Oleh: Syafiq Yunensa
"Sedang belajar menggambar nih, Boy. Biasalah sekali-dua mencoba hal baru, bosan menulis terus. Hehe..." jawab Joni dengan tetap fokus pada pensil dan buku gambar.
Joni menggambar beberapa tumpukan mayat berseragam pejuang, lengkap dengan lengan kanannya terbalut pita merah dan putih. Tumpukkan mayat itu berjumlah kisaran tujuh orang, di atasnya terdapat seorang laki-laki berpakaian rapi: berdasi, berjas dan bercelana hitam. Terlihat pula lelaki itu membawa koper hitam, klop dengan pakainnya, juga ditambah bendera merah putih yang dikibarkan, yang ini cukup aneh.
"Bukankah sekarang Harkitnas ya, Jon? Gambarmu kok seperti itu?”
Joni terus saja menggambar tanpa memperdulikan celotehan Boy. Hal itu lantas membikin Boy terheran, barangkali justru dirinya yang salah baca. Lalu, ia berselancar internat dan mengetik dengan keywoard Harkitnas. Ternyata ia tak salah, Hari ini, 20 Mei 2020 memang Hari Kebangkitan Nasional.
Joni masih meneruskan gambarnya, melengkapinya dengan selompok orang terpelajar. Bercelana merah, biru, dan abu-abu dengan baju berwarna putih menandakkan tingkatan sekolah dari SD hingga SMA. Lalu setelahnya, ada beberapa orang yang memakai toga. Sekelompok terpelajar itu tajam mengarahkan matanya melihat tumpukkan mayat, beberapa dari mereka ada yang bertepuk tangan. Tidak sampai di situ, Joni mulai menggambar beberapa orang berbaju putih-putih. Sepertinya gambar dokter dan suster karena mereka membawa kotak putih, tepat di tengahnya terdapat tanda ‘+’ berwarna merah.
"Ini HARKITNAS, Jon! Coba lihat!" Boy menunjukkan keterangan pada layar ponselnya.
"Memang benar, Hari Pesakitan Nasional ‘kan?" jawab Joni dengan enteng.
"Eh, 20 Mei juga ternyata Hari Bakti Dokter Indonesia,"
"Iya, aku paham, Boy. Makanya jangan tidur kelamaan, biar enggak ketinggalan zaman!"
Boy hanya diam dan merenung sembari terus melihat Joni mewarnai. Kemudian Joni melengkapinya kembali dengan gambar seorang petani, nelayan, dan buruh pabrik di sebelah kanan tumpukan mayat. Mereka beraut muka sedih, ingin membantu tetapi tak berdaya, sepertinya.
***
Meski hasil gambar Joni tak bagus-bagus amat, ia tetap bahagia. Menempelkannya pada styrofoam yang melekat pada dinding kamar kost-nya, seperti majalah dinding.
Merasa sedikit kurang, Joni menambahkan catatan di bawahnya. Seperti ini…
"Pahlawan adalah seorang yang mengundurkan diri untuk dilupakan, seperti kita melupakan yang mati untuk revolusi, bahkan sampai reformasi" Joni mengutip ucapan Gie, menambahinya sedikit.
"Demi apa kau menggambarkan itu, Jon?" Boy mulai bertanya kembali.
"Untuk mengenang perjuangan pendahulu kita, Boy."
"Tolong jelaskan apa maksud dari gambarmu?"
"Sesungguhnya mayat para pejuang yang bertumpuk adalah manifestasi dari banyaknya korban dalam merebut kemerdekaan kala itu. Lalu seorang berpakaian rapi di atasnya: membawa koper hitam dan bendera merah-putih, mewakili orang-orang terpelajar pada masa kini yang menjual idealisme dan menjadi bagian dari oligarki. Mereka tertawa di atas penderitaan pendahulu mereka sendiri," Joni menjelaskan perlahan sembari memandangi gambar.
"Dan orang-orang disekitarnya, orang-orang terpelajar yang terdiri dari siswa ataupun mahasiswa. Mereka adalah orang pintar yang diajarkan pelbagai macam hal di bangku-bangku formal yang sudah dijangkiti oleh kepentingan pemilik modal. Sehingga, hanya bisa bertepuk tangan melihat realitas yang ada. Mereka lupa bahwa di antara tumpukan mayat tersebut ada juga yang berasal dari kalangan mereka, sama terpelajarnya. Sayang, karena sangking banyaknya tuntutan formal mereka bukan hanya menjadi lupa, melainkan tak peduli,"
"Dokter dan suster yang seperti telat mengobati itu, terlihat murung dan kecewa karena sangat cepatnya para oligarkis beraksi. Bagaimana-pun mereka masih sedikit mengingat sejarah. Bahwa pada zamannya, yang memotori Kebangkitan Nasional dengan didirikannya Sarekat Islam, Indische Partij, Budi Utomo, dan lain sebagainya adalah para Dokter Jawa lulusan perguruan tinggi tertua pada masa Hindia Belanda: STOVIA,"
“Dan kaum buruh, tani, serta rakyat pun hanya bisa menonton. Mereka juga sadar bahwasannya dahulu, yang berjuang dan berkorban adalah orang-orang buruh, tani, nelayan, dan sebagainya yang keringatnya serkng diperas oleh kolonial. Mirisnya hari ini mereka justru diperas oleh bangsa sendiri." Pemaparan Joni cukup panjang dan lebar.
"Apakah kau berpikir sekarang bangsa ini belum bangkit, Jon?"
"Barangkali itu yang aku pikirkan. Lebih jauh lagi, barangkali bangsa ini justru tak merdeka lagi? Ahh... Sulit untuk memikirkannya, Boy. Semuanya seperti sudah direncanakan secara terstruktur, sistematis, dan massif. Kau merasakan sendiri bagaimana justru kampus sebagai garda terdepan perlawanan justru menjadi pusat pengkaderan Neo-kolonialisme." Ucap Joni sembari mengambil handuk di atas pintu, ia bersiap mandi.
"Neo-Kolonialisme? Apa itu?" tanya Boy, heran.
"Cari definisinya di internet, barangkali kita termasuk di dalamnya? Tetapi keberadaanku di dalamnya jelas untuk melawannya!" Pungkas Joni dengan tegas.
Penulis adalah penggagas KOPI Perubahan, Penjahit @ruangkarya_f02
Editor: eykaz
Ilustrasi: pmiigusdur.com
1 Komentar
Joni lagi, Joni lagi... Hadeuhh...
BalasHapus