Guru, profesi yang saya geluti bersama dengan ribuan kolega sejawat terutama di Indonesia. Sepertinya sering menjadi topik pembicaraan yang hangat di media
, terutama dan pastinya tentang penyimpangan sosial seperti oknum guru mesum dengan oknum guru, oknum guru melakukan asusila terhadap murid, melakukan pungutan liar, melakukan korupsi dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan sebagainya. Teman guru sebelumnya sudah menceritakan bagaimana beratnya menjadi seorang guru dengan tuntutan yang tinggi tapi minim perhatian. Bagaimana guru seringkali harus menomorduakan mendidik anaknya sendiri dibanding anak orang lain, cerita yang kerap kali saya dengar. Pada tulisan ini, saya akan menceritakan tentang apa yang terjadi di daerah-daerah terpencil, saya hanya akan cerita apa yang saya alami selama bertugas di daerah terpencil pedalaman papua. Setiap guru yang bertugas di daerah terpencil pasti mempunyai cerita masing-masing dan inilah kisahku.


27 Agustus 2019, pertama kali saya menginjakan kaki di Bandara Mopah Merauke, rasa haru bercampur takut menyelimuti sepanjang perjalanan. Ini adalah pertama kalinya saya naik pesawat dan pertama kalinya pergi jauh. Datang ke Papua saat Papua sedang memanas, iya saat itu telah terjadi konflik besar-besaran di berbagai kota di Papua yang asal mulanya dari demo mahasiswa di Jawa Timur. Antara mengurungkan niat atau datang tiap hari cek cek di media, karena waktu sudah ditentukan akhirnya pasrah dan nekad datang ke Papua. Sampai di Papua ternyata jaringan internet lockdown tidak bisa diakses, hubungi keluarga hanya bisa lewat jaringan seluler. Hampir satu minggu melakukan pembekalan dan pelatihan, akhirnya hari yang di tunggu-tunggu datang juga.


05 September 2019, 186 Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) angkatan 4 bergerak melanjutkan perjalanan jauh ke Kabupaten Mappi, Papua. Perjalanan pertama kami melalui jalur darat menggunakan mobil truck TNI selama tujuh jam baru sampai Asiki, Kabupaten Boven Digul. Kemudian dilanjutkan dengan jalur sungai, kami terbagi dan terpisah ada yang naik perahu jenis belang dan ada yang naik kapal kecil. Ini momen paling seru, menantang dan bisa jadi menyedihkan, dua hari dua malam perjalanan baru sampai Kepi (Ibukota Kabupaten Mappi). Sungai yang begitu luas dan panjang menjadi pemandangan di perjalanan, serasa di lautan arus sungai pun sangat besar dan menakutkan.



23 September 2019, setelah hampir tiga minggu di penginapan akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu datang juga yaitu upacara pelepasan 186 GPDT Mappi angkatan ke-4 ke masing-masing tempat tugas sesuai nota tugas dari dinas terkait. Sejak hari itu teman-teman guru mulai di jemput dan diantarkan ke tempat tugas. Sedih rasanya ketika banyak teman yang menangis karena perpisahan, berpisah ke tempat tugas masing-masing. 02 Oktober 2019, tiba waktuku pergi diantar ke tempat tugas setelah berhari-hari makan, minum, tidur di penginapan. Dengan menggunakan perahu jenis longboat akhirnya sampai juga di tempat tugas. Sampai ditempat tugas bingung dan merasa aneh, rumah guru belum ada ditambah sekolah yang sangat darurat. Bangunan kecil yang dindingnya mulai lapuk dan tak terawat, atap yang rusak parah. Hasil akhirnya demi keamanan kita kembali lagi ke kota. Bukan ingin mengeluh kalau tidak ngotot segera untuk ditempatkan, bisa jadi sampai sekarang masih duduk dan tidur di kota tanpa harus bekerja tapi gaji lancar jaya masuk ke rekening saya.

 

02 November 2019, akhirnya ada telvon dari dinas terkait untuk siap-siap ke tempat tugas, datang menggunakan speedboat hingga sampai di tempat tugas sudah gelap. Cek rumah sudah ada, tapi dinding masih terbuka, karena kita laki-laki akhirnya siap tidak kembali. Padahal dinas terkait menyarankan jika tidak ada rumah maka pilihannya kembali ke kota. Puluhan masyarakat datang dan bergantian masuk ke rumah hingga jam menunjukan jam 12 malam, karena rasa lapar akhirnya ada masyarakat yang kasih kita sagu bakar dan tiga ekor ikan betik, saya hanya makan sagu bakar karena tidak suka ikan, inilah awal saya makan sagu bakar. Keesokan harinya saya melihat kondisi bangunan sekolah ternyata masih seperti dulu, atap masih rusak parah, meja kursi tidak ada. Karena ingin mengajar akhirnya inisiatif dengan masyarakat yang peduli saya masuk hutan  untuk sensor kayu, untuk dijadikan papan-papan agar dapat dijadikan meja dan kursi sederhana. Dengan alat seadanya, dengan paku bekas yang sudah bengkok-bengkok lalu saya luruskan agar dapat digunakan. Gali tanah lalu tanam kayu, papan taruh diatasnya lalu paku, jadilah meja dan kursi darurat. Semuanya sudah jadi esok harinya saya mengajar, kaget ternyata mereka (siswa) tidak bawa alat tulis, karena memang sudah saya persiapkan, lalu saya bagi-bagi buku dan bolpoin untuk mereka.


15 Desember 2019 saya kembali ke kota karena libur semester, natal dan tahun baru. 05 Januari 2020 kembali ke Kampung Masin tempat saya bertugas, kaget, marah, dan kecewa ternyata kursi meja sekolah sudah tidak ada, menunggu sekitar satu minggu ternyata tidak ada yang bertanggungjawab. Akhirnya saya dan rekan Kanis dibantu masyarakat yang peduli kembali ke hutan untuk belah-belah kayu, karena melihat saya keletihan pikul papan-papan akhirnya banyak anak-anak sekolah dan masyarakat yang bantu.



Inilah sekolahku, kami ingin merdeka belajar. Inilah sekolahku, dengan dinding papan, dengan anyaman atap sagu, dengan meja kursi yang tertanam di tanah. Inilah sekolahku, dengan berlantai tanah, kami ingin merdeka belajar. Inilah sekolahku, SDN Amajaman, Kampung Masin, Distrik Obaa, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua. Inilah sekolahku, sekolahku juga Indonesia. Kami ingin bebas belajar, bebas duduk di kursi yang nyaman, bebas injak kaki di lantai keramik, bebas baca buku, bebas menulis cerita. Inilah sekolahku, sekolahku juga sekolahmu, oh Indonesiaku.


Selain menjadi guru penggerak, kita berdua juga menjadi guru perintis. Iya, sekolah tempat tugasku merupakan sekolah baru, didirikan sejak februari 2019. Dulu sekolah menumpang di balai kampung yang kondisinya memperhatinkan, karena penuh dan sesak. Akhirnya dengan swadaya dan gotong-royong masyarakat membuat bangunan yang hampir sama, tapi memiliki tiga ruangan. Ruang pertama diisi kelas 1, 2, dan 3. Ruang ke-2 diisi kelas 6. Dan ruang terakhir diisi kelas 4 dan 5. Guru aktif hanya dua orang, kadang kita berdua gonta-ganti keluar masuk kelas, capek? iya, kaki mau patah? iya. Tapi Alhamdulillah, ada tiga guru sukarela dari masyarakat lokal lulusan SMA yang kadang bantu kita. Saya anggap sukarela karena selama ini belum pernah di kasih honor, karena dana BOS belum ada.


Rasa hormat kepada Bupati Mappi Bapak Kritosimus Yohanes Agawemu  yang peduli akan pendidikan, yang peduli akan masa depan anak-anak mappi. Tanpa beliau tak ada guru-guru muda datang ke kabupaten tercinta ini, yang rela menghabiskan masa mudanya di pedalaman hutan. Untukmu Menteri Pedidikan, Bapak Nadiem Makarim yang selalu saya hormati, jangan pernah bosan dan lelah untuk memperhatikan nasib anak-anak di seluruh pedalaman Indonesia. Karena kami ingin merdeka belajar.

 

Guru Penggerak Indonesia Maju.

Salam Hormat

Lukman Karsito, S.Pd

(Guru Penggerak Daerah Terpencil Kab. Mappi)

 

Penulis             : Lukman Karsito, S.Pd

Editor              : Finata

Layouter          : EL Huda