Oleh: Luq Yana Chaerunnisa

pmiigusdur.com - Pada saat acara peringatan Hari Perempuan Internasional beberapa hari yang lalu, yakni tanggal 8 Maret 2020 oleh segenap Aliansi Gerakan Perempuan yang ada di Semarang. Salah satu teman saya yang ikut dalam acara tersebut bertanya “Kenapa kita selalu membicarakan penindasan, ketidaksetaraan dan penderitaan yang dialami oleh perempuan? Padahal banyak perempuan-perempuan masa kini yang telah meraih kesuksesan, dan tak kira itu bisa kita contoh bersama daripada terus berlarut menceritakan ketidakadilan dan kesengsaraan yang dialami perempuan sehingga akan membentuk ketakutan itu sendiri.”

Kemudian saya menimpalinya “Lho, memangnya menurutmu selama ini orang-orang hanya menyuarakan pendapatnya akan ketidakadilan hanya untuk perempuan saja? Ini untuk semuanya, mbak bro... Untuk Perempuan maupun laki-laki ataupun eks-gender lainnya yang mengalami ketertindasan.”

Lalu ia menjawab lagi “Tapi, kebanyakan yang dibicarakan itu soal perempuan, setiap diskusi-diskusi pasti yang menjadi topik pembahasannya itu juga tentang ketertindasan yang dialami perempuan.”

Kami sempat berdebat panjang sebelum Long March itu dimulai. Perdebatan itu terputus saat bunyi pengeras suara berdengung di telinga kami. Ia tetap pada pendiriannya, bahwa ia tidak berminat untuk mengikuti diskusi-diskusi tentang penindasan dan aksi-aksi serupa yang selalu digaungkan oleh aktivis-aktivis itu.

Melalui coretan sederhana ini, saya menjadi tergelitik dan bersemangat untuk menjawab kegelisahan teman saya tentang sebuah pertimbangan mengapa kita harus melawan penindasan yang ada, terutama yang terjadi pada pihak perempuan. Bagaimana awal mula dari pembagian tugas yang berujung pada terenggutnya kebebasan perempuan sehingga timbul sebuah penindasan. Ini menjadi tugas kita bersama bahwa penindasan pada perempuan haruslah kita lawan.

Mengapa Kita Harus Melakukan Perlawanan terhadap Penindasan pada Perempuan?

Dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul Mengulik Sejarah Penindasan Terhadap Perempuan. Kita perlu menggarisbawahi, bahwa sebelum lahirnya alat-alat produksi, perempuan telah berkontribusi dalam membangun peradaban. Meski pada akhirnya, membuat mereka terdiskriminasi akibat perubahan zaman. Hari ini, kita tidak bisa memungkiri bahwa sisa-sisa kekuasaan dan tradisi feodal oleh nenek moyang terdahulu masih berlangsung. Dan lagi-lagi, yang menjadi objeknya adalah perempuan. Walaupun kondisi perempuan di beberapa hal telah mencapai keberhasilan, namun ketidakadilan, diskriminasihingga angka pelecehan terhadap perempuan masih tinggi.

Kita masih ingat betul dengan kasus Baiq Nuril, korban pelecehan seksual yang justru menjadi tersangka dan akhirnya dipenjara. Kemudian kasus bejat seorang kakek yang melakukan pemerkosaan pada anak-anak gadis perempuan di Cimahi, kasus kekerasan seksual yang terjadi pada Agni mahasiswi UGM, dan masih banyak lagi kasus kekerasan lainnya yang korbannya, tentuperempuan. Jika kita merujuk pada Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2020, menyebutkan bahwa jumlah korban kekerasan terhadap Perempuan di tahun 2018 dalam CATAHU 2019 mengalami peningkatan yaitu terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan pada tahun lalu. Di mana angka tersebut naik 6 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 406.178.

Belum lagi saat ini Undang-Undang yang dirancang oleh Pemerintah dianggap tidak lagi pro-terhadap kesejahteraan perempuan. Contohnya saja RUU Ketahanan Keluarga yang dianggap intervensi negara atas ruang privat masyarakat dan domestifikasi kaum perempuan yang tergambar jelas di RUU tersebut. Kemudian baru-baru ini juga dihebohkan dengan dikeluarkannya RUU Cilaka (Ciptaker) Omnibus Law yang dianggap merugikan buruh, terutama hak buruh perempuan. Sedangkan RUU yang diperjuangkan untuk kesejahteraan perempuan yakni RUU PKS tidak segera disahkan.

Sungguh miris, ironis, dan tragis. Hal tersebut tentu menjadi tanggung jawab kita bersama untuk tetap mengawal merekapara korban agar tidak lagi terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan. Sebuah hal yang sangat kejam ketika terdapat tindak kekerasan di lingkungan kita, namun kita sendiri tetap acuh tak acuh karena merasa itu tidak terjadi pada diri kita ataupun orang terdekat kita. Banyak orang yang masih beranggapan bahwa hal itu adalah urusan korban, tugas kita ya tetap berusaha untuk memberdayakan diri kita agar hal itu tidak terjadi pada diri kita. Seperti respon teman saya pada prolog tulisan ini.

Bu Nur Rofiah (Dosen pascasarjana PTIQ Jakarta dan Founder Ngaji Kajian Gender Islam) pernah berpesan dalam sebuah kajian gender di Semarang tahun lalu. Beliau mengatakan bahwa memang benar banyak perempuan-perempuan yang saat ini sudah maju dan berdaya. Tapi kita tidak hanya berjuang untuk diri sendiri, karena masih banyak yang dilemahkan”. Oleh karena itu kita harus menumbuhkan kesadaran sosial dan menghilangkan kesadaran palsu pada diri kita masing-masing. Memanglah tidak mudah untuk menghilangkan kesadaran palsu yang ada pada manusia. Kesadaran palsu ini merupakan istilah yang digunakan Karl Marx dalam menjelaskan fenomena kesadaran kelas proletariat pada saat itu.

Dalam suratnya Friedrich Engels, yang dikutip oleh Christoper Pines dalam buku Marx and His Historical Progenitors mengatakan bahwa kesadaran palsu yakni agen manusia yang tidak peduli terhadap motivasi kekuasaan yang mendorong pikiran dan tindakannya atau dengan kata lain, kesadaran palsu mencakup lemahnya pengetahuan nyata atau sebuah wujud ketidakpedulian atas sebab-sebab yang memengaruhinya. Hal inilah yang sedang dialami teman saya tersebut. Ia masih acuh tak acuh terhadap ketidakadilan yang ada disekitarnya. Lalu bagaimanakah caranya untuk menghilangkan kesadaran palsu tersebut?

Pendekatan budaya dapat menjadi alternatif untuk memahami masyarakat secara kultural maupun sosiologis. Di samping itu, kita juga harus memahamkan apa permasalahannya terlebih dahulu baik dalam ranah individual maupun dalam ranah sosial. Tentu dengan didukung dengan melakukan pendekatan-pendekatan lainnya.

Sekali lagi, baik laki-laki maupun perempuan harus bahu membahu untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Walaupun sudah banyak perempuan-perempuan maju di negeri ini, namun di sisi lain kita masih perlu berbenah bahwa di luar sana belum tentu mereka mendapatkan keberuntungan yang sama seperti halnya perempuan maju. Barangkali banyak kendala yang menyebabkan perempuan tersebut tersubordinasi, terdiskriminasi, dan lain sebagainya sehingga tidak dapat mewujudkan cita-citanya.

Hal ini tidak hanya berlaku pada perempuan saja, namun laki-laki dan semua manusia. Bahwa semua manusia berhak dilindungi apabila mengalami ketertindasan. Perempuan maupun kelompok rentan lainnya  harus mampu menemukan kesadaran pada dirinya, mampu bangkit, berusaha, bertindak bersama hingga tercapai tujuan yang diinginkan yakni keadilan untuk menggapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama.


Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya, yaitu Mengulik Sejarah Penindasan Terhadap Perempuan.
Editor: Eykaz
Ilustrasi: pmiigusdur.com