Oleh: Luq Yana Chaerunnisa

pmiigusdur.com - Virus corona telah memberikan dampak yang begitu signifikan di berbagai sektor, tak terkecuali sektor pendidikan. Pembelajaran berbasis teknologi telekomunikasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam melangsungkan proses pembelajaran di tengah pandemi. Di satu sisi masyarakat menjadi melek terhadap teknologi. Namun, di lain sisi masih banyak masyarakat Indonesia yang kesulitan mendapatkan akses teknologi secara mudah—apalagi murah.


Seperti yang terjadi saat ini, kebijakan diberlakukannya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) bisa dikatakan tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini lantaran masih banyak menuai problematika dari pelbagai hal, seperti sarana dan prasarana penunjang pembelajaran daringtidak terbagi secara merata di seluruh pelosok negeri. Padahal, itu merupakan satu komponen terpenting penunjang pembelajaran dari rumah. Mulai dari akses listrik, jaringan internet, televisi, laptop, maupun smartphone.

 

Potret inilah yang saat ini dirasakan oleh anak-anak di Provinsi Papua. Semua sarana dan prasarana penunjang proses PJJ tersebut, tentu merupakan barang yang cukup tinggi harganya bagi sebagian masyarakat. Dan, sangat sulit untuk digapai oleh masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.


Data dari KPAI menyatakan, bahwa 54% dari 608.000 pelajar di Provinsi Papua tak dapat menerapkan kebijakan belajar dari rumah via daring—bahkan lewat siaran TVRI sekalipun. Kondisi ini muncul lantaran minimnya akses jaringan internet, televisi, atau pun radio; juga sangking banyaknya wilayah yang belum teraliri listrik.

 

Jika demikian realitasnya, bagaimana nasib kaum miskin yang tetap ingin melangsungkan pendidikan di Tengah Pandemi?

 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim memutuskan bila daerah yang masih berstatus kuning, oranye, dan merah, pembelajaran untuk tahun ajaran baru periode Juli diperpanjang hingga akhir tahun dengan sistem daring. Semenjak itu semua lapisan masyarakat baik dari kalangan menengah ke atas maupun menengah ke bawah berusaha mempersiapkan segala tetek-bengeknya seperti: ponsel, laptop, dan pulsa; untuk mengakses jaringan internet bagi anak-anak mereka.

 

Dalam situasi seperti ini, tak semua kalangan mampu menyediakan fasilitas dan sumber daya yang dibutuhkan. Banyak keluhan dari orang tua peserta didik dan tenaga pendidik. Baik dari kemampuan pemahaman telekomunikasi serta keterbatasan fasilitas. Hingga akhirnya semua dikembalikan kepada orang tua masing-masing peserta didik.

 

Kebijakan PJJ akan semakin memperlebar kesenjangan kelas yang selama ini terjadi, dan membuatnya semakin kentara. Lebih buruk lagi, apabila orang tua dihadapkan dengan pilihan dilematis yakni memberi makan keluarga atau membiayai pendidikan anak. Ditambah dengan biaya pendidikan saat ini yang semakin melonjak. Hal ini tentu berpotensi membuat angka putus sekolah meningkat.

 

Seyogianya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu bahu-membahu menyediakan sarana dan prasarana daring selama kebijakan belajar dari rumah. Hal ini demi menghilangkan atau setidaknya memperpendek kesenjangan terhadap akses digital di masyarakat. Misalnya, dengan menyalurkan subsidi internet selama PJJ berlangsung, dan mengupayakan penyediaan komputer jinjing gratis untuk siswa tidak mampu.

 

Dari keadaan-keadaan ini, sudah seharusnya kita semua berpikir bahwa kebijakan pendidikan haruslah membantu bagi semua anak bangsa tanpa memandang sekat apapun. Sehingga, negara dapat dirasakan kehadirannya dalam pemenuhan hak atas pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan.

 

Perlu diingat, bahwa pendidikan adalah hak dasar yang harus dipenuhi negara dalam keadaan apapun, termasuk situasi darurat seperti ini. Kebijakan PJJ yang telah menggantikan pola tatap muka harusnya tidak membuat ketidakmerataan sistem pendidikan semakin terasa. Atau, pada akhirnya sekolah hanya akan diperuntukkan bagi orang kaya saja!



Penulis adalah Sekretaris Umum 2019/2020

Editor: eykaz