Sejak mewabahnya covid-19 yang menyerang dunia, Semua aktivitas terpaksa diberhentikan sehingga semua orang merasa terganggu. Tidak terkecuali dengan kegiatan belajar-mengajar, Sekolah terpaksa ditutup dan anak-anak menjadi korban. Mereka harus belajar dari rumah secara online. Hal ini tentu sangat membuat tidak nyaman,karena mereka harus membeli hp dan paket kuota. Setelah kurang lebih 10 bulan Sekolah ditutup karena covid-19, kini telah muncul pro dan kontra mengenai Sekolah yang akan dibuka kembali untuk belajar tatap muka mulai Januari 2021 dengan sederet ketentuan. Sekolah kembali dibuka pada 2021 mendatang tentu akan ada banyak pertimbangan. Apa saja pertimbangan tersebut? Lalu apa saja alasan yang kontra? Kedua sisi tersebut dapat membantu kamu untuk membuat keputusan,  apakah akan tetap mulai belajar tatap muka, atau memilih tetap pembelajaran jarak jauh dari rumah? Sebab, keputusan akhir ada di tanganmu melalui orang tua.

Pro Sekolah kembali dibuka 2021

Menurut Nadiem Makarim beserta perwakilan Kementerian terkait lainnya dalam konferensi pers pengumuman belajar tatap muka Januari (20/11), sisi pers untuk Sekolah tatap muka adalah karena dampak pembelajaran jarak jauh yang menimbulkan:

1.) Kesenjangan tajam antar sekolah

Banyak daerah, sekolah, dan keluarga yang belum bisa mengoptimalkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Contoh kasus: koneksi internet dan perangkat yang terbatas dan materi belajar yang tidak memadai. Bahkan ada pelajar yang harus belajar di pinggir jalan di desanya, dia beneran duduk di jalanan agar dapat menangkap koneksi internet. Ada juga pelajar yang sampai harus ke kecamatan yang jarak tempuhnya hampir satu jam dari rumahnya dengan naik sepeda agar bisa menangkap sinyal. Di sisi lain ada beberapa sekolah yang memiliki kemampuan  tinggi dan fasilitas super lengkap, apalagi yang dikota besar. Alhasil kesenjangan pembelajaran berasa banget.

2.) Risiko learning loss

Selama PJJ, kegiatan belajar jadi kurang maksimal. Bahkan ada yang nggak belajar, liburan, atau belajar ala kadarnya. Karena hal ini berlangsung dalam jangka waktu yang sangat panjang, maka dikhawatirkan akan menghambat perkembangan karakter serta kemampuan berpikir anak.

3.) Angka putus Sekolah tinggi

Persoalan ini sempat disinggung materi pendidikan dan kebudayaan. Nadiem menyoroti turunnya angka  keikutsertaan di Sekolah, terutama di tingkat PIAUD. Karena belajar dari rumah, banyak keluarga yang memutuskan menunda memasukkan anak mereka ke Sekolah.

4.) Peran Sekolah kurang terlihat

Ada orang tua yang menilai pihak Sekolah kurang berperan dalam pendidikan anak di masa PJJ. Sebagian dari mereka bahkan merasa keberatan uang membayar uang Sekolah. Hal ini bisa menimbulkan konfilik antara pihak ortu dan Sekolah.

5.) Anak malah bekerja

Banyak yang mengartikan pembelajaran jarak jauh sama saja dengan tidak Sekolah.  Karena dianggap lagi "tidak sekolah", anakpun terpaksa bekerja untuk membantu keluarga.

6.) Kejenuhan yang memicu stres pada belajar

Hampir setahun nggak bisa bertatap muka dan berinteraksi langsung dengan teman dan guru di Sekolah membuat pelajar menjadi stres. Di tambah lagi dengan, hampir semua aktivitas dilakukan di rumah. Bosan ya.

7.) Stres karena tugas yang banyak

Poin lain yang membuat sebagian pelajar stres adalah banyaknya tugas selama PJJ. Memberikan tugas dan proyek merupakan salah satu cara belajar. Namun dimasa PJJ beban terasa berat, karena nggak ada kerja kelompok, atau praktek di Sekolah. Seolah semua menumpuk menjadi tugas yang nggak ada hasilnya. Nggak semua merasakannya, namun memang tak sedikit pelajar yang merasa overlood dengan rangakaian tugas.

8.) Mengalami kekerasan 

Ada beberapa kasus kekerasan pada anak di masa PJJ. Mungkin bukan kekerasan fisik namun kekerasan verbal. Bisa saja ada orang atau kakak yang emosi dan membentak setelah pusing harus menjadi "guna" di rumah. Banyak juga konflik karena mama/papa merasa anaknya kurang serius belajar di masa pandemi ini.

Kontra belajar tatap muka

Setelah membaca poin "pro" diatas, masuk sekolah alias belajar tatap muka sepertinya merupakan solusi terbaik bukan? Tapi, coba simak dulu argumen kontra berikut ini sebelum mengambil kesimpulan ya.

1.) Kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat

Trend kasus di Indonesia sejauh ini cenderung meningkat. Per 24 November konfirmasi positif  covid-19 bertambah sebanyak 4.192 orang, menjadi 506.302 kasus. Sementara yang meninggal dunia,16.111 jiwa. Kalau dilihat dari data ini, bisa dibilang bahwa pandemi belum mereda. Sekolah tatap muka bisa meningkatkan peluang seseorang tertular virus Corona,ketimbang belajar jarak jauh dari rumah.

2.) Belum ada terobosan penanganan dan penemuan baru

Saat ini semua pihak, terutama tenaga kesehatan,relawan,serta para ilmuwan bekerja keras untuk mengatasi pandemi. Namun hingga kini, memang belum ada terobosan besar, seperti vaksin atau tanda virusnya akan melemah. Sebaliknya, jika kasus covid-19 membeludak, resikonya tinggi sekali. Rumah sakit akan penuh dan tenaga medis pun semakin terkuras, bahkan dikhawatirkan akan kurang. Dengan kondisi demikian, perlu dipertimbangkan mengenai keputusan untuk sekolah tatap muka.

3.) Sudut pandang pemerintah daerah bisa berbeda

Keputusan dibuka ( belajar tatap muka) atau tidaknya Sekolah akan diserahkan pada Pemda atau kantor wilayah. Jadi bukan lagi ditentukan oleh satuan tugas penanganan Covid-19. Nah, pertimbangan tiap pemerintah daerah bisa berbeda-beda, dan bisa jadi pertimbangan kesehatan harus dikompromikan.

4.) Kemungkinan pelanggaran protokol kesehatan dan pengawasan yang minim

Ada serangkaian aturan dan protokol kesehatan yang harus diterapkan saat sekolah tatap muka. Namun, peluang pelanggarannya sangat besar. Apalagi, fungsi pengawasan belum tentu bisa dilakukan seratus persen. Masih banyak celah yang tidak terhindarkan, seperti interaksi saat pergantian guru atau ketika keluar kelas, ada warga sekolah yang nggak pakai masker dengan benar, hingga ada siswa yang harus naik kendaraan umum padat penumpang.

5.) Banyak acara dibulan Desember

Pada bulan Desember, ratusan wilayah Indonesia melaksanakan pilkada ( pemilihan kepala daerah) disusul dengan libur akhir tahun. Dengan adanya orang berkumpul, keluar dari rumah dan liburan, potensi penularan pun meningkat. Alhasil, Januari bukan waktu yang tepat untuk memulai membuka sekolah.

Penulis : Ulyanti

Editor : Finata

Ilustrasi : EL Huda