Oleh: Pena Nestapa

pmiigusdur.com - Hidup dalam jaring yang melingkar bukanlah dambaan semua orang meski bertabur emas berlian. Meskipun begitu, beberapa orang menginginkannya. Namun, yang pasti dambaan semua orang adalah kebebasan, kebahagiaan, dan kasih sayang.

Tangan halus itu memainkan kapas putih di bawah bentangan kain biru, membawanya ke tenggara lalu ke bara laut, sekali dua membuatnya hilang, putih, cepat dan lenyap. ‘Nima’ sebuah doa yang melekat pada tumpukan daging—membuatnya hidup, yang entah tergolong herbivora, karnivora, maupun omnivora.

Nima belum beranjak dari tempat duduknya. Ia masih memainkan roda grigi, memasang puzzle, memainkan sekotak krayon dan mulai melukis anak kecil sedang duduk manis merunduk dengan senyum tipis memainkan daun ringkih dengan jemari mungilnya.

“Ibu pindah ke seberang dulu ya, Nima. Jangan ke mana-mana dulu,” pinta ibunya pada tempo hari yang terus terngiang-ngiang di kepala Nima.

Tangan yang akrab menuntun dan memegang erat jemari Nima itu sedang memegang sebuah pusaka. Pusaka yang mirip dengan kepunyaan tokoh Harry Potter yang membuatnya terbang.

Sosok ibu bagi Nima adalah bumi. Tempat di mana kehidupan, pendidikan, dan kesabaran melekat erat di dalamnya. Nima bagaikan sebuah biji yang belum sempurna. Terjun menyelinap ke tubuh ibunya, tertutup oleh tanah, berkembang di dalamnya. Dari mili ke centi, lalu beranjak desi dan hingga akhirnya tumbuh dan berbuah.

Mungkin Nima masih merindu sosok perempuan yang sekarang bukan hanya di sebrang jalan, melainkan di ujung pulau dengan sejuta kerinduan yang menyelimutinya di waktu matahari kecil berkedip genit di kanvas hitam itu.

“Masih butuh waktu berapa lagi untuk memainkan pensil dan memuaskan imajinasi yang ada di pikiranmu itu, Nim?” cergas Lolot.

Kalimat itu menjadi penghancur puzzle yang sedang disusun di kepala Nima. Lolot adalah kawan baru yang bertemu Nima di depan Sekolah Dasar Inpres warisan Harto—dekat dengan tempat kerja ibunya dulu.

“Em… kurang lebih lima menitan lah,” sahut Nima dengan mata menghadap jendela yang menyajikan pemandangan bintang bertaburan di tanah.

Lolot menghampiri Nima, duduk di depannya sembari menggeletakkan tas kecil beserta ponsel miliknya.

“Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu, Nim?”

“Entahlah, akhir-akhir ini aku sering menghabiskan waktu hanya untuk mengingat masa lalu, Lot. Khususnya waktu kecilku sering menemani ibu sedang menyapu bahu jalan setiap pagi.”

“Mungkin kamu sedang rindu, mungkin juga kangen, atau mungkin kamu terlalu kecapekan seharian di kampus bergelut dengan tumpukan kertas putih dan carut marutnya birokrasi sehingga membuatmu selalu ingat dengannya. Entahlah, hanya saja aku tertarik dengan kisah masa kecilmu itu, Nim.”

“Hm?” sahut Nima sembari melepaskan ujung sedotan di bibirnya.

“Apa yang membuat tertarik, Lot? Masa kecilku biasa-biasa saja, enggak ada yang wow ataupun aneh. Aku hidup normal seperti anak pada umumnya. Main dengan teman sebaya, nurut dengan orang tua, kadang juga bikin jengkel hingga akhirnya dapat cambukan kasih sayang yang membuatku nangis”

Jawaban tersebut tentu saja belum memuaskan hasrat Lolot. Ia berusaha memojokkan Nima dengan halus dan rapi supaya segan bercerita tentang masa kecilnya, sebenar-benarnya. Lolot pikir masih ada jarum di tumpukan jerami, meski tidak tahu di mana letak pasti jarum tersebut.

“Maaf, jika aku merasakan cerita masa kecilmu mempunyai dampak besar bagimu. Sebuah dampak yang salah satunya berwujud kamu mau menjadi pengajar di salah satu kampus di kota ini”

Sambil menggaruk dahinya, Lolot berusaha meyakinkan dengan pernyataannya “Bagimana kalau kamu cerita saja, lalu aku menjadi pendengar yang baik seperti… seperti boneka tidurmu.”

Lolot menggaruk pelan rambut di bagian belakang kepalanya, dengan sebuah rasa yang menganggap itu cara paling bodoh. Seperti tikus mengawini buaya lalu menghasilkan anak seekor kadal gurun berbulu halus, bahkan kehalusannya tak terdeteksi oleh teknologi mutakhir sekalipun.

“Sepertinya masuk akal untuk sebuah tawaran yang tidak mengintimidasi dan menghakimi sekenanya” sahut Nima sembari memosisikan diri senyaman mungkin.

“Jadi begini…” lanjut Nima tanpa basa-basi menceritakan masa kecilnya.

Tangan Lolot yang awalnya berada di belakang kepala sudah bergeser memainkan sendok teh di atas meja. Beriringan dengan suara detak jarum jam, Nima masih bercerita dan Ia menyimak dengan saksama setiap kata dan gerak-gerik Nima.

Tak jarang Lolot memergoki sebutir air akan terjun bebas, membasahi lahan gersang yang tertutup debu hasil dari adanya tuntutan pasar. Namun gagal sebab tersingkirkan dengan gelak tawa—menertawai diri sendiri—memperkokoh bendungan yang hampir bedat.

“Ya, seperti itulah masa kecil yang dulu penuh beban bagi anak seusiaku. Namun rasanya, aku mulai menemukan apa yang membuatku sering mengingat masa kecilku itu” tandas Nima yang mulai mengingat akan cita-cita seorang anak bahu jalan, sebuah cita-cita yang mulia bagi seorang anak untuk membalas budi orang yg dicintainya. Keinginan untuk bisa menikmati pendidikan yang setara dan setinggi-tingginya tanpa harus malu hidup sebagai anak bahu jalan.

“Aku mengerti bagaimana dulu ibu akhirnya mengambil pekerjaan sebagai tukang sapu. Ya, bukan merupakan ketidaksengajaan, melainkan sebuah praktik terorganisir dan tersusun rapi. Melanggengkan kerentanan dan perbudakan ekonomi oleh para cukong sialan yang bersekongkol dengan otoritas kekuasaan.”

Cerita itu membuat Lolot diam seribu kata. Ia merasa matahari mendesak terbit pukul sepuluh malam, membangunkan ayam betina untuk berkokok sebagai tanda sebuah hari baru akan muncul di dalam tempurung kepala Nima.

“Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang, setelah tumbuhnya kesadaran itu?” tanya Lolot singkat, antara tak paham atau memang berusaha memainkan perannya sebagai boneka tidur.

“Mungkin aku akan merancang dan mengajukan ide tatanan kampus yang lebih efektif dan efisien, besok.  Memaksimalkan diri melakukan riset, memotret nasib anak-anak yang putus sekolah dihubungkan dengan permainan politik di belakangnya misalkan.” jawab Nima dengan meyakinkan.

“Ini bukan kali pertama seseorang mau melakukan pekerjaan seperti ini dan mengambil celah di dalamnya. Dulu pernah ada orang yang melakukannya selama berpuluh-puluh tahun sampai dengan sebuah resiko yang membuatnya harus menaruh kerinduan selama 27 tahun pada pantai di Pacitan. Karenanya-lah aku menemukan sebuah jawaban atas pertanyaanmu itu, meski bidang yang dia ambil berbeda denganku, Lot”

“Yakin?” kalimat penggoda dari Lolot, memastikan Nima tidak setengah-setangah membicarakannya.

“Ya, aku akan memenuhi pesan itu dan menjadi katak kecil yang berkumpul di tengah katak dari segala penjuru. Menikmati kebebasan di luar tempurung dengan hujan yang membasahi permukaan kulit ibu, sembari bernyanyi lagu perlawanan berisi pesan kebahagiaan.”

Nima beranjak bangkit dan mulai menggoreskan sesuatu pada dinding kafe, dengan gerakan pelan penuh kepastian. Lalu sebuah senyum dan tanda tangan atas namanya menjadi akhir perjumpaan antara Nima dan Lolot.

Katak-katak dalam perjuangan mereka untuk emansipasi hanya akan kalah dengan mendekam dalam tempurungnya yang suram. Katak sedunia, bersatulah!

Pesan itu kuterima. Tunggu kedatanganku para katak penjuru dunia!-K. Nima


Editor: e-ykaz
Ilustrasi: pmiigusdur.com