Oleh: Yulita Putri

pmiigusdur.com - Bolehkah menggugat kebudayaan? Atau mengkritik perayaan yang melekat hingga menjadi tradisi?

Sebagai perempuan (Ralat, mungkin lebih tepatnya salah satu warga Indonesia) jelas saya sangat geram. Tidak hanya geram, tetapi juga timbul penyesalan karena kebodohan diri yang terus dipelihara atau malah dikembangkan. Kalau kata Om Roem Topatimasang dalam bukunya Sekolah itu Candu membengkak tapi lebam dan lamban.

Mungkin sudah lama sekali kita kehilangan esensi sosok pemikir revolusioner Indonesia yang pemikirannya begitu jauh melampaui masanya, bahkan dijadikan SoekarnoProklamator Republik Indonesia—sebagai salah satu tokoh yang menginspirasi dirinya. Ia adalah Kartini yang biasa kita kenal sebagai Ibu Kartini dengan iringan lagu dan style komplit kebaya dan konde di setiap peringatan hari lahirnya.

Saya rasa kita melupakan banyak hal, atau mungkin sengaja melupakan. Entahlah, tetapi yang jelas saya merasa berdosa sebagai perempuan (Maaf ralat lagi, salah satu warga Indonesia) yang ikut merasakan manisnya buah perjuangan pergulatan pemikirannya. Namun, tidak berusaha berterima kasih kepada beliau dengan setidaknya tahu-menahu perjuangan beliau. Kita semua akui, sepak terjang yang beliau lakukan selama hidup telah banyak mengilhami kemajuan perempuan di Indonesia. Malah, jika tidak terlalu berlebihan saya katakan bukan hanya perempuan Indonesia, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Bukankah Soekarno juga pernah mengatakan kalau perempuan adalah kunci baik buruknya suatu bangsa.

Berhubung ini adalah bulan April dan sebentar lagi adalah hari kelahiran Kartini, 21 April yang kerap dirayakan dengan pelbagai atribut simbolis. Aku berusaha mencegat sejak jauh hari sebelum perayaan kelahiran beliau dimulai. Hal ini penting agar kita tidak hanya berhenti sekadar penampilan. Tetapi menambah atau memodifikasi perayaan dengan banyak mengangkat pemikiran-pemikiran beliau, serta meniti lika-liku perjalanan yang beliau rasakan—pahit, asin, dan manisnya perjuangan.

Alangkah sangat disayangkan, jika kita terlena oleh euforia perayaan yang menenggelamkan. Aku yakin, jika saja RA. Kartini masih hidup tentu ia akan lebih merasa sangat bahagia jika kita mengenangnya dengan melanjutkan semangat perjuangan dan cita-cita yang selama ini ia harap-harapkan.

Aku sangat berharap perayaan kelahiran Ibu Kartini tidak sebatas hanya pada kumandang lagu ibu kartini dan menggunakan pakaian kebaya yang hanya seputar ajang penampilan atau kecantikan.

Bukankah penampilan adalah salah satu hal yang digugat oleh Kartini pada masa itu? Karena saat itu dalam tradisi yang distereotipkan dan dijalankan oleh seluruh masyarakat, seorang wanita dianggap baik dan ideal apabila menjaga dan selalu merawat kecantikannyameskipun pemikirannya tidak terisi.

Jadi, jika kita hanya berhenti kepada aspek perayaan penampilan, bukankah itu mencederai cita-cita luhur yang harap-harapkan oleh Kartini? Sekali lagi, aku sangat mengharapkan kita melanjutkan ke langkah berikutnya yang lebih dibutuhkan Bangsa Indonesia. Karena kita pasti merindukan lahirnya kembali jiwa-jiwa Kartini.

Ada begitu banyak pemikiran beliau yang sangat perlu kita bumikan kembali. Begitu banyak pergulatan pemikiran dan sikap-sikap berani beliau dalam mengarungi hidup. Salah satu hal yang spesial dari beliau adalah ketangguhannya dalam mendobrak takdir yang melekat pada dirinya.

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau yang lebih akrab dikenal RA. Kartini merupakan anak dari seorang bupati Jepara yaitu Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah Aminah yang merupakan istri pertama namun bukan istri utama dalam tradisi pada saat itu. Menurut sejarah, Kartini memiliki garis keturunan sampai Sri Sultan Hamengkubuwono VI.

Darah biru sangat jelas mengalir deras di dalam tubuh Kartini. Namun, mengutip apa yang dikatakan Pram pada buku Panggil Aku Kartini Saja, mari kita mengingat kartini tetapi bukan dari sudut pandang domestik rumah seperti dia adalah gadis pingitan lalu dinikahkan secara paksa, lalu melahirkan, lalu mati. Sejenak kita alihkan pikiran kita bagaimana Kartini melawan itu semua. Melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal penjara kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun. Kartini tak bermodalkan apapun, yang dipunyai adalah kepekaan dan keprihatinan dan ia tulislah segala perasaannya yang tertekan itu.

Masa pingitan tak membuat kartini putus asa, ia justru melahirkan banyak sekali gagasan pendidikan perempuan. Walalupun Kartini ditakdirkan terlahir dari kaum bangsawan, yang umumnya pada masa feodal saat itu sekitar akhir abad ke 19, gadis-gadis ningrat ikut melanggengkan status quo kekuasaan dan tradisi yang ada dalam masyarakat, tapi justru sikapnya sangat berbalik dan melawannya.

Berbagai hal beliau kritisi, Kartini berupaya merubah hal-hal yang menurutnya tak pantas untuk dipertahankan meski hidupnya yang kemudian harus menjadi bayarannya. Mulai dari susunan strata sosial, pendidikan, tradisi kolot, hingga agama yang saat itu menjadi dogma tersakral.

Sampai di sini mari kita berkontemplasi—tanyakan pada diri kita masing-masing. Sudahkah kita merubah apa yang menurut kita tak pantas untuk dipertahankan meski hidup kita menjadi bayarannya?

Selamat menyambut Hari Kartini, 21 April 2020 mendatang.


Editor: E-ykaz
Ilustrasi: pmiigusdur.com