Beberapa hari belakangan, publik dihadapkan akan maraknya berita aksi demonstrasi. Aksi demonstrasi itu dilakukan oleh mahasiswa, buruh, bahkan pelajar untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Senin (5/10). Sejak dalam pembahasan di badan legislasi, UU Cipta Kerja atau Omnibus Law ini sebenarnya sudah mendapat penolakan dan protes dari akademisi, politisi, dan sipil. Namun demikian DPR RI ngotot untuk bisa mengesahkan RUU ini menjadi UU dengan alasan untuk mempermudah perizinan mendirikan usaha bagi investor lokal maupun luar. Dengan begitu, angka pengangguran di Indonesia bisa di minimalisir. Seperti yang kita ketahui bahwa UU Cipta Kerja atau Omnibus Law mempunyai banyak klaster atau kelompok pembahasan. Ada klaster ketenaga kerjaan, Penyederhanaan perizinan tanah, Persyaratan investasi, Kemudahan dan perlindungan UMKM, dan lainnya.
Klaster Pendidikan dalam UU Cipta Kerja
Yang menarik perhatian penulis adalah tentang “klaster pendidikan”. Ketika masih menjadi Rancangan Undang Undang (RUU), pembahasan mengenai pendidikan sempat dicabut dari pembahasan badan legislasi. Namun setelah disahkannya menjadi UU, klaster pendidikan masih tetap ada dalam tubuh UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Klaster pendidikan terdapat pada paragraf 12, pasal 65 UU Cipta Kerja tentang pendidikan dan kebudayaan. Seolah-olah ini adalah prank yang dilakukan oleh DPR RI kepada rakyat. Hal ini langsung menuai kecaman dari aktivis maupun pakar pendidikan. Seperti yang di ungkapkan oleh Pengurus Perkumpulan Keluarga Besar Taman siswa (PKBT), Darmaningtyas, beliau mengkhawatirkan aturan itu akan membuat pendidikan makin mahal dan tak terjangkau bagi mereka yang miskin. (bbc.com)
Padahal, merujuk pada Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, lembaga penyelenggara pendidikan harus bersifat nirlaba. Lembaga pendidikan pun tidak mengajukan izin berusaha, karena bukan badan usaha yang mengejar keuntungan. “Yang sudah pasti sekarang ini ada keluhan-keluhan pendidikan dikomersialisasikan. Itu akan semakin kuat (dengan aturan dalam Omnibus Law) karena pendidikan itu izinnya sebagai badan usaha. “Kalau badan usaha itu untuk mencari keuntungan sehingga praktik pendidikan sebagai bisnis akan semakin khas,” ujarnya. (bbc.com)
Bertolak Belakang dengan UU Sisdiknas.
Pada ayat 1 pasal 65 berbunyi “Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” Kemudian disusul pasal 2 berbunyi “Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Yang dimaksud dalam kata “perizinan” tentu merujuk pada perizinan usaha. Dengan begitu, secara tidak langsung ini menjadi payung hukum bagi investor untuk mendirikan sebuah usaha di sektor pendidikan.
Padahal, dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 tahun 2003 pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) ayat 1 disebutkan bahwa “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.” Kemudian pada pasal 3 disebutkan “Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.”
Dari dua UU tersebut, antara UU Cipta Kerja tentang pendidikan dan kebudayaan pasal 65 ayat 1 dan 2 dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 53 tentang badan hukum pendidikan ayat 1 dan 3 bertolak belakang. Prinsip dari Sisdiknas menyebutkan bahwa lembaga pendidikan harus bersifat nirlaba atau non profit. Tetapi dalam UU Cipta Kerja pasal 65 ayat 1 diatur perizinan berusaha dalam sektor pendidikan. Artinya, dengan adanya UU Cipta Kerja ini pemerintah membuka lebar pintu masuk investor untuk menanamkan usahanya disektor pendidikan. Tentu ini akan berdampak besar bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Kapitalisasi dan Neo-Liberalisasi Pendidikan
Dampak disahkannya pasal 65 tentang pendidikan dan kebudayaan pada UU Cipta Kerja atau Omnibus Law adalah terciptanya sebuah kapitalisasi dan neo-liberalisasi pendidikan. Kapitalisasi berasal dari kata kapitalisme yang akarnya adalah liberalisme. Liberalisme bukan hanya berlaku dalam dunia ekonomi, tetapi juga merambah kepada dunia pendidikan. Filsafat ekonomi liberalisme adalah dasar dari ekonomi klasik yang dibangun oleh seorang filsuf dari Skotlandia, Adam Smith lewat karyanya Wealth of Nation (1776).
Filsafat ekonomi liberalisme pada dasarnya bertumpu pada tiga keyakinan: kebebasan individu, pemilik pribadi, dan inisiatif individu serta usaha swasta. Ketiga keyakinan ini memungkinkan untuk direalisasikan jika ada sistem persaingan atau kompetisi bebas dan kompetisi sempurna melalui pasar bebas. Dalam hal ini, peran pemerintah harus dibatasi untuk mengatur ekonomi negara. Agar persaingan dapat berjalan lancar tanpa hambatan apapun dan menguntungkan bagi pemilik modal atau pun usaha. Kapitalisme dapat diartikan sebagai paham yang menyatakan bahwa tidak adanya pembatasan negara bagi warga negara untuk memiliki alat produksi untuk meningkatkan kesejahteraan warga negara itu sendiri (individu atau korporasi).
Nah, untuk memperlancar kapitalisme, perlu adanya liberalisme. Liberalisme dapat diartikan sebagai paham yang menyatakan bahwa negara tidak boleh ikut campur dalam urusan mengatur kebebasan individu (warga negaranya). Sehingga negara hanya diberi kebebasan untuk menjaga ketertiban umum dan penegakkan hukum. Sedangkan urusan lainnya sepenuhnya ditangan individu. Kemudian yang menjadi keresahan atau ke-khawatiran dari penulis adalah tentang pendidikan dimasa depan. Dengan adanya klaster pendidikan dalam UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, pendidikan akan menjadi komoditas ekonomi yang menguntungkan bagi pemilik modal atau investor. Pendidikan akan jadi pasar bebas perdagangan, karena keterbatasan negara dalam mengatur kebijakan dan stabilitas ekonomi.
Selain itu, peran negara dalam pendidikan semakin menghilang. Padahal dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31 ayat 1 disebutkan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Peran negara makin menghilang karena biaya pendidikan dibebankan pada rakyat. Subsidi-subsidi pun dicabut guna memperlancar pengusaha dalam menjalankan bisnisnya. Dengan begitu biaya pendidikan otomatis akan bertambah mahal. Jika biaya pendidikan kian mahal, selanjutnya akan tercipta sebuah kelas antara si kaya dan si miskin. Masyarakat akan terkotak-kotakan dalam status sosial-ekonomi. Dimana yang bisa mengakses pendidikan hanyalah orang-orang dari golongan menengah keatas. Berbanding terbalik dengan apa yang ada didalam UU Sisdiknas pasal 5 ayat 1, disebutkan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
Nasi belum menjadi bubur, walaupun RUU Cipta Kerja sudah disahkan oleh wakil rakyat kita dengan tergesa-gesa, tanpa mendengar aspirasi rakyat, dan memang cacat prosedur. Tapi harapan kedepan masih ada, yaitu dengan Judical Review ke Mahkamah Konstitusi, karena itulah langkah yang sesuai dengan prosedur konstitusi. Ini bukan berarti gerakan jalanan menjadi percuma, setidaknya suara-suara dari rakyat Indonesia didengar oleh pemangku kebijakan. Semoga pendidikan Indonesia kedepan bisa lebih baik. Tidak ada Liberalisasi Pendidikan, tidak ada kapitalisme pendidikan (menguntungkan individu atau kelompok saja). Pendidikan harus bersih dari urusan politik-ekonomi, karena pendidikan adalah hal penting yang harus diperoleh setiap warga negara, dan negara harus menjamin itu.
Penulis : Moh. Aji Firman adalah kader PMII Rayon Abdurrahman Wahid angkatan 2017
Editor : Finata
Ilustrator : EL Huda
0 Komentar