Oleh: Ahmad Sajidin


Kebudayaan santri, Tionghoa, Jawa dan juga lainya ada dalam satu panggung bersama yang tidak terlampau intens dalam berdialog, tetapi juga tidak saling menegasikan. Perdamaian negatif dan natural tercipta dengan ditandai oleh absennya konflik secara struktural. Dialog terjadi secara ilmiah dan kebanyakan dilakukan ketika ada “kepentingan bersama” atau simbol pemersatu di antara elemen-elemen tersebut. - Tedi Kholiludin, ‘Pecinan di Pecinan’


Sebuah kota biasanya identik dengan keaslian identitas budaya yang mendaku sebagai budaya asli kota tersebut. Kita ambil contoh, Jakarta yang dikenal betawi sebagai kebudayaan asli atau tuan rumah kebudayaan, Bandung dengan Sundanya, Demak dengan identitas santrinya, dan Solo dengan identitas Jawanya. Dalam hal ini biasanya sebagai tuan rumah kebudayaan seperti memiliki legitimasi kuat untuk mengaku sebagai paling pribumi di antara kelompok budaya yang lain. Sehingga kebudayaan lain dianggap sebagai tamu dan ternegasikan oleh budaya asli daerah tersebut. Lantas, di kota Semarang sebagai kota metropolitan apakah juga demikian?

Uniknya, Kota Semarang ini tidak seperti kota-kota lain yang memiliki identitas umum yang menjadi ciri khas kebudayaan asli di kota tersebut. Sekalipun Semarang sebagai ibukota Jawa Tengah, namun kota ini sangat cair dalam kebudayaan yang majemuk. Di kota ini tidak ada tuan rumah kebudayaan, yang ada ialah tuan rumah kebudayaan bersama, dan ini menjadi ciri khas yang menjadi identitas kota. Mengenai tuan rumah kebudayaan bersama, peneliti Lembaga Sosial dan Agama, Tedi Kholiludin meneliti secara khusus tentang tuan rumah kebudayaan yang ditulis dalam sebuah buku Pecinan di Pecinan yang lebih khusus menyoroti dua kebudaayan: Santri dan Tionghoa.

Berangkat dari elaborasi antara Clifford Geertz dan Ward Goodenough, Tedi kholiludin menyisir pendekatan penelitian tentang kebudayaan bersama ini melalui teori dua tokoh tersebut. Clifford Geertz mendefinisikan bahwa budaya adalah tentang aturan makna terdalam yang secara bersama dimiliki oleh masyarakat (Geertz, 1973) dan Ward Goodenough yang mendefinisikan bahwa budaya tidak dimaknai dalam pengertian materialnya, budaya dalam konteks ini dicermati dari sudut pandang kognitifnya. Ia berkaitan dengan sistem pengetahuan seseorang yang memungkinkan perilakunya bisa diterima oleh sebuah kelompok masyarakat (Ward H.Goodenough, 1991).

Memahami Apa Itu Tuan Rumah Kebudayaan

Tentang istilah tuan rumah kebudayaan atau share host culture ini diambil dari saran Anas Saidi, seorang peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang pada suatu waktu datang ke Semarang dan berdialog dengan Tubagus Svarasjati, seorang budayawan Semarang (Kholiludin, 2019). Mari lebih lanjut menelisik Semarang sebagai tuan rumah kebudayaan bersama secara historis dan sosial dengan sampel persinggungan santri dan tionghoa hingga menjalar ke kelompok-kelompok kebudayaan lainnya.

Secara hipotesis, panorama kehidupan masyarakat multikultural Semarang ditandai oleh hadirnya tuan rumah kebudayaan bersama. Kebudayaan santri, Tionghoa, Jawa, dan juga lainnya ada dalam satu panggung bersama yang tidak terlalu intens dalam berdialog, tetapi juga tidak saling menegasikan. Dialog terjadi secara natural dan kebanyakan hanya terjadi ketika ada “kepentingan bersama” di antara elemen-elemen tersebut. Mulanya, saya melihat bahwa di semarang, tidak ada tuan rumah bersama. Tetapi cara pandang tersebut kemudian saya ubah. Saya menggunakan kalimat positif, karena tidak adanya satu kebudayaan sebagai tuan rumah itu bisa berarti, bersama-sama sebagai tuan rumah, meski posisi masing-masing kebudayaan itu, terbatas pada wilayah atau titik-titik tertentu. Karena ada yang secara bersama-sama menjadi tuan rumah, maka “sesama tuan rumah, dilarang saling mendahului”. Temuan terhadap adanya shared host culture, tuan rumah kebudayaan bersama ini menjangkar dalam tiga topangan utama: konflik berlatar belakang etnis dan agama yang tidak masif dan menyebabkan munculnya korban jiwa dalam jumlah banyak untuk sebuah peristiwa berlatar belakang ras dan agama, pola pikir masyarakat yang bersifat kontraktual, serta hadirnya produk dan area kebudayaan bersama meskipun bersifat temporal (Kholiludin, 2019).

Dalam literasi lain yang ditulis dalam bentuk skripsi berjudul Semarang sebagai Entitas Budaya juga ditambahkan, bahwa kehidupan multikultural di Semarang bahkan tidak hanya tentang perbedaan etnis, tetapi juga perbedaan agama. Bahwa Cheng Ho merupakan salah satu tokoh yang menyatukan budaya Cina dengan Islam secara bersamaan. Meskipun Cheng Ho merupakan seorang muslim, namun tokoh ini dikenal oleh warga keturunan Cina sebagai salah satu tokoh yang mempunyai peranan penting bagi mereka. Penghormatan terhadap Cheng Ho dilakukan dengan membangun klenteng Sam Po Kong yang juga menjadi tempat ibadah agama Kong Hu Cu atau Tau.

Hidup berdampingan dengan perbedaan etnis dan agama telah menjadi bagian dari masyarakat Semarang. Sebagai contoh, banyaknya klenteng yang dibangun di sekitar wilayah Pecinan berdampingan dengan Masjid Menyanan yang menjadi salah satu masjid yang dibangun oleh warga muslim China sebagai masjid tertua di kawasan Pecinan. Begitu juga dengan keberadaan prasasti tolak bala milik warga China tepat berada di seberang Masjid Pekojan. Di titik yang tidak jauh dari Jalan MT Haryono, kawasan Pasar Johar menjadi alun-alun kota pada saat itu. Terdapat bangunan Masjid Kauman yang menjadi masjid tertua dan terbesar di Semarang pada saat itu. Sama halnya dengan pembangunan tempat ibadah bagi warga muslim, Gereja Blenduk menjadi gereja pertama yang dibangun di Semarang. Sebenarnya, Gereja Blenduk merupakan gereja bagi pemeluk agama Protestan, namun pada awal penggunaannya agama Kristen dan juga Katolik merayakan natal bersama di gereja ini karena belum tersedianya tempat ibadah.

Ketika beberapa paragraf di atas menjelaskan tentang fenomena sosial, kali ini akan sedikit mengulas dari aspek kesejarahan. Dua pakar menjelaskan pendapatnya mengenai Semarang yang jarang terjadi konflik, bahkan ketika aksi demonstrasi masa reformasi 98 sekalipun. Pertama adalah Rukardi dalam buku pecinan di Pecinan menuturkan, bahwa Semarang dibentuk oleh banyak golongan etnis dan agama. Setelah kedatangan Ki Ageng Pandan Arang dan kemudian menjadi pusat pertahanan VOC, kota ini berkembang menjadi kota metropolis. Orang-orang dari luar daerah, bahkan dari luar negeri datang dan menetap di sini. Interaksi sosial yang intensif dan berlangsung berabad abad itu membentuk karakter masyarakat Semarang menjadi pluralis. Kampung melayu, menurut saya bisa dijadikan studi kasus. Kawasan itu dihuni para pendatang sejak berabad-abad silam. Sampai kini, warga masih mempertahankan identitas kulturalnya msing-masing, tapi tetap bisa hidup berdampingan secara damai.

Kedua, Tubagus Svarajati memberikan kesaksian yang ditulis secara utuh dalam buku Pecinan di Pecinan. Begini ungkapanya “Tak lama, bergantian, naik pula ke panggung tiga sosok lain. Dua diantara mereka saya kenal baik, yakni Adhy Tristanto, dan Igm. Edi Cahyono Santoso. Yang pertama ialah pengusaha dan ahli periklanan, sedangkan sosok kedua adalah advokat. Saya kenal mereka dari pergaulan di komunitas fotografi. Entah bagaimana mereka punya akses dan nyali di tengah masa. Figur ketiga adalah Alvin Lie. Saya baru paham belakangan, Lie anak pengusaha toserba Mickey Mouse (belakangan toko ini bersalin nama Mickey Morse) di jalan Depok. Sekarang Mickey Morse tinggal nama saja.” Baru-baru ini ketika merebak aksi mahasiswa di berbagai kota tentang Reformasi Dikorupsi, Semarang cenderung kondusif meski masa yang datang mencapai ribuan.

Kelompok yang Mencoba Mendominasi Tidak Mendapat Tempat di Semarang

Dalam dinamika sebagai kota metropolitan Semarang tidak jarang diganggu oleh beberapa oknum kelompok yang mengatasnamakan ormas Islam yang menginginkan kelompoknya untuk mendapatkan tempat di Semarang, dengan cara menegasikan kelompok lain yang dianggapnya keliru. Caranya bisanya dengan demonstrasi, konfrontasi, dan simbolistik. Tidak ada argumentasi-argumentasi yang kuat dalam aksi-aksinya, rata-rata hanya karena sempitnya pandangan keagamaan. Hal ini bisa dilihat ketika ada sekelompok ormas yang menolak agenda sahur bersama Ibu Shinta Nuriyah Wahid di Gereja Katolik Petrus Raja, Ungaran Kabupaten Semarang. Kemudian pada 2017 Front Pembela Islam hendak mendeklarasikan diri di Semarang. Namun, penolakan kembali terjadi. Deklarasi yang sedianya akan dilakukan di rumah salah satu pengurus, 13 April 2017, akhirnya urung dilaksanakan. Peristiwa serupa terjadi pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengadakan acara masyirah panji Rasulillah yang digelar di DPD HTI Jawa Tengah tidak diberi izin oleh Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol. Abiyoso beralasan acara tersebut berpotensi mengancam kerukunan umat beragama di Semarang. (Kholiludin, 2019).

Dengan dua pendekatan historis dan sosial di atas kiranya jelas bahwa di Semarang sebagai Identitas kotanya adalah Tuan Rumah Bersama Kebudayaan, semuanya saling membersamai meski tidak begitu intens dalam berinteraksi. Akan tetapi ada perjumpaan-perjumpaan sosial yang membuat Semarang milik bersama ini bisa terbangun dengan solidaritas kultural masyarakatnya. Hal ini perlu dilestarikan dan dikabarkan agar menjadi narasi besar bahwa Semarang adalah kota Toleran yang menjaga kebhinekaan budaya di dalamnya. Untuk menjaga hal tersebut penulis berpendapat perlu adanya  integrasi yang dibangun antara pemerintah, Instansi Pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Kepemudaan, dan masyarakat secara luas agar kelompok-kelompok yang mencoba masuk untuk merusaknya bisa terus diblokir aksesnya di kota multikultural ini.



Pertama kali terbit di pmiisemarang.com 
Editor: Eykaz
Ilustrasi: darisejarah.blogspot.com