Tahun 2020 disebut berbagai kalangan sebagai “Annus Horribilis” atau tahun yang mengerikan. Pada hampir sepanjang tahun tersebut dunia dilanda wabah coronavirus disease (Covid-19). Pandemi covid-19 memukul telak ke segala sendi kehidupan manusia mulai dari sektor ekonomi hingga kesehatan. Hingga saat ini (2/01/2021), virus corona telah mengakibatkan 2.130.366 orang meninggal dunia.[1]
Sistem ekonomi kapitalistik yang menghancurkan metabolisme alam menjadi ‘pelaku utama’ munculnya penyakit zoonosis seperti virus corona. Laporan United Nation Environment Programme (UNEP) pada tahun 2016 menyebutkan jika kerusakan lingkungan meningkatkan potensi penularan penyakit dari satwa liar ke manusia (zoonosis).[2]
Pemaknaan tahun yang mengerikan untuk ‘2020’ sangat tepat dengan konteks situasi Indonesia. Negara ini tidak hanya ditimpa krisis pandemi semata, namun juga diterpa krisis demokrasi hingga krisis ekologi. WALHI menyebut aneka ‘badai’ yang menerpa Indonesia sebagai krisis multidimensi.[3] Krisis ini diproyeksikan akan terjadi akibat pengarusutamaan investasi terutama berbasis industri ekstraktif dan infrastruktur yang merusak metabolisme sosial dan alam. Sayangnya krisis akibat pandemi dan rentetan krisis lain sama sekali tidak dijadikan pelajaran dalam menentukan arah kebijakan pembangunan Indonesia.
Sepanjang hampir setahun pandemi telah menginfeksi setidaknya 989 ribu orang dengan 27 ribu diantaranya meninggal dunia.[4] Penanganan pandemi yang sejak awal tak serius mengakibatkan sektor kesehatan kita terancam collapse. Belum lagi dampak pandemi pada sektor ekonomi yang menyebabkan 24 juta pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga pengurangan jam kerja.[5] Sementara angka penduduk miskin naik sebesar 1,63 juta orang akibat pandemi dan krisis ekonomi.[6] Negara seperti lepas tangan untuk memberikan jaminan atas kesehatan dan kesejahteraan sosial.
Naasnya, situasi pandemi justru dimanfaatkan oleh pengurus negara untuk tetap melayani kepentingan oligarki. Hal tersebut terlihat dengan gamblang melalui pengesahan revisi UU Minerba dan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Sepanjang tahun pandemi konflik agraria dan penindasan rakyat atas nama investasi terus berlangsung tanpa henti. Pembatasan sosial nampak hanya berlaku kepada rakyat semata sementara operasi perusakan lingkungan terus melenggang mulus. Tahun “Annus Horribilis” ditutup dengan kado korupsi bantuan sosial rakyat dan penambahan utang negara sebesar Rp 1.226,8 triliun.[7]
Arah kebijakan pembangunan pada 2021 masih akan didominasi oleh pembukaan keran investasi seluasnya untuk ambisi mega proyek infrastruktur strategis nasional demi mengejar ‘pemulihan ekonomi’.[8] Stabilitas ekonomi seperti idaman penyelenggara negara beriringan dengan stabilitas keamanan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Menciptakan ‘kamtibmas’ berarti juga melanjutkan opresi dan represi pada gerakan rakyat melalui operasi alat negara. Berdasar postur anggaran belanja pemerintah pusat kongsi antara kepentingan ekonomi dan keamanan cukup dominan dengan proporsi anggaran ekonomi sebesar 511,3 T (26,2 persen), kamtibmas sebesar 166,6 T (8,5 persen) dan Pertahanan sebesar 137,2 T (7 persen). Mari bandingkan dengan proporsi anggaran untuk perlindungan sosial sebesar 260,1 T (13,3 persen), kesehatan sebesar 117,7 T (5,7 persen) dan perlindungan lingkungan hanya sebesar 16,7 T (0,9 persen).[9]
Sementara jika dilihat dari proporsi anggaran kementerian dan lembaga (K/L), Kementerian Pekerjaan Umum yang membidangi infrastruktur mendapatkan anggaran tertinggi sebesar Rp 149,8 triliun. Peringkat kedua dan ketiga ditempati Kementerian Pertahanan dan POLRI dengan masing-masing menerima anggaran sebesar Rp 137,3 triliun dan Rp 112,1 triliun.[10] Kembali kita akan melihat tahun 2021 sebagai tahun pembangunanisme tanpa henti seperti tahun sebelumnya di era Jokowi.
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2021 sebagaimana tertuang dalam Perpres 86 Tahun 2020 bertujuan untuk pemulihan ekonomi dan reformasi sosial.[11] Adapun terdapat delapan arah kebijakan dan strategi pembangunan yaitu; Penguatan Sektor Kesehatan, Reformasi Sistem Perlindungan Sosial, Pembangunan Infrastruktur, Pembangunan SDM, Akselerasi Investasi, Pemulihan Industri dan Perdagangan, Pembangunan Pariwisata dan Pendalaman Sistem Keuangan.
Dari delapan arah kebijakan tersebut, aspek sosial dan ekologi menempati posisi minor. Sementara investasi, industrialisasi, hingga pembangunan infrastruktur yang notabene berorientasi menggerakkan sirkuit kapital dominan. Kedepan potensi munculnya konflik atas misalnya pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) seperti kasus di Taman Nasional Komodo akan berulang dan deret kasus semakin panjang. Penggusuran masyarakat lokal dan adat demi suksesi Proyek Strategis Nasional (PSN) mungkin akan semakin sering terjadi.
Pasca Omnibus Law UU Cipta Kerja, pemerintah telah menyiapkan ‘karpet merah’ lain demi menggenjot investasi seperti melalui; (1) RUU Perpajakan; (2) pemberian fasilitas kemudahan akses pinjaman perbankan; (3) pemberian fasilitasi investasi (seperti percepatan perizinan berusaha melalui Online Single Submission/OSS; (4) pemberian kemudahan untuk investasi berorientasi ekspor, serta (5) memberikan kemudahan dalam pemenuhan bahan baku dalam negeri dan ekspor.
RKP 2021 dengan 7 (tujuh) Prioritas Nasionalnya mengakomodir 6 (enam) Major Project. Pertama, memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan. Kedua, mengembangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan. Ketiga, meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya. Keempat, memperkuat infrastruktur untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan dasar. Kelima, membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim. Keenam, memperkuat stabilitas polhukhankam dan transformasi pelayanan publik.
Sebagian besar dari major project keenam prioritas nasional tersebut adalah sumber masalah bagi rakyat dan lingkungan hidup. Misalnya 10 Destinasi Pariwisata Prioritas atau 10 Bali baru berpotensi merenggut hak atas tanah dan hak atas lingkungan hidup.[12] Sementara major project Pembangunan energi terbarukan Green fuel berbasis kelapa sawit berpotensi besar memperluas ekspansi perkebunan ke kawasan hutan dan wilayah kelola masyarakat adat. Perluasan perkebunan monokultur seperti sawit mempertinggi resiko terjadi bencana ekologis. Proyek B30 hingga B100 adalah sebuah false solution.
Di tengah situasi krisis ekonomi dan krisis ekologis terutama di Kalimantan, rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur justru masuk dalam major project di RKP 2021. Dalam Tinjauan Lingkungan Hidup 2020, WALHI telah memberikan empat catatan kritis atas proyek IKN. Pertama, IKN akan memindah beban ekologis dari Jawa ke Kalimantan. Kedua, pemindahan IKN yang berada di lahan konsesi merupakan bagian dari transaksi politik dan konsolidasi oligarki. Ketiga, Ilusi pemerataan berdasar letak geografis IKN. Keempat, potensi bencana di lokasi IKN.[13]
Pada major project terkait iklim, arah kebijakan pembangunan pemerintah 2021 masih melanjutkan trend ‘ambyarnya’. Mega proyek listrik 27.000 MW sebagai bagian dari mega proyek 35.000 MW berlanjut dengan sebagian besar adalah proyek PLTU batubara. Krisis iklim hanya akan ditangani dengan sistem peringatan dini bencana. Sementara upaya pencegahan atau perlambatan dampak krisis iklim tidak dilakukan. Fatalnya, dalih pemulihan ekonomi dijadikan sebagai alasan untuk menahan kegiatan aksi pembangunan rendah karbon, seperti reforestasi, restorasi gambut, serta pengembangan EBT dan efisiensi energi. Pengurangan emisi gas rumah kaca selalu hanya bertumpu pada sektor berbasis lahan. Dengan upaya setengah hati karena dalih pemulihan ekonomi seperti saat ini, maka kita masih sangat jauh dari pemenuhan komitmen Paris Agreement untuk menahan laju kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1.5 - 2 derajat celcius.
Pandemi, krisis ekonomi hingga bencana ekologis yang datang bertubi di awal 2021 belum cukup memberi peringatan pada pemerintahan Jokowi bahwa “tidak akan ada peradaban tumbuh di bumi yang rusak”. Pengurus negara harus berkaca jika kemudahan investasi ekstraktif, pembangunan infrastruktur mega komoditas, kemudahan perizinan hingga penghapusan aspek perlindungan lingkungan berpotensi besar membawa kita kepada bencana ekologis yang semakin parah dibanding sebelumnya! Jangan kebut pemulihan ekonomi oligarki, sementara hanyut pemulihan ekologi!
Penulis : Abdul Ghoffar
Editor : Finata
Ilustrator : Karisa
[1] Dikutip dari laman www.worldodometers.info/coronavirus/ pada 2 Januari 2021
[2] UNEP Frontiers 2016 Report: Emerging Issues of Environmental Concern hlm. 18-27
[3] Lihat Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2020: Menabur Investasi Menuai Krisis Multidimensi
[5]https://nasional.kontan.co.id/news/bappenas-sebut-24-juta-tenaga-kerja-kehilangan-jam-kerja-akibat-covid-19 diakses 24 Januari 2021
[6]https://ekonomi.bisnis.com/read/20201228/9/1336219/pemerintah-targetkan-tingkat-kemiskinan-turun-jadi-92-persen-di-2021 diakses 24 Januari 2021
[7]https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5323542/selama-2020-pemerintah-tarik-utang-rp-1226-triliun diakses 24 Januari 2021
[8] Lihat daftar 201 proyek dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional
[9] Lihat Lembar Informasi APBN 2021 Kementerian Keuangan hlm. 18
[10] Lihat Lembar Informasi APBN 2021 Kementerian Keuangan hlm. 19
[11] Lihat Lampiran I hlm. III-3 Perpres 86 Tahun 2020 tentang Rencana Kerja Pemerintah 2021
[12] Lihat laporan studi ELSAM di 4 lokasi 10 Destinasi Pariwisata Prioritas Tanjung Kelayang, Bromo Tengger Semeru, Candi Borobudur, dan Danau Toba
[13] Tinjauan Lingkungan Hidup WALHI 2020: Menabur Investasi, Menuai Krisis Multidimensi hlm. 4-6
0 Komentar