Oleh: Ahmad Aam
pmiigusdur.com - Selain bau baju baru, aneka jajanan, minyak wangi, bau masakan di pagi hari, lebaran kali ini tentu saja menguarkan segala hal tentang pandemi Covid-19. Setiap saudara atau tamu yang berkunjung tak akan melupakannya barang sejenak. Setiap orang akan hadirkan cerita bermacam segi dari corona. Corona akan dikupas habis seperti kupasan bawang merah; lapis demi lapis. Dari yang saya dengarkan, hal paling sering diobrolkan adalah soal asal muasal corona.

Ceritanya begini: virus ini berasal dari Cina, karena orang Cina yang sangat keterlaluan memakan sesuatu yang jelas-jelas hewan haram. Kelelawar dimakan, seperti tidak ada makanan lain. Dasar memang orang kafir. Inilah akibatnya!

Perlu diketahui, seluruh orang desa saya muslim dan tidak ada yang keturunan Cina. Terberkatilah kami (muslim) dan terkutuklah orang Cina, sudah kafirCina lagi. Inilah kesimpulannya. Dari ini saya mencoba mencari-cari, mengapa Cina seterkutuk ini di masyarakat desa saya. Saya menduga barangkali ini adalah kebencian yang diwariskan.

Sejak orang-orang Cina berlayar dan berlabuh di dermaga-dermaga Nusantara ini. Berbagai motif dibawa oleh orang-orang Cina, dari mulai berdagang, penyebaran agama, dan lain sebagainya. Hingga keberadaannya dianggap mengancam compeny (Belanda), mulailah dibuat strategi-strategi untuk menghancurkannya. Dan pecinan adalah warisan Belanda yang sampai saat ini masih bisa kita lihat. Pecinan adalah sebentuk pengelompokkan atau pemusatan orang-orang Cina di Indonesia. Pemusatan ini difungsikan Belanda agar bisa mengawasi orang-orang Cina lebih mudah. Dari inilah kebencian itu bermula.

Bahkan setelah Indonesia merdeka, pemusatan pecinan masih tetap saja dipertahankan. Di masa kepemimpinan Soekarno, peranakan Cina masih tetap saja beroleh perlakuan yang tidak sama dengan orang-orang lain yang hidup di negara baru: Indonesia. Bahkan tak jarang orang-orang Cina dianggap etnis lain, bukan pribumi Indonesia. Padahal bila dirujuk tak ada manusia yang asli berasal dari atas tanah di dunia ini, semua manusia adalah pendatang. Maka definisi manusia di Indonesia tidak punya landasannya, siapakah manusia yang asli Indonesia, bila semuanya adalah pendatang. Memang, pada masa ini ada peristiwa maraknya orang-orang Cina yang baru berlabuh di Indonesia, dengan dipermasalahkannya hal ini, orang-orang Indonesia lantas menggeneralisir semuanya—baik yang baru datang (baca: orang cina) maupun yang sudah sekian lama hidup di Hindia Belanda (baca: peranakan cina)—untuk diusir dari Indonesia.

Derita peranakan Cina masih terus berlanjut di masa transisi Soekarno ke Soeharto. Terutama propaganda perihal Cina adalah negara komunis, karena di masa ini Soeharto mengkambinghitamkan komunis untuk memuluskan jalannya menjadi penguasa. Komunis jahat, komunis tidak sejalan dengan pancasila, dan banyak rumor-rumor lain lagi yang tersebar waktu itu. Imbas bagi peranakan Cina adalah logika yang dibangun begini: setiap Cina adalah komunis, sementara komunis adalah orang yang ateis, maka setiap orang Cina adalah ateis, walhasil setiap orang Cina tidak memiliki agama. Sebab ini orang-orang semakin membenci segala hal yang bernama Cina. Peraturan penggantian nama Cina juga merupakan bentuk diskriminasi lain yang dialami oleh peranakan Cina di masa Soeharto.

Masa Reformasi pada tahun 1998 yang dirayakan dengan gegap gempita, ternyata tidak juga memihak pada peranakan Cina di Indonesia. Mereka masih tetap saja dianggap orang-orang pendatang dan dianggap ingin menguasai indonesia. Di hari-hari ini tak jarang pembakaran, pemerkosaan, dan penjarahan terhadap usaha milik peranakan Cina adalah catatan pilu lain yang dialami oleh peranakan Cina. Ini mungkin adalah riwayat singkat warisan kebencian terhadap peranakan Cina.

Hingga kini rumor-rumor peranakan Cina yang ateis dan ingin menguasi Indonesia masih tetap saja hidup di pikiran orang-orang desa saya. Bila di kristen ada sebutan dosa asal, mungkin orang-orang Cina di mata orang desa saya adalah selayaknya dosa asal. Di manapun berada, dosa itu selalu melekat. Melalui virus corona, rumor-rumor itu kembali beroleh pembenar. Corona adalah semacam kayu bakar kering, ia adalah penyulut api yang terbaik.

Lalu apakah keharaman kelelawar yang dimakan oleh orang Cina adalah efek domino dari merebaknya virus corona? Saya lebih percaya menjawabnya tidak. Alasannya saya analogikan dengan tulisan Marvin Harris dalam bukunya berjudul Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir. Dalam salah satu bab mengenai keharaman babi, Harris mematahkan dua pendapat umum mengenai sebab-sebab diharamkannya babi. Yang pertama adalah dari segi kesehatan, karena babi dianggap sebagai hewan yang mengandung cacing pita. Jika mengacu pada pendapat ini, Harris mematahkannya dengan menyebutkan bahwa setiap hewan sebenarnya mengandung cacing pita bila tidak matang dalam memasak. Sedangkan yang kedua adalah babi dianggap hewan yang sangat kotor. Padahal menurut Harris, babi adalah hewan yang tidak mengeluarkan keringat sama sekali, kebutuhan akan lingkungan lembab menjadi sebab ia tidak bisa hidup di daerah yang kering. Jika berada di daerah kering, babi mau tidak mau menggunakan kotorannya sendiri untuk bisa membuat lingkungannya tetap lembab.

Karena Islam turun di Arab yang merupakan daerah kering, maka babi adalah hewan yang sangat istimewa. Setiap orang yang bisa memakan daging babi hanyalah orang-orang tertentu yang memiliki harta berlimpah untuk membelinya. Maka diharamkannya hewan ini, karena untuk menghambat adanya keinginan berlebih orang-orang memakan daging ini. Selain itu juga untuk mengurangi akibat yang ditimbulkan yaitu kecongkakan—karena hanya segelintir orang yang mampu membelinya. Suatu kecongkakan yang juga memuat kekuatan-kekuatan tertentu. Inilah yang lebih masuk akal, alasan diharamkannya babi dalam Islam, suatu perintah yang mempertimbangkan keadaan ekologis.

Dari analogi babi ini, kelelawar diharamkan juga pasti berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekologis yang melingkupinya.

Jadi bukan karena keharaman hewan, saya lebih percaya alasan merebaknya virus adalah akibat dari lingkungan dunia yang dari hari ke hari semakin rusak. Mungkin saja karena kebetulan virus itu menempel di kelelawar lalu dimakan oleh orang, mulailah virus itu menyebar dan terus menyebar hingga menjadi pandemi di dunia ini. Sama dengan apa yang sudah disampaikan oleh JJ Rizal dalam sejarah terjadinya wabah malaria di Batavia sebagai akibat dari tata ruang dan bangunan kota yang tidak sesuai dengan lingkungannya—karena imajinasi kerinduan kota-kota Belanda yang ingin dihadirkan oleh para mener-mener terdahulu. Kerusakan atau perubahan ekologis inilah yang menjadi penyebab utama berbagai macam virus mudah tersebar.

Alhasil, daripada mengutuk Cina, saya lebih baik mengutuk kerusakan ekologis yang dilakukan oleh para kapital sebagai akibat dari pandemi covid-19.

Balik lagi ke orang-orang desa dan bapak saya yang sudah membenci segala hal berlabel ‘cina’ (baik barang, orang-orang Cina, maupun peranakan Cina)—diakui atau tidak—orang Islam Indonesia getol mengutuk dua golongan, pertama Yahudi (sebagai akibat dari antisemitisme) yang kedua adalah orang-orang Cina—sebuah kebencian warisan dari Belanda. Meski sebenarnya KH. Abdurrahman Wahid sudah meneladankan di jauh-jauh hari untuk saling menghormati apapun suku, agama, dan rasnya. Padahal daripada mengutuk orang-orang Cina, akan lebih baik bila mengingat Cina melalui maqolah yang sudah terbiasa kita dengar,”tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.” Saya yakin ini lebih menyiratkan makna yang dalam dan luas.

Memikirkan obrolan-obrolan orang desa dan bapak, saya jadi membayangkan, bagaimana kalau saya menikah saja dengan orang Cina. Mungkin bisa menghilangkan kebencian dari orang-orang desa dan bapak saya terhadap ‘cina’. Heuheu



Rembang, 27 Mei 2020


Penulis: Ahmad Aam - Kader PMII, hanya bisa dihubungi melalui surel: amirudin.ahmad13@gmail.com
Editor: e-ykaz
Ilustrasi: pmiigusdur.com