Teknologi adalah satu hal yang sulit dinafikan oleh umat manusia. Di manapun dan kapanpun manusia akan selalu dibuntuti oleh teknologi dalam segala aktivitasnya. Segmentasi yang disasarpun tak kenal usia, seluruh manusia perlahan tapi pasti akan terpapar virus kemajuan teknologi. Imbasnya tentu tidak main-main, dalam waktu singkat bisa jadi tak sedikit yang bakal tergantikan pekerjaannya atau mengalami kebangkrutan karena tidak mampu bersaing di tengah dunia global yang menomorsatukan kecepatan dan kepraktisan.

Kemajuan teknologi yang diwujudkan dalam perangkat elektronik dengan aplikasi pendukung di dalamnya, tentu harus didukung jaringan internet yang stabil. Internet kini tak ubahnya bak ‘oksigen sekunder’ yang mengisi relung kehidupan manusia. Menurut riset yang dipublikasi oleh Kumparan.com bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 175,4 juta jiwa, naik 17 persen atau 25 juta pengguna dibanding tahun 2019, dengan penetrasi terbesar pada kelompok usia milenial antara 15-24 tahun atau sebesar 89 persen. Namun bukan kemudian kita patut berbangga dengan kuantitas bonus demografi tersebut, khususnya pada tahun 2045 seiring dengan pencanangan program Indonesia Emas, karena bisa saja yang bakal dialami oleh bangsa Indonesia justru bencana demografi.

Globalisasi teknologi terbukti tidak berkontribusi banyak untuk meningkatkan kemampuan literasi, matematika, dan sains, para peserta didik (siswa) di sekolah menengah di Indonesia. Dinamika pendidikan tanah air apabila merunut hasil Programme for International Student Assessment (PISA) sejak tahun 2000 hingga sekarang selalu mengalami pasang surut. Bahkan skor PISA pada bidang kemampuan baca untuk Indonesia di tahun 2018 menyentuh titik nadir (Kompas.com, 2019). Anak Indonesia dianggap mengalami Functionally Illiterate, yang artinya buta aksara secara fungsi. Mayoritas anak didik memang memiliki kemampuan membaca, akan tetapi belum tentu paham dengan apa yang telah mereka baca. Maka sudah saatnya noda-noda hitam dalam dunia pendidikan Indonesia untuk dibersihkan.

Peserta didik atau kaum pelajar yang masih menuntut ilmu di berbagai satuan pendidikan jangan sampai hanya menjadi lulusan yang hanya mampu menerka dan memilih jawaban pada lembar soal ujian. Kehadiran mereka ke sekolah pun bukan sekadar menggugurkan kewajiban presensi semata. Tak ketinggalan pula, stigma lembaga pendidikan sebagai penyedia jasa pembuatan sertifikat atau ijazah harus dibuang jauh-jauh. Untuk itu bangsa Indonesia membutuhkan SDM generasi muda yang unggul serta mampu berdaya saing.

Sebagai bangsa yang berketuhanan, kita meyakini bahwa melalui agama setiap manusia akan diuji tingkat keimanannya. Manusia pasti dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu memilih untuk tetap menjaga keimanannya dengan jalan berpegang teguh pada ajaran agama, atau memilih mengambil jalan pintas tanpa mempedulikan ajaran agama. Imam as-Sa’di menyebutkan bahwa agama Islam melalui kitab suci al-Qur’an melarang keras segala macam bentuk kebohongan dan salah satu dari bentuk kebohongan itu adalah tindak kecurangan.

Penanaman dan pembiasaan perilaku jujur melalui Pendidikan Agama merupakan kurikulum mutlak di semua jenjang pendidikan. Ajaran agama yang sakral setidaknya dapat menjadi pedoman hidup bagi anak-anak. Apabila ajaran agama telah merasuki sukma, maka apapun perbuatan yang dilakukan dan ucapan yang dilontarkan oleh anak-anak tentu berdasar pada perintah dan larangan Tuhan. Dalam konteks kekinian, anak milenial yang berjiwa agamis akan menumbuhkan sikap sense of crisis alias kepekaan terhadap krisis atau permasalahan.

Anak-anak tersebut mampu menggunakan kemampuannya untuk mengatur diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Mereka tidak akan menempatkan dirinya dalam kubangan kotor yang menjurus pada perbuatan maksiat. Kemajuan teknologi bukan membuat para siswa atau anak-anak sekolah membenarkan segala cara, seperti mengajak keluyuran (tawuran), menyontek (joki ujian), memesan kunci jawaban ujian, dsb. Akhirnya perangkat teknologi yang mereka miliki dipergunakan sebagaimana peruntukannya untuk menjadi ladang pahala.

Ajaran agama yang terpatri dalam sanubari setiap insan membuat manusia ditempatkan sebagai makhluk yang istimewa. Makhluk hidup yang bernama manusia diberi akal dan pengetahuan sehingga kedudukannya mulia diantara makhluk-makhluk yang lain seperti malaikat, jin, hewan, dan lainnya. Konsekuensi logisnya, maka seorang manusia dituntut untuk menggunakan akalnya dalam setiap tindakan dan ucapan. Dengan akal yang dimiliki, manusia dapat membaca, menganalisis, hingga mencerna alam raya sehingga menghasilkan produk berupa ilmu pengetahuan dan teknologi yang muaranya mengantarkan peradaban manusia menjadi maju seperti di zaman sekarang.

Islam sangat menjunjung tinggi akal dan mendorong manusia agar selalu berpikir secara mendalam. Uraian tersebut termaktub berulang kali dalam al-Qur’an dan hadits Nabi, karena sejatinya kata akal yang terdapat di al-Qur’an tersusun dalam bentuk kata kerja terulang sebanyak 49 kali. Melalui akal diharapkan lahir kemampuan untuk menjangkau suatu pemahaman yang pada akhirnya dapat mengantarkan dorongan berbuat luhur (akhlak mulia) (Tirto.id, 2018).

Berpikir merupakan sebuah aktivitas yang selalu dilakukan oleh setiap manusia, bahkan ketika ia sedang tertidur pulas. Berpikir adalah pekerjaan penting yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Thomas Kuhn berpendapat bahwa manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian yang dikehendakinya. Berpikir kerap dilakukan untuk membentuk konsep, membuat keputusan, memecahkan masalah, hingga berpikir secara kritis.

Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan guna menganalisis suatu persoalan sehingga dapat memberikan solusi untuk persoalan tersebut. Orang-orang yang mempunyai kemampuan berpikir kritis tidak hanya mengenal satu jawaban saja. Mereka berupaya keras untuk mengembangkan kemungkinan jawaban lain berdasarkan analisis yang telah diperoleh dari suatu persoalan. Berpikir kritis dapat diterjemahkan pula melakukan proses penalaran terhadap suatu masalah sampai pada tahap kompleks tentang ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ proses penyelesaiannya.

Melalui berpikir kritis dapat mendorong peserta didik untuk bisa memunculkan ide atau pemikiran baru mengenai permasalahan global. Peserta didik (siswa) akan dilatih untuk menyeleksi berbagai pendapat, sehingga mampu menyeleksi mana yang benar dan tidak benar, serta relevan dan tidak relevan. Negeri ini tidak kekurangan orang pandai, karena setiap tahun meluluskan jutaan alumni dengan setumpuk prestasi akademik. Kiranya institusi pendidikan yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama (NU) seperti LP Ma’arif dan Rabithah Ma’ahid Islamiyyah, bisa berdiri di depan sebagai garda pelindung jati diri generasi muda Islam Indonesia.

Di era global yang mengarus utamakan pengetahuan dan keterampilan, peran pengajar di lembaga-lembaga pendidikan sedikit banyak tergantikan oleh teknologi. Akibatnya para pelajar semakin jarang berkomunikasi atau kontak langsung dengan guru atau ustadz mereka. Jangan sampai pelajar sebagai generasi muda bangsa malah menjadi orang-orang apatis, oleh karena itu kita harapkan agar majunya zaman tidak membikin manusia justru memundurkan peradaban. Pelajar Indonesia harus terus menempa diri sesuai situasi dan kondisi tanpa mengasingkan keberadaan syaikh (pengajar) dan kutub/kitab (buku), agar anak didik kita memiliki sikap tawadhu’ (rendah hati/tidak sombong) dan selalu mengedepankan akalnya.

Sesungguhnya Indonesia masih membutuhkan banyak anak muda yang cerdas serta berakhlak mulia (berintegritas)!

TENTANG PENULIS
Irham Wibowo, berdomisili di Janturan UH4/446A RT.17 RW.4 Warungboto, Umbulharjo, Yogyakarta. Merupakan alumni Program Magister Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta lulus tahun 2019. Mantan pengajar (ustadz) di sebuah pesantren di bilangan Bantul, DIY.  



Editor : Finata
Ilustrator : EL Huda