Momentum International Women’s Day (IWD) diperingati setiap tanggal 8 Maret, tentunya banyak lembaga dan organisasi yang gencar mengkampanyekan mengenai isu-isu perempuan yang sedang dihadapi perempuan saat ini. Masalah perempuan sangatlah kompleks, baik dalam sektor industri, pendidikan dan domestik. Pada momentum IWD tahun ini membawa agenda besar, salah satunya adalah untuk segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, mengingat perjalanan RUU ini yang amat panjang dan tidak mudah. RUU PKS sempat dikeluarkan dari prolegnas pada tahun 2020 dan masuk kembali dalam prolegnas 2021. Tarik ulur pengesahan RUU PKS berdampak para korban kekerasan seksual yang setiap tahunnya terus meningkat. Korban kekerasan seksual tidak mempunyai payung hukum, sehingga RUU ini sangat urgent untuk disahkan.

Kekerasan seksual adalah problem utama bagi perempuan yang hingga saat ini masih terus meningkat. Data dari komnas perempuan dalam 4 tahun terakhir (tahun 2016 -2019) ada 1.445.245 kasus. Dampak dari kekerasan seksual bagi korban bukanlah hal mudah yang dihadapi, mulai dari dampak fisik, psikis bahkan sosial. Lalu apa penyebab terjadinya kekerasan seksual?, banyak yang berasumsi bahwa kekerasan seksual terjadi akibat rendahnya pemahaman agama, cara berpakaian, hasrat seksual dan lain sebagainya. Pada banyak kasus kekerasan seksual, cara berpakaian korban lebih disorot daripada motif pelaku dan cenderung menyalahkan korban.

Siapa yang menjadi korban dan pelaku kekerasan seksual?

Kekerasan seksual timbul karena adanya relasi kuasa yang timpang. Ketimpangan ini berawal dari adanya struktur atau kelas dalam masyarakat, baik kelas sosial, pendidikan, dan kekuasaan. Siapakah yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual? Siapapun bisa menjadi korban, baik laki-laki maupun perempuan, transgender, anak-anak, dan kelompok minoritas. Namun kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam budaya patriarki, perempuan dianggap sebagai manusia kelas dua, artinya perempuan selalu dibawah laki-laki. Hal ini menjadikan ketimpangan gender yang masih mengakar kuat dalam masyarakat. Dalam kasus mengenai ketimpangan relasi kuasa adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen pembimbing dengan mahasiswanya. Pelaku dalam menjalankan aksinya memberikan ancaman mengenai nilai skripsi. Jelas sekali adanya relasi kuasa yang hirarkis antara dosen dan mahasiswa, dosen tersebut menganggap dirinya mempunyai kuasa terhadap mahasiswa. Ada banyak sekali kasus pelecahan dan kekerasan yang disebabkan oleh relasi kuasa dalam dunia kerja, pendidikan, bahkan dalam lingkup keluarga.

Dimana ruang aman bagi perempuan?

Jika kamu seorang perempuan, pernahkah kamu merasa ada rasa khawatir ketika berada di lingkungan dengan jumlah laki-laki yang banyak atau ketika berpergian jauh menggunakan transportasi umum sendirian?  Atau jika kamu adalah orang tua yang mempunyai anak perempuan, ada rasa khawatir yang berlebih dengan putrinya, bagaiamana jika putriku mengalami kekerasan seksual? Hal tersebut wajar saja, karena angka kekerasan seksual terhadap perempuan terus meningkat. Kekerasan dan pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, di tempat kerja, transportas umum, sekolah, kampus, rumah dan bahkan akhir-akhir ini terjadi di dunia maya dan media sosial. Sungguh ironis, perempuan kehilangan ruang aman untuk dirinya. Semua orang khusunya perempuan berhak mendapatkan rasa aman dimanapun ia berada. Ruang aman adalah ruang yang bebas dari pelecehan dan kekerasan seksual. Lalu dimana ruang aman bagi perempuan? Apa yang harus kita lakukan? Menciptakan ruang aman bagi perempuan. Upaya tersebut tidak bisa dilakukan oleh kaum perempuan saja, semua orang terlepas dari gender apapun, organisasi/lembaga, pemerintah  mempunyai tanggungjawab untuk menciptakan ruang aman dan memerangi kasus kekerasan terhadap perempuan. Contoh yang bisa kita lakukan untuk menciptakan ruang aman adalah jika kita melihat/mendengar/menemui terjadinya kekerasan seksual, jangan hakimi korban. Jadilah pendengar yang baik dan jaga kerahasiaan korban. Bantu korban untuk mengakses layanan pengaduan dan pemulihan, karena untuk speak up tentang kekerasan yang dialami korban tidaklah mudah, jadi jagalah kepercayaan korban. Lalu bagaimana pencegahan agar mengurangi kasus kekerasan seksual? Ciptakan lingkungan yang penuh dengan solidaritas dan ramah terhadap perempuan yang menjadikan perempuan berani berbicara jika terjadi pelecehan dan kekerasan seksual. Mari ciptakan ruang aman bagi perempuan.

Penulis             : Almaidah

Editor              : Finata

Ilustrator         : Karisa