pmiigusdur.com - Di negara kita problem bahasa tidak begitu diperhatikan apalagi di era
digital dan teknologi seperti sekarang ini. Bahasa yang setiap hari digunakan
acapkali memiliki perubahan yang sangat cepat, baik dalam pelafalan maupun makna
yang dimaksudkan. Fenoma ini tentu akan menimbulkan kerancuan di pelbagai lini kehidupan,
mulai: sains, teknologi, tradisi, kuliner, agama, seni, filosofi, pendidikan,
militer, diplomasi, lingkungan hidup, ekonomi, kesadaran diri, kesehatan, dan
lain sebagainya.
Hal ini bisa kita kaitkan dengan persoalan pandemi Covid-19 misalnya. Pada awal kemunculannya, wabah ini masih disebut sebagai endemi, artinya hanya menjalar di sekitar wilayah wabah itu berasal. Tetapi lambat laun wabah ini begitu cepat persebaranya hingga pada bulan maret lalu, sampailah ke Indonesia dan diumumkan pemerintah Indonesia bahwa ada dua warga Indonesia yang positif terjangkit Covid-19 atau yang sering disebut virus corona.
Hal ini bisa kita kaitkan dengan persoalan pandemi Covid-19 misalnya. Pada awal kemunculannya, wabah ini masih disebut sebagai endemi, artinya hanya menjalar di sekitar wilayah wabah itu berasal. Tetapi lambat laun wabah ini begitu cepat persebaranya hingga pada bulan maret lalu, sampailah ke Indonesia dan diumumkan pemerintah Indonesia bahwa ada dua warga Indonesia yang positif terjangkit Covid-19 atau yang sering disebut virus corona.
Kemudian World Health Organization (WHO) mengumumkan wabah ini sebagai
pandemi. Sehingga seluruh warga dunia perlu waspada untuk mengantisipasi wabah
ini agar siap ketika nanti wabah tersebut telah menyebar di negara manapun
di seluruh dunia. Bersamaan dengan itu, WHO kemudian memunculkan beberapa
istilah yang kemudian viral di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tidak lain, bahwa istilah-istilah tersebut digunakan sebagai imbauan pencegahan penyebaran virus corona.
Beberapa istilah tersebut di antaranya:
social distancing (Pembatasan Sosial), kemudian diubah menjadi physical
distancing (pembatasan fisik). Kemudian di negara-negara yang wabahnya sudah
menjalar luas dan banyak memakan korban menerapkan kebijakan yang kita kenal
dengan sebutan lock down (Terkunci).
Sejak bulan Maret lalu, angka posotif di Indonesia menaik signifikan, diikuti dengan jumlah kematian yang signifikan pula. Baru bulan Maret virus
tersebut resmi diumumkan dan terus menaik hingga saat ini (cek di worldometers). Itu hanya angka yang terdeteksi dan disampaikan oleh
pemerintah. Kemungkinan besar masih banyak kasus positif yang belum
terdeteksi, mengingat masih terlalu sedikit jumlah yang telah melakuakn tes Covid-19 dibandingkan dengan jumlah total penduduk Indonesia.
Dengan angka yang muncul begitu signifikan, dan penanganan yang belum
maksimal, sontak masyarakat di berbagai daerah berinisiatif untuk melakukan
swadaya pencegahan Covid-19 di daerahnya masing-masing. Sebagian dari mereka
menerapkan lockdown seperti
di beberapa negara-negara lain. Hal ini tampak dilakukan di berbagai kota seperti
Tegal, dan sampai pada tingkat desa seperti yang dilakukan beberapa desa di
Pati. Menariknya, ada pula yang menuliskan lockdown dengan kata lock don’t.
Dalam kaitanya dengan kasus semacam ini, dalam buku yang ditulisnya, Fariz
Alniezar menulis lema pemilu dan bahasa kuminggris. Dalam buku tersebut ia mengkritik istilah-istilah seperti: parliamentary threshold, electoral threshold, quick count, real
count, one man one vote, vote getter dan lain sebagainya. Karena menurutnya motif ini tidak ada kaitanya dengan motif pendidikan politik, akan tetapi hanya
motif gagah-gagahan yang tidak berdampak signifikan dan cenderung
mengindikasikan mental kita yang inlander—tidak bangga dengan bahasa sendiri. Dalam hal ini ia menyampaikan kenapa
bahasa yang digunakan tidak menggunakan bahasa yang mudah dipahami seperti kata
ambang batas parlemen untuk parliamentary
threshold, hitung cepat untuk quick
count, dan hitung resmi untuk real
count. (hlm 93)
Jika kita menilik fenoma corona di Indonesia, hari ini juga menjumpai
fenoma yang sama. Mengapa yang disebarkan itu kata lockdown bukan karantina wilayah (meskipun akkhir-akhir ini baru
terdengar disampaiakan lewat berbagai berita), mengapa memakai diksi physical
distancing bukan jaga jarak, sehingga bahasa yang disampaiakan benar-benar
memberikan efek edukasi pada masyarakat di semua kalangan.
Di dalam buku ini, terdapat banyak lema bahasa yang rancu secara pelafalan
dan makna yang disebabkan oleh kemalasan membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) dan ada pula yang kesalahan itu justru berasal dari KBBI. Fariz menjelaskan secara
detail berbagai problem tersebut dalam empat bagian, tentu disertai argumen yang logis dan filosofis berdasarkan pada ilmu kebahasaan yang teliti.
Di bagian awal, ia menulis kritik soal lema 'amar ma’ruf nahi munkar' dan 'dakwah'. Kritik yang disampaikan penulis dalam hal ini mengkritik sebagian
kelompok yang menggunakan legitimasi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai
perintah untuk merazia orang Islam yang menggunakan atribut natal. Bagi penulis
orang yang memiliki paham demikian, sangatlah dangkal dalam memahami bahasa dan
ia tidak dengan jernih mengidentifikasi siapa yang mengungkapkan dan bagaimana
menyikapinya.
Penulis berpendapat bahwa di negara
Indonesia yang menggunakan hukum positif, yang berhak meberikan perintah adalah
pemerintah yang punya kuasa. Karena itu, tidak berhak lembaga selain
pemerintah untuk memberikan perintah semaunya sendiri. Selain lembaga pemerintah,
ia punya hak untuk berdakwah yang dalam bahasa Indonesia mempunyai makna
ajakan, misalnya dalam konteks ini adalah MUI. Kemudian dalam al-Quran kalau dicek
kata 'amar' dan 'dakwah', maka akan muncul pasangan kolokatif yaitu amar (perintah)
untuk bertujuan ma’ruf (kebaikan). Dakwah juga memiliki tujuan untuk berbuat
khair (kebaikan). Sehingga dalam laku keseharian, akan muncul kesepahaman bahwa
yang berhak memiliki kuasa memerintah adalah pemerintah, sedangkan wilayah ulama
adalah dakwah (ajakan) dan keduanya seharusnya memiliki tujuan yang sama yaitu
kebaikan. (hlm 16-19)
Di halaman lain dengan lema yang lain, penulis juga mengkritik tentang
kemalasan kita yang jarang membuka kamus. Sehingga memberikan pemahaman yang
jauh dari apa maksud suatu kata itu ada dan mempunyai makna apa asal kata itu
diciptakan. Misalnya, dalam penggunaan istilah 'mudik' yang setiap tahun ada dan
sangat ramai diperbincangkan. Meski tahun ini memang ada larangan dari
pemerintah, karena virus corona masih mewabah. Terlepas dari hal itu, apakah kita
semua tahu apa makna mudik dalam KBBI? Mudik
diartikan sebagai 1. (berlayar, pergi) ke udik (hulu Sungai, pedalaman) 2.
Pulang ke kampung halaman. (hlm 62)
Dari risetnya dengan metode semantic
habit (perilaku semantik) muncul kesimpulan bahwa makna mudik menurut
responden adalah: jalan pantura, macet, dan kampung halaman. Dari sini kemudian
penulis merujuk pada pendapat Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya Arus Balik
yang curiga bahwa bangsa ini telah berbalik peradaban yang aslinya maritim
menjadi daratan. (hlm 62)
Tidak hanya mengkritik kemalasan warga Indonesia yang malas membaca KBBI,
penulis juga mengkritik KBBI yang menurutnya banyak kesalahan dalam mengartikan
bahasa. Misalnya dalam lema 'kurban' dan 'korban' yang cenderung disamakan artinya. Padahal, secara praktek penggunaan bahasa jauh berbeda.
Dalam KBBI, kurban
diartikan 1. Persembahan kepada Allah
2. Pujaan atau persembahan kepada
dewa-dewa. Sementara itu, lema korban diartikan 1. Pemberian untuk menyatakan kebaktian 2. Orang, binatang dsb yang
menjadi menderita (mati dsb) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat. Jika
kita cermati, keduanya hampir memiliki arti yang sama padahal dalam realitas
keseharian sangat jauh berbeda. Jika kurban berarti perilaku kebaktian kepada
Tuhan, sedangkan korban adalah seseorang atau pun makhluk yang sedang mengalami
penderitaan. Ini berarti bahwa KBBI pun harus terus proaktif untuk diberikan
masukan agar makna kata yang dihasilkan bisa sesuai dengan laku yang ada dalam
keseharian masyarakat pengguna bahasa, dan tentu itu harus dari ahli yang
melaksanakanya.
Dari beberapa uraian di atas, jelaslah betapa pentingnya kita untuk lebih
jeli dalam menggunakan bahasa. Karena dampak yang ditimbulkan sangatlah
kompleks bagi kehidupan kita. Mengutip apa yang dikatakan oleh Anton M Moeliono
(2010) bahwa bahasa adalah hakikat dari pikiran itu sendiri. Bahasa yang
sistematis dan baik secara langsung menunjukkan ketertiban pola pikir sang
penutur. Namun sebaliknya, bahasa yang tak sistematis adalah dalil kuat akan
keruwetan pikiran sang penutur.
Tentunya hal ini akan mengiringi proses
kebudayaan yang ada di suatu tempat. Sebagaimana mendiang Ayatrohaedi (2009) mengungkapkan,
kebudayaan yang baik secara tidak langsung terbangun dari pondasi kebiasaan
yang baik, kebiasaan yang baik sudah barang tentu lahir dari pola pikir yang
baik, dan pola pikir yang baik tidak lain bisa tumbuh subur dari bahasa yang
baik.
Terakhir, buku ini sangat disarankan bagi semua kalangan mengingat bahasa
yang digunakan mudah dan juga tidak tebal, hanya 186 halaman. Jadi bisa dibaca
sesukanya tanpa harus berpikir berat.
Judul
Problem Bahasa Kita
Penulis
Faris Alniezar
Penerbit
Kaktus
Cetakan
Pertama, Tahun 2017
Tebal
186 Halaman
ISBN
978-602-5044-1-7
Peresensi
Ahmad Sajidin
Editor: Eykaz
0 Komentar