Oleh: Retma Ayu Ningtyas
Saya bukan siapa-siapa. Memang, saya manusia yang dilahirkan dari rahim ibu, disusui oleh beliau, diberikan sepiring kasih sayang dan segelas cinta. Saya tumbuh menjadi makhluk berakal. Mendapat anugerah dan keajaiban untuk tahu segalanya berkat telinga, mata, hidung, mulut, dan otak tentu saja. Tapi, walau begitu saya tetap bukan siapa-siapa. Sampai kemudian, saya melihat banyak peristiwa yang menghantarkan saya pada satu kesimpulan. Hari ini saya putuskan untuk menjadi: Kopi.

Tentu saja, saya dilahirkan sebagai seorang yang beragama. Tentu pula saya menyembah Tuhan. Tuhan yang Maha Esa, begitu kira-kira yang tercantum di Pancasila sila pertama. Tidak perlu memperdebatkan siapa Tuhan saya, sekarang saya ingin membuat agama sendiri. Nah, keinginan ini saya dapatkan dari kopi.

Kita tahu ketika dahulu belajar sejarah di bangku SMP kita belajar bahwa para penjajah dalam menyebarkan paham keagamaan –gospel, itu dengan ia menikahi penduduk pribumi atau politik perdagangan. Saya tidak mau lagi menuhankan Tuhan yang tidak terlihat, banyak ustaz bilang itu gaib, manusia tidak boleh menerka-nerkanya. Tapi, kopi yang tidak gaib saja bisa menjadi Tuhan.

Manusia abad 21 menjadikan kopi sebagai sumber energi nomor dua setelah ibadah dengan gerakan saktinya. Penyebaran kopi pun begitu sangat cepat laksana agama. Ia dibawa oleh para penjajah Belanda dan mulai ditanam di negeri ini. Berkat melimpahnya kopi, banyak orang memujanya, banyak orang rela kehilangan banyak uang demi mendapatkannya, banyak orang merasa kehilangan tanpanya, dan beberapa mendeklarasikan filosofi kopi dalam suatu sekte.

Alasan yang kedua adalah karena kopi ini maskulin. Saya memang bukan siapa-siapa, tapi setiap pagi entah dalam acara sinetron, novel, atau dalam kolom koran pun saya merasa kopi ini maskulin, superior, dan kuat. Seorang ibu tergopoh-gopoh ke sana kemari saat memasak, memandikan anaknya yang akan berangkat sekolah, ia masih sempat terpikir untuk membuatkan suaminya kopi. Dengan mengabaikan ibu itu sliwar-sliwir macam setrikaan, si suami bodo amat saja menyeruput kopi dengan membaca koran langganan di tangan. Setelah meletakkan gelas kopi yang kosong, ia segera nylonong pergi –katanya kerja, meninggalkan istri yang berjibaku dengan pekerjaan rumah yang tidak selesai-selesai. Enak sekali bukan?

Aku mengurungkan diri untuk menjadi perempuan, karena kopi menurut sejumlah penelitian oleh orang-orang pintar itu, jika dikonsumsi terlalu banyak bisa menurunkan kesuburan. Padahal kopi itu kan surga, baunya yang wangi dan nikmat ketika melesat dalam tenggorokan, kok dilarang untuk dikonsumsi perempuan. Sudah capek masak, mengurus anak, mengurus rumah yang tidak pernah selesai kok masih dilarang minum kopi. Duh, kan saya jadi takut menjadi perempuan yang feminim itu.  Lebih baik menjadi laki-laki kan. Sudah enak, apa-apa dibuatkan si perempuan, boleh minum kopi yang banyak pula. Semakin banyak minum kopi, semakin subur katanya. Luar biasah.

Kopi itu Londo. Londo merujuk pada penyebutan orang pribumi terhadap Belanda pada zaman pra kemerdekaan. Londo itu diidentikkan hidung mancung dan besar, kulit putih, tinggi, gagah, dan rambut pirang. Mungkin, lidah nenek moyang kita agak sulit atau saking malasnya mengucapkan ‘Belanda’ begitu hingga yang muncul adalah Londo dan masih digunakan oleh generasi tua hingga saat ini. Tapi, bukan cuma Belanda saja loh yang disebut londo, sejarah Kopi itu juga Londo banget.

Awalnya kopi popular di Abyssina, sebuah nama daerah terpecil di Afrika yang saat ini melingkupi wilayah negara Etiopia dan Eritrea. Tapi, masyarakat di sana tidak tahu bagaimana cara mengolahnya. Kopi sebagai minuman, itu dipopulerkan oleh masyarakat Arab dengan istilah ‘qahwa’. Akhirnya, kopi ini jadi komoditi londo Arab. Saking banyaknya kopi di Arab, kopi ini diekspor keluar Arab. Negara-negara di Eropa muncul sebagai konsumennya. Jual beli kopi ini melalui pelabuhan Mocha oleh orang-orang Belanda. Nah, Belanda –Negara Londo yang berkuasa hampir di seluruh dunia –karena berhasil menginvansi negara-negara baru, si Belanda ini menyebarkan biji kopi di seluruh pelosok negeri jajahannya tak terkecuali negeri yang terlalu sopan ini, Indonesia.

Kelondoan kopi tidak berhenti di zaman penjajahan itu, walaupun semenjak Indonesia merdeka pihak Indonesia meminta Belanda menghentikan ekspor kopinya di sini karena Indonesia telah mampu memproduksi sendiri. Sekarang, kopi telah menjangkit pasar-pasar industri londo. Sebut saja, Starbuck. Salah satu perusahaan kopi (londo) terbesar di dunia ini telah menempatkan 20.336 kedainya di seluruh dunia dan sebanyak 326 kedainya ada di Indonesia.

Bukan banyaknya kedai yang jadi permasalahan, tapi kentalnya ke-londo-an di perusahaan ini yang tidak hilang bahkan setelah masuk ke negara ndeso macam Indonesia. Bagaimana tidak, kopi ini dibandrol dengan harga yang tidak ramah kantong bahkan setara dengan makan satu minggu anak kos-an itu sungguh tidak Indonesia banget. Orang Indonesia itu ya aneh, bukannya dengan adanya kopi-kopi londo itu kita sebagai penduduk lokal harus memunculkan produk yang lebih Indonesia banget. Sebagai pesaing yang ramah dengan harga yang cukup bersahabat dengan kantong. Ironisnya, saat ini banyak sekali penjual kopi lokal yang memiripkan prodaknya dengan Londo Starbuck. Sebut saja, Kopi Janji Jiwa, Kopi Kenangan, Ternakopi, Kafein, Otten Coffe, Mr. O Coffe, Tanamera, dan tentu saja Luwak Kopi. Mengesampingkan bahwa Luwak Kopi itu hasil dari tinjanya Luwak, manusia tetap saja mau mengkonsumsinya. Wah, sungguh harga diri kopi kini lebih mahal dari harga diri manusia ya.

Buat mahasiswa, Kopi itu alarm. Alarm dari segala hal. Alarm buat deadline tugas yang harus dikumpul besok pagi, alarm untuk aksi kemanusiaan, alarm pentingnya silaturahmi, alarm untuk sekadar nongkrong mikirin negara dan masih banyak alarm lainnya. Tapi, fungsi kopi tidak berhenti sampai di sana. Bagi mahasiswa, kopi adalah simbol kemerdekaan. Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berkumpul dan kemerdekaan berserikat. Semua itu berkat kopi.

Walau begitu banyak alasan mengapa saya harus menjadi kopi, ada kalanya saya sadari bahwa derajat buku masih lebih tinggi satu tingkat di atas kopi. Buku tidak pernah memilih pada siapa ia harus berlabuh, tapi kopi masih memilih perbedaan status sosial satu sama lain. Buku muncul sebagai penyetaraan derajat laki dan perempuan, namun kopi sejak pertama kali ditemukan selalu memihak salah satu di antaranya. Kopi tidak pernah mampu menjadi adil. Kopi memang ekspresi kemanusiaan, tapi setelah diseduh menguap pula seluruh atensi kemanusiaan itu. Sedangkan buku ia selalu menjadi yang terdepan untuk menyuarakan hak dan kewajiban kemanusiaan yang terpancar dari delapan penjuru mata angin.

Bagi saya yang bukan siapa-siapa, agaknya menjadi buku lebih baik dibandingkan menjadi kopi.


Retma Ayu Ningtyas lahir pada tanggal 31 Maret 1999.  Saat ini, menjadi mahasiswa di IAIN Surakarta jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Tahun 2019 pernah menjadi Koordinator Departemen Gender Rayon Sunan Kalijaga. Di tahun 2020, aktif menjadi anggota KOPRI PMII Komisariat Raden Mas Said Cabang Sukoharjo devisi Advokasi dan Jaringan. Dapat dihubungi di Instagram @Retmayuningtyas dan Twitter @AyoeRetma.

Editor: Eykaz
Ilustrasi: pmiigusdur.com