Sepeninggal Gus Dur pada akhir Desember
tahun 2009 silam, bangsa Indonesia telah kehilangan sosok yang begitu penting
bagi sejarah peradaban bangsa Indonesia. Sosok tersebut tidak meninggalkan warisan kekayaan ataupun harta
benda mewah, melainkan produk-produk pemikiran, keteladan, dan karya yang sampai
hari ini dapat kita nikmati dalam berbagai bentuk, seperti
tulisan-tulisannya maupun dari cerita kesaksian dari sahabat dan keluarga
beliau. Dari sana lah maka
lahir 9 nilai utama Gus Dur yang salah satunya adalah pembebasan.
Kemunculan
sembilan nilai Gus Dur tidak lepas dari lahirnya komunitas Gusdurian yang
dibentuk di tengah kegalauan yang amat
mendalam karena kehilangan seorang tokoh nasional bangsa Indonesia, ulama,
sekaligus guru bangsa. Gusdurian adalah sekumpulan orang-orang yang tidak hanya
mengagumi Gus Dur tetapi juga berusaha meneladani dan mengamalkan nilai-nilai
dan perjuangan yang telah diajarkan oleh beliau (gusdurian.net). Kemunculan 9
nilai tersebut dimulai dalam sebuah acara yang bertajuk simposium kristalisasi
prinsip pemikiran Gus Dur, Rabu-Jumat, 16-18 Nopember 2011 (Nur Kholik Ridwan, 2019).
Forum yang
diselenggarakan oleh keluarga Ciganjur melalui yayasan Bani Abdurrahman Wahid, Wahid
institut sekarang bernama Wahid Foundation dan yayasan puan amal hayati
tersebut dihadiri oleh para sahabat Gus Dur yang masih hidup di antaranya Gus
Mus, Djohan Effendi, dan lain sebagainya, kemudian forum tersebut dipandu oleh
Zastrow Ng. Dalam forum tersebut juga dihadiri oleh
para pakar dengan keahliannya masing-masing.
Singkatnya
kemudian disepakati bahwa Gus Dur memiliki 9 nilai utama sebagai berikut:
ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan,
persaudaraan, kesaktriaan, kearifan lokal. (Nur Kholik Ridwan, 2019). Nilai-nilai ini kemudian disebarluaskan
kepada komunitas Gusdurian di seluruh Indonesia yang kemudian dikenal dengan 9
nilai Utama Gus Dur.
Salah satu nilai yang terkristalisasi
dari forum tersebut adalah pembebasan, bagaimana kita memahami pembebasan yang
diajarkan Gus Dur dan memilikinya sebagai prinsip yang bersambung hingga
Rasulullah?
Penulis mencoba mengelaborasi antara keterangan yang terdapat dalam buku Ajaran-Ajaran
Gus Dur Syarah 9 nilai Gus Dur yang ditulis oleh Nur Kholik Ridwan dan
beberapa keterangan yang dijelaskan Gus Baha pada acara haul Gus Dur ke-sepuluh di
Jombang pada 21 Desember 2019. Pembebasan yang diajarkan Gus Dur, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Nur Kholik Ridwan, bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki tanggung
jawab untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan. Semangat pembebasan hanya
dimiliki oleh jiwa yang merdeka, bebas dari rasa takut dan otentik.
Merdeka di sini maksudnya adalah ketiadaan
seseorang di bawah tekanan dan pengaruh orang atau ketakutan yang memaksanya
untuk tunduk kepada raja, presiden, wakil rakyat, pengusaha, dan sebagainya. Maka jiwa
yang merdeka ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kebebasan dalam
berpikir yang menuntutnya kepada jalan yang benar dan berani mengatakan benar
sebagai kebenaran.
Selain itu, jika kita mau merujuk pada
peristiwa sejarah, kita juga bisa membuktikan bahwa Gus Dur ini mendorong
masyarakat untuk bebas secara berpikir (alhurriyatul fikriyyah). Dalam buku
Tabayun Gus Dur disebutkan dalam mendirikan organisasi Forum Demokrasi (Fordem)
bertujuan untuk mewadahi semua pendapat tentang demokrasi. Ketika ditanya oleh
wartawan tentang tujuan didirikannya fordem kemudian Gus Dur menjawab "bukan saya sendiri dong melainkan dengan teman-teman, kita bermaksud membuka
wadah yang menampung semua pendapat mengenai demokrasi. Kita juga mengadakan
evaluasi,siapapun boleh bicara disana, kita terbuka, kok".
Dalam acara haul ke-sepuluh di Pesantren Tebuireng
yang ditayangkan melalui akun
youtube Tebuireng Official, Gus Baha menyampaikan
bahwa watak seorang cucu biasanya tidak terlepas dari para pendahulunya, karena setiap
pendahulu berdoa ya Allah berikanlah kami keturunan yang baik (durriyyatan
toyyibah). Dalam hal ini adalah kaitannya antara Gus Dur
dengan Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari.
Diceritakan bahwa
Mbah Hasyim Asy'ari sedari dulu mengajarkan kita untuk mengedepankan kebebasan
berpikir. Dikisahkan dulu ada seorang Jerman yang berguru Agama Islam kepada
Mbah Hasyim. Kemudian setelah selesai, Mbah Hasyim berkata, “Setelah kamu sudah tahu betul tentang Islam,
kamu jangan buru-buru menerima Islam,
melainkan benar-benar harus menerima Islam secara bayyinah, secara
argumentatif, secara logika yang benar, jangan karena terpaksa.”
Gus Baha kemudian
melanjutkan, bahwa hal itu pula yang mendorong Rasulullah dalam peristiwa
Perjanjian Hudaibiyah. Dalam perjanjian tersebut pasukan non-muslim (kafir)
diwakili oleh Suhail bin Amr. Isi dari perjanjian tersebut semuanya merugikan
Rasulullah. Di saat sahabat yang lain sebenarnya menolak kesepakatan itu karena
menurutnya merugikan Islam, justru Rasulullah sebaliknya. Rasul menerima perjanjian itu dan hanya memberikan syarat bahwa
orang-orang diperbolehkan untuk berdiskusi tentang agama Islam.
Dalam suatu waktu
kemudian orang kafir tersebut berdiskusi secara terbuka dan membandingkan
kira-kira kalau Tuhan saya berhala konsekuensinya bagaimana dan bagaimana pula
kalau kita bertuhan seperti Tuhannya (Nabi) Muhammad. Kemudian ada salah satu
peserta diskusi yang berpikir secara benar dan mengakui bahwa memang benar
tentang apa yang dibawa nabi tentang Islam daripada menyembah berhala.
Itulah hasil
daripada kebebasan berpikir sehingga orang-orang tersebut mengakui kebenaran
dengan kesadaran mereka tanpa keterpaksaan dan menanggalkan kesalahan yang
dilakukan sebelum-sebelumnya. konsekuensi dari diskusi tersebut mengakibatkan
poin perjanjian kemudian batal karena
orang-orang yang berdiskusi tersebut kemudian masuk Islam.
Begitulah Nabi
Muhammad, Mbah Hasyim Asy’ari, dan Gus dur menganjurkan umat manusia untuk
bebas dalam berpikir tapi tidak menanggalkan sanad keilmuan, sehingga yang
timbul adalah berpikir secara sistematis menuju jalan yang benar sesuai
tuntunan nabi Muhammad SAW.
Oleh: Ahmad Sajidin
Pertama tayang di gusdurian.net
0 Komentar