sedangkan saya hanya mahasiswa, bukan pejabat yang
mengurus bidang itu secara langsung. Jawabannya sama seperti yang sebelumnya,
karena saya mau membaca, memikirkan, dan yang terakhir ini baru hak prerogatif
saya. Untuk bereaksi atau hanya bungkam tentang ilalang persoalan tersebut.
Singkat saja, semua jawaban berakhir pada diri kita. Kita mau kritis atau
tidak, dan bagaimana kita mengaplikasikan kekritisan tadi. Mungkin bagi
mahasiswa, jalan perdamaiannya adalah aksi dengan bertajuk teatrikal, atau
menulis bertajuk kritikan atas kesewenang-wenangan pemerintah. Namun semua itu tak
akan terjadi, jika tak ada bekal berani!. Wallohu a'lam bissowaab.
Penulis merupakan Kader Cakrabuana '19
Editor: Eykaz
0 Komentar