Menurut Theda Skocpol, revolusi berbeda dengan pemberontakan yang tidak menghasilkan perubahan struktural. Ia juga berpandangan bahwa revolusi sosial berbeda dengan revolusi politik yang hanya mengubah struktur negara, tetapi tidak terjadi perubahan struktur sosial dan tanpa perjuangan kelas. (sumber: pinterpolitik.com).

Kita mungkin pernah sependapat, datangnya revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang tepat pada saatnya. Ketika titik krisis tidak terhindarkan, kesenjangan kelas semakin terasa, dominasi kelas penguasa semakin mengeksploitasi kelas di bawahnya. Revolusi akan menyeruak untuk merobohkan, menjebol, dan membangun tatanan baru.

Namun, di era post-thurt atau era pasca-kebenaran ini, sepintas telah membuat kemungkinan terjadinya revolusi semakin minim. Bagaimana tidak, dengan begitu masifnya penggunaan media dalam jaringan sebagai sarana informasi, dibarengi dengan ketidakpercayaan atas informasi yang disampaikan; karena media satu dan lainnya saling berkata berlainan dengan seabrek kepentingan masing-masing. Masyarakat menjadi kewalahan mencari kebenaran dari kondisi sosial yang sebenarnya –terlebih lagi kelas penguasa memiliki kuasa atas media yang menghegemoni masyarakat luas.

Munculnya realitas demikian, seakan menyesak seorang revolusioner untuk semakin masif melakukan penyadaran; mencerdaskan masyarakat, mengorganisir massa, serta mendiskusikan problematika yang sebenarnya.

Dalam revolusi, prasyarat selain karena krisis, ketidakmampuan negara mengayomi masyarakatnya, adalah karena masyarakat yang terdidik. Tanpa upaya mencerdaskan masyarakat dengan intensitas membaca dan mendiskusikan probem sosial, revolusi hanyalah omong kosong.

Seorang revolusioner harus cerdas, tangkas, memiliki semboyan megubah ‘kemauan massa’ menjadi ‘tindakan massa’. Seorang revolusioner tidak akan gegabah meledakkan aksi tanpa memahamkan orang banyak (dengan literasi). Karena jika penyebaran issue itu belum masif untuk memahamkan orang banyak, maka kemungkinan besar menimbulkan terjadinya  putch.

Putch adalah suatu aksi segelintir orang yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak. Segelintir orang itu bisanya hanya membuat rancangan menurut kemauan dan kecakapan sendiri tanpa memperdulikan perasaan dan kesanggupan massa. Ia sekonyong-konyong keluar dari guanya tanpa memperhitungkan lebih dahulu apakah saat untuk aksi massa sudah matang atau belum. (Tan Malaka, 1926).

Kelas penguasa yang kita lawan tidaklah segegabah tukang putch. Mereka punya kendali kekuasaan: pengetahuan, kedaulatan, dan modal. Seumpama aksi tetap dilakukan dengan putch, pastilah kita bisa menganalisa berbagai kekurangannya.

Pertama, aksi akan unggul secara 'kualitas' namun lemah dalam 'kuantitas'. Aksi ini memiliki kajian mendalam dan tujuan jelas, namun tidak secara kolektif. Hanya beberapa orang yang membawa gagasan revolusioner dan menggelar aksi. Kita tidak bisa menyalahkan massa banyak karena tidak ikut serta dan membantu, kenyataan massa banyak itu tidak terorganisir dengan baik.

Kedua, aksi akan unggul secara 'kuantitas' namun lemah dalam 'kualitas'. Walalupun jumlah yang banyak akan menyita perhatian pihak yang dituntut. Namun massa itu sebenarnya tidak terorganisir dengan baik, tidak punya tujuan jelas terhadap goal dari aksi itu sendiri, bahkan kadang-kadang mereka membawa poster-poster yang saling kontra-tujuan. Kita pun tidak bisa menyalahkan massa banyak yang sekadar ikut-ikutan itu, kenyataan diskusi yang matang dan tuntutan yang jelas dikesampingkan dalam perencanaan aksi.

Ketiga, aksi lemah secara kuantitas sekaligus kualitas. Inilah dampak paling buruk dari putch. Segelintir orang yang meledakkan aksi tidak akan mendapatkan perhatian, karena tidak dilakukan secara musyawarah banyak dan tujuan kolektif, tidak mengkaji secara mendalam dan pengkonsolidasian yang matang, serta tidak mencerdaskan masyarakat luas. Bahkan bisa saja aksi itu kemudian menjadi serangan balik bagi pergerakan itu sendiri, dalam artian masyarakat justru mengantagoniskan massa aksi.

Revolusi hanya akan terjadi atas kehendak kelas revolusioner. Kelas itu adalah masyarakat yang tereksploitasi, namun memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni (terdidik), paham akan krisis yang mengharuskan adanya revolusi dan tatanan sosial baru. Masyarakat terdidik akan terwujud dengan menghidupkan dialektika; gerakan membaca dan lingkar-lingkar diskusi.

Alih-alih aksi atau tindakan praksis lebih baik daripada membungkam diri. Namun, kita tidak bisa sekenanya keluar dari gua menjadi tukang putch dan sangat tidak pantas mengkerdilkan ruang-ruang diskusi atau perkumpulan, yang sejatinya akan mengantarkan pada aksi massa sesungguhnya. Aksi massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi massa berasal dari kesadaran orang banyak untuk memenuhi kehendak bersama.

Tidak bisa seenaknya kita mendikotomikan: diskusi saja tanpa aksi atau aksi saja tanpa diskusi. Keduanya adalah instrumen wajib dalam revolusi sosial yang harus dilakukan secara sinergis tanpa sedikitpun mengkerdilkan salah satunya.

Sampai di sini --pada suatu saat kita disodori pertanyaan “Lebih memilih digerakkan atau bergerak sendiri?” Seorang revolusioner akan tegas mejawabannya dengan “Bergerak secara kolektif”.

“Hanya satu aksi massa, yakni satu aksi massa yang terencana yang akan memperoleh kemenangan, di satu negeri berindustri seperti Indonesia!” (Tan Malaka).


Oleh: azad
Editor: eykaz