pmiigusdur.com - September Hitam, bulan yang tak mungkin bisa dilupakan tepatnya menjadi momen yang menguncang Indonesia dengan berbagai macam polemik Kasus Pelanggaran HAM. “dan perjuangan bergerak kemerdekaan indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentiasa mengantarkan rakyat indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, yang merdeka bersatu, berdaulat, adil, dan makmur" ketika keadilan dan kemakmuran rakyat lenyap begitu saja, Sampai saat ini pun,  peristiwa tersebut belum juga diselesaikan oleh negara secara keadilan yang mengedepankan prinsip-prinsip HAM dan menjunjung tinggi martabat korban. Walaupun kasus Munir dan Tanjung Priok sudah terdapat mekanisme peradilannya, tetapi pengungkapan kebenaran dan akses pemulihan kepada korban masih absen untuk dilakukan oleh negara.

Bukan  tanpa alasan, kejadian ini belum dapat terselesaikan padahal ini sudah termandat dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Peristiwa-Peristiwa ini merupakan hal yang sangat tidak bisa ditawar untuk negara yang ber-ideologi Pancasila, dimana seharusnya menghargai Hak Asasi Manusia (HAM), karena sejatinya ini sudah memiliki konsep hukum dan normatif. Hak tersebut berlaku kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja.

Kejadian-kejadian yang merenggut hati nurani  ini diantaranya:

Peristiwa pembunuhan 6 jendral dan 1 perwira

Malam 30 september 1965 yang merupakan rentetan dari pemberontakan G30S/PKI yang menyebabkan terbunuhnya 6 jendral yaitu: Jendral Ahmad Yani, Letjen R. Suprapto, Letjen MT Haryono, Letjen Siswondo Parman, Mayjen Donald Isaac Pandjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo dan Kapten Pierre Tendean.

Peristiwa Semanggi II

23-24 september 1999: tragedi ini berawal dari mahasiswa dan rakyat yang menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). menyebabkan 6 orang tewas dan lebih dari 100 orangb luka-luka.

Kasus Semanggi II terjadi pada tanggal 24-28 September 1999 saat maraknya aksi-aksi mahasiswa menentang  RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan tuntutan mencabut dwi fungsi ABRI. Peristiwa ini juga terjadi di beberapa daerah seperti Lampung, Medan dan beberapa kota lainnya. Aksi-aksi tersebut mendapat represi oleh ABRI (TNI)  sehingga mengakibatkan jatuhnya beberapa korban antara lain, Yap Yun Hap (FT UI), Zainal Abidin, Teja Sukmana, M Nuh Ichsan, Salim Jumadoi, Fadly, Deny Julian, Yusuf Rizal (UNILA), Saidatul Fitria dan Meyer Ardiansyah (IBA Palembang). Tim Relawan Kemanusiaan mencatat 11 orang meninggal dan luka-luka 217 orang dalam peristiwa tersebut.

Berbagai tantangan terus dihadapi keluarga korban dalam merengkuh keadilan. Salah satunya adalah pernyataan Pansus (Panitia Khusus) DPR RI yang menyatakan kasus TSS bukan pelanggaran HAM berat dalam sidang DPR RI tahun 2001. Rekomendasi itu  jelas mengesampingkan proses hukum Komnas HAM yang menyatakan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat. Selain itu, sampai hari ini Kejaksaan Agung masih belum melanjutkan proses hukum atas hasil penyelidikan Komnas HAM. Alih-alih mengalami kejelasan perkembangan kasus, februari lalu Jaksa Agung justru sempat mengemukakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan termassuk pelanggaran HAM Berat. Salah satu cacat logika dalam tubuh Kejaksaan Agung jelas kembali menyakiti perasaan keluarga korban.

Kini, keluarga korban tengah berjuang dalam persidangan untuk terus berupaya merengkuh keadilan. Berdiri bersama korban memperjuangkan keadilan menjadi sangat penting sebagai sebuah cerminan kepedulian dan untuk terus memberikan semangat kepada keluarga

Terbunuhnya Munir Said

7 September 2004 Munir dibunuh saat perjalanan ke Amsterdam, Belanda. Dimana munir diracuni dan meninggal dunia. Konspirasi pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir Said Thalib hingga saat ini masih belum mendapat titik terang. Negara hanya menghukum pelaku lapangan tanpa menyentuh aktor intelektual. Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah selesai bekerja, namun hingga saat ini dokumen TPF tersebut tidak kunjung dibuka ke publik.

Pada tahun 2016, Kontras mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan nomor register 025/IV/KIP-PS-2016. Dalam gugatan tersebut Pengadilan KIP mengabulkan permohonan Kontras dan memerintahkan Kementerian Sekretariat Negara (Kemesetneg) untuk membuka dokumen TPF pembunuhan Munir Said Thalib. Namun keputusan tersebut tidak membuat Kemensetneg membuka dokumen TPF tersebut, melainkan melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Upaya hukum tersebut pun dimenangkan oleh Kemensetneg sekaligus tidak memiliki kewajiban hukum membuka dokumen TPF Munir.

Menanggapi hal tersebut, Kontras selanjutnya melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung, namun upaya hukum tersebut harus mentah karena pengadilan menolak permohonan Kontras pada tahun 2017. Perjuangan dalam mencari keadilan hingga saat ini masih terus diupayakan oleh Kontras dengan mempersiapkan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK).

Di sisi lain, Presiden Jokowi mengklaim bahwa dokumen TPF Munir tidak ada di kantor Kemensetneg. Dokumen TPF tersebut disimpan dan berada pada pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menanggapi hal itu, mantan Presiden SBY mengkalim bahwa dokumen TPF Munir berada di kantor Kemensetneg.

Dokumen TPF Munir tidak kunjung diuangkap karena menyangkut kepentingan politik para penguasa. Nama pejabat yang kemudian diduga terlibat dalam konspirasi pembunuhan Munir adalah Muchdi Purwoprandjono mantan Deputi V Badan Intelejen Negara (BIN). Hal tersebut membuat para pejabat saling melindungi kepentingan sehingga tidak berani membuka isi dokumen TPF Munir ke publik

Terbunuhnya Salim Kancil

26 september 2015 Salim Kancil dibunuh pada saat melakukan aksi damai yang menolak penambangan pasir, namun setelah kejadian itu ia dibawa ke Balai Desa dan dianiaya hingga meninggal dunia.

Aksi reformasi dikorupsi

23-30 september 2019 aksi yang dilakukan berbagai elemen masyarakat untuk menolak Revisi UU KPK , RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan , RUU Ketenagakerjaan, dan RUU SDA

Aksi nasional #ReformasiDikorupsi #RakyatBergerak #TuntaskanReformasi dimulai sejak 23 September 2019 di berbagai kota besar di Indonesia antara lain: Malang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Palembang, Medan, Semarang, Bandung, Denpasar, Kendari, Tarakan, Samarinda, Banda Aceh, Palu dan Jakarta, berakhir dengan aksi brutal dan represif dari aparat dengan menembakkan gas air mata, meriam air bahkan peluru karet. Di Jakarta sendiri ditemukan selongsong-selongsong gas air mata kadaluarsa. Tak hanya itu, para demonstran diburu hingga ke dalam rumah makan, stasiun, dan rumah ibadah.

Aksi nasional dengan 7 Desakan yang mempersatukan berbagai macam elemen mulai dari mahasiswa, buruh, tani, nelayan, dan pelajar dilawan dengan aksi brutal dan kekerasan oleh aparat keamanan dengan penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau berlebihan (unnecessary or excessive use of force). Dampak dari kebrutalan tersebut menjadikan 5 orang masa aksi meinggal dunia, diantaranya Immawan Randi dan Yusuf Kardawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo; pemuda asal Tanah Abang, Maulana Suryadi; serta dua pelajar, Akbar Alamsyah dan Bagus Putra Mahendra.

Akar masalah dari berbagai unjuk rasa ini adalah diterbitkannya berbagai undang-undang/maupun rancangan Undang-Undang kontroversial yang bermasalah oleh Pemerintah dan DPR. Ketika masyarakat sebagai pemilik kedaulatan menunjukkan ketidaksetujuannya secara terbuka justru dibalas oleh negara melalui aparat penegak hukumnya dengan tidakan yang brutal. Agar perlawanan warga padam sehingga negara dapat dengan leluasa mengeluarkan aturan dan kebijakan yang bertentangan dengan nalar publik tersebut.

Hingga saat ini belum ada tindak lanjut yang dilakukan pemerintahan mengenai kasus pelanggaran  HAM ini, yang mana ini hanya segelintir kasus pelanggaran HAM yang jumlah entah berapa kasus yang ada di luar sana.



Penulis        : Rombi Andika

Editor          : M. Syahrudi

Ilustrator    : pmiigusdur.com